AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Pembentukan sosial (konstruksi sosial) mengenai kesempurnaan pernikahan telah menciptakan harapan yang tidak realistis (ekspektasi yang tidak realistis) dan berpotensi merusak stabilitas rumah tangga di era modern, sehingga diperlukan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap pandangan ideal tersebut untuk memperkuat fondasi pernikahan yang berkelanjutan. Hal ini tercermin dari nasihat Ahmad Dhani dalam acara Ngunduh Mantu putranya Al Ghazali yang diberitakan Kapanlagi.com pada 19 Juni 2025, yang menegaskan pentingnya mengabaikan “bisikan-bisikan sebelah” dan menerima bahwa tidak ada pasangan yang sempurna.
Fenomena harapan berlebihan (ekspektasi) terhadap lembaga pernikahan (institusi pernikahan) telah menjadi permasalahan global yang mengancam stabilitas rumah tangga. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pasangan memulai pernikahan dengan cinta yang kuat namun tidak menyadari bahwa gairah intens yang dirasakan pada awalnya dapat memudar seiring waktu. Dalam konteks masyarakat Indonesia, pembentukan sosial (konstruksi sosial) mengenai pernikahan sempurna seringkali diperkuat oleh media sosial, tradisi budaya, dan tekanan lingkungan yang mengharuskan pasangan untuk memenuhi standar yang tidak realistis. Hal ini menciptakan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dialami dalam kehidupan berumah tangga sehari-hari.
Harapan yang tidak realistis (ekspektasi yang tidak realistis) dalam pernikahan dapat dikategorikan menjadi beberapa aspek fundamental. Yaman dan Yavuz (2020) mengidentifikasi bahwa kepercayaan tidak masuk akal (irrational beliefs) dalam hubungan pernikahan mencakup harapan yang tidak realistis terhadap pasangan, perasaan tidak berharga tanpa kasih sayang pasangan, dan melebih-lebihkan situasi yang dihadapi. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan cinta romantis merupakan kejadian umum yang jarang diantisipasi oleh pasangan yang baru menikah. Pembentukan sosial (konstruksi sosial) ini mengajarkan bahwa pasangan harus menjadi segalanya secara bersamaan: kekasih romantis, orang tua yang penuh perhatian, dan teman yang mendukung. Ketika pernikahan tidak memberikan semua hal tersebut, pasangan merasa kecewa terhadap lembaga pernikahan (institusi pernikahan) dan cenderung mempertimbangkan perceraian.
Analisis mendalam terhadap perbedaan budaya menunjukkan variasi signifikan dalam pembentukan sosial pernikahan (konstruksi sosial pernikahan). Penelitian menunjukkan bahwa sikap masyarakat Barat terhadap pernikahan mengutamakan cinta romantis dan pilihan personal, memandang pernikahan sebagai kemitraan berdasarkan rasa hormat dan kesetaraan. Perspektif ini berbeda secara signifikan dari budaya kolektivis, di mana persetujuan keluarga dan kewajiban sosial memainkan peran yang lebih substansial dalam pemilihan pasangan. Sassler dan Lichter (2020) menunjukkan bahwa masyarakat Barat cenderung menunda pernikahan dan menerima hidup bersama tanpa nikah (kohabitasi) sebagai praktik yang dapat diterima secara sosial. Perbedaan ini menyoroti bagaimana konteks budaya membentuk kepercayaan tentang pernikahan; sementara masyarakat Barat mungkin mengutamakan pemenuhan personal dan hubungan yang setara (egaliter), masyarakat Indonesia masih bergulat dengan harapan tradisional (ekspektasi tradisional).
Strategi pembongkaran harapan ideal (dekonstruksi ekspektasi ideal) memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan edukasi pranikah, konseling berkelanjutan, dan perubahan pola pikir sosial (paradigma sosial). Sadeghian et al. (2025) menekankan pentingnya memahami kepercayaan pernikahan (marriage beliefs) yang realistis untuk membangun hubungan yang berkelanjutan. Pertama, program edukasi pranikah harus memasukkan materi mengenai realitas kehidupan pernikahan, termasuk tantangan yang akan dihadapi dan cara mengatasinya. Kedua, konseling pernikahan pencegahan (preventif) perlu diagendakan secara berkala untuk membantu pasangan mengidentifikasi dan memodifikasi harapan yang tidak realistis (ekspektasi yang tidak realistis). Ketiga, media dan masyarakat perlu mempromosikan narasi pernikahan yang lebih realistis, menghindari romantisasi berlebihan yang dapat menciptakan harapan yang tidak sehat (ekspektasi yang tidak sehat). Keempat, pengembangan kemampuan memahami emosi (literasi emosional) dan komunikasi yang efektif harus menjadi bagian integral dari persiapan pernikahan.
Transformasi pola pikir sosial (paradigma sosial) mengenai pernikahan memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Lembaga pendidikan (institusi pendidikan) dapat mengintegrasikan materi mengenai hubungan sehat dalam kurikulum, sementara lembaga keagamaan dapat menyeimbangkan ajaran tradisional dengan realitas kontemporer. Media massa dan platform digital harus bertanggung jawab dalam menyajikan konten yang mendidik alih-alih memperkuat harapan yang tidak realistis (ekspektasi yang tidak realistis). Profesional kesehatan mental perlu meningkatkan aksesibilitas layanan konseling pernikahan dan keluarga untuk mencegah krisis sebelum terjadi.
Mengokohkan bahtera rumah tangga di era modern membutuhkan pemahaman yang matang bahwa tidak ada pernikahan yang sempurna, namun ada pernikahan yang sehat dan berkelanjutan. Pembongkaran harapan ideal (dekonstruksi ekspektasi ideal) bukan berarti menurunkan standar, melainkan mengubah fokus dari kesempurnaan yang mustahil menuju komitmen yang realistis untuk tumbuh bersama. Pasangan perlu diedukasi bahwa konflik adalah bagian normal dari hubungan, dan keterampilan mengelola konflik lebih penting daripada menghindarinya. Masyarakat harus mendukung narasi bahwa pernikahan yang sukses adalah pernikahan yang bertahan dan berkembang melalui berbagai tantangan, bukan pernikahan yang bebas dari masalah. Dengan demikian, pembentukan sosial yang lebih realistis (konstruksi sosial yang lebih realistis) dapat membantu menciptakan fondasi pernikahan yang lebih kuat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Sadeghian, E., Ghasemi, S. A., & Maddineshat, M. (2025). Exploring marriage beliefs from the perspectives of married students. Frontiers in Psychology, 16, 1481905. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1481905
Sassler, S., & Lichter, D. T. (2020). Cohabitation and marriage: Complexity and diversity in union‐formation patterns. Journal of Marriage and Family, 82(2), 35-61. https://doi.org/10.1111/jomf.12617
Yaman, N., & Yavuz, E. (2020). Relationship beliefs and satisfaction of university students: The mediating role of mate selection attitude and meaning of marriage. Journal of International Social Research, 13(75), 554-564.
Leave a Reply