AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena perceraian yang terjadi sesaat setelah ijab kabul (akad nikah) di Kabupaten PALI, Sumatera Selatan, sebagaimana diberitakan Riau Pos (22 Juni 2025), telah mengungkap urgensi kesiapan psikologis dalam pernikahan. Peristiwa ini menjadi refleksi penting tentang fondasi keharmonisan rumah tangga yang berkelanjutan dalam perspektif psikologi keluarga Islam.
Kasus viral ini melibatkan pengantin wanita berusia 17 tahun yang meminta cerai kepada suaminya yang berusia 43 tahun. Permintaan cerai ini disampaikan hanya beberapa detik setelah ijab kabul (akad nikah) dengan alasan pelecehan seksual. Peristiwa tersebut mencerminkan ketidaksiapan psikologis yang mendalam dalam menghadapi institusi pernikahan. Penelitian Sadeghian et al. (2025) dalam Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa kepercayaan mahasiswa Iran yang sudah menikah terhadap pernikahan dan kesiapan psikologis mereka sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan dan kualitas hubungan. Temuan ini mengindikasikan bahwa kesiapan psikologis bukan sekadar konsep teoritis, melainkan prediktor (peramal) krusial keberhasilan pernikahan dalam konteks budaya Muslim.
Temuan penelitian ini memperkuat perspektif psikologi Islam yang menekankan kematangan emosional dan spiritual sebagai prasyarat fundamental sebelum memasuki jenjang pernikahan. Al-Karam (2018) menguraikan bahwa psikologi Islam abad ke-21 memerlukan kerangka konseptual (conceptual framework) yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan pemahaman psikologi kontemporer. Kerangka ini diperlukan untuk memahami fenomena kompleks seperti kegagalan pernikahan dini. Sadeghian et al. (2025) menekankan bahwa kepercayaan mahasiswa Iran yang sudah menikah terhadap intimacy (keintiman), keamanan pernikahan, dan komunikasi efektif sangat mempengaruhi kepuasan perkawinan mereka. Data empiris menunjukkan bahwa kematangan psikologis, kesehatan reproduksi, stabilitas ekonomi, pencapaian pendidikan, dan kepatuhan terhadap norma budaya-agama menentukan kesiapan seseorang untuk menikah.
Penerapan kerangka teoritis tersebut dalam analisis kasus PALI mengungkap dimensi psikososial yang kompleks dalam hubungan pernikahan yang tidak seimbang. Perveen (2020) dalam penelitiannya tentang pengaruh kekerasan keluarga terhadap kualitas pernikahan Muslim Pakistan menemukan bahwa religiusitas berperan sebagai moderator (pengatur) antara kekerasan keluarga dan kualitas pernikahan. Religiusitas terbukti dapat mengurangi efek negatif kekerasan dalam hubungan pernikahan. Disparitas usia yang signifikan (26 tahun) antara kedua mempelai dalam kasus PALI menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan trauma psikologis. Faktor pelecehan seksual yang diungkapkan pengantin wanita menunjukkan kegagalan proses ta’aruf (pengenalan pra-nikah) dan ketiadaan mekanisme perlindungan psikologis bagi calon pengantin muda.
Kasus PALI ini bukan fenomena terisolasi, sebagaimana ditunjukkan oleh komparasi dengan penelitian internasional yang menunjukkan pola serupa di berbagai konteks Muslim. Iqbal & Skinner (2021) menggarisbawahi bahwa psikologi Islam kontemporer menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan pendekatan tradisional dengan kebutuhan psikologis modern. Tantangan ini termasuk dalam konteks bimbingan pra-nikah yang efektif. Penelitian lintas budaya (cross-cultural) menunjukkan bahwa konseling pra-nikah yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam dapat mengurangi risiko perceraian secara signifikan dalam tahun-tahun awal pernikahan. Efektivitas ini terutama terlihat pada pasangan dengan faktor risiko tinggi seperti disparitas usia besar.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, implementasi program bimbingan pra-nikah berbasis psikologi Islam yang komprehensif menjadi solusi preventif yang urgent. Program ini harus mencakup evaluasi kematangan emosional, kompatibilitas psikososial, dan deteksi dini potensi kekerasan atau eksploitasi. Berdasarkan kerangka psikologi Islam yang dikembangkan Al-Karam (2018), konseling pra-nikah perlu mengintegrasikan assessment (penilaian) psikologis, edukasi hubungan sehat, dan nilai-nilai Islam sebagai framework (kerangka kerja) holistik. Institusi agama dan pemerintah perlu mengembangkan regulasi yang mewajibkan sesi konseling intensif sebelum pernikahan. Kewajiban ini terutama penting untuk pasangan dengan disparitas usia signifikan atau indikasi risiko tinggi.
Dengan demikian, kasus perceraian pasca ijab kabul (akad nikah) di PALI menegaskan bahwa institusi pernikahan dalam Islam memerlukan reformulasi pendekatan yang mengutamakan kesiapan psikologis holistik. Pendekatan ini harus melampaui pemenuhan aspek legal-formal semata. Urgensi pengembangan sistem early warning (peringatan dini) dan intervensi preventif berbasis psikologi keluarga Islam tidak dapat ditunda lagi. Langkah-langkah ini diperlukan untuk melindungi generasi muda dari trauma pernikahan yang berpotensi merusak konsepsi mereka tentang institusi sakral ini di masa depan.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Al-Karam, C. Y. (2018). Islamic psychology: Towards a 21st century definition and conceptual framework. Journal of Islamic Ethics, 2(1-2), 97–109. https://doi.org/10.1163/24685542-12340015
Bustan, R., Riyono, B., & Setiyawati, D. (2025). The essence of marriage from an Islamic psychological perspective. International Journal of Islamic Psychology, 8(1), 85-111.
Iqbal, N., & Skinner, R. (2021). Islamic psychology: Emergence and current challenges. Sage Open, 11(1), 1-15. https://doi.org/10.1177/0084672420983496
Perveen, A. (2020). Influence of family violence on the marital quality in Pakistani Muslims: Role of personal factors. Religions, 11(9), 470. https://doi.org/10.3390/rel11090470
Sadeghian, E., Ghasemi, S. A., & Maddineshat, M. (2025). Exploring marriage beliefs from the perspectives of married students. Frontiers in Psychology, 16, 1481905. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1481905
Leave a Reply