AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Kekayaan spiritual dalam perspektif tasawuf Islam dan filosofi Seneca menunjukkan kesamaan mendasar dalam memandang kemiskinan material sebagai jalan menuju kekayaan hakiki, meskipun keduanya berasal dari tradisi epistemologis yang berbeda.
Dalam konteks modernitas yang ditandai oleh materialisme dan konsumerisme, manusia menghadapi paradoks antara pencapaian materi dan kepuasan spiritual. Seneca, filsuf Stoik Romawi, pernah menyatakan bahwa hidup selaras dengan alam akan menghindarkan seseorang dari kemiskinan sejati, sementara hidup menurut ekspektasi orang lain justru menciptakan ketergantungan dan penderitaan (Graver, 2023). Konsep ini memiliki resonansi kuat dengan ajaran tasawuf Islam yang mengembangkan konsep faqr (kemiskinan spiritual atau pengosongan diri) sebagai jalan menuju kekayaan hakiki di hadapan Allah.
Dalam tradisi tasawuf, konsep kekayaan (ghina atau kecukupan spiritual) tidak dipahami dalam dimensi material, melainkan sebagai kondisi spiritual ketika seorang salik (pencari spiritual atau pejalan menuju Allah) mencapai tingkat fanā’ (pelenyapan diri atau pelebur ego) dan baqā’ (kekal dalam Allah atau keabadian spiritual). Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menjelaskan bahwa kekayaan sejati terletak pada qanā’ah (merasa cukup atau kepuasan hati) dan pembebasan dari ketergantungan terhadap selain Allah (Kars, 2022). Konsep ini sejalan dengan pemahaman Seneca tentang autarkeia (kemandirian spiritual atau swasembada jiwa) yang membebaskan manusia dari belenggu keinginan eksternal dan ekspektasi sosial (Taylor & López-Farjeat, 2016).
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada fondasi epistemologisnya. Tasawuf Islam membangun konsep kekayaan spiritual berdasarkan wahyu (al-wahy atau penyingkapan Ilahi) yang dialogis dengan akal (al-‘aql atau daya pikir), sedangkan Seneca mendasarkan filosofinya pada observasi alam dan rasionalitas manusia (Ayatollahy, 2023). Dalam tasawuf, faqr (kemiskinan spiritual atau pengosongan diri) dipahami sebagai kondisi teosentrik di mana seorang sufi mengosongkan diri dari segala selain Allah untuk mencapai ma’rifah (pengenalan spiritual atau gnosis), sementara Seneca memahami kemiskinan spiritual sebagai kondisi antroposentrik yang membebaskan individu dari pathē (emosi destruktif atau nafsu yang merusak) untuk mencapai ataraxia (ketenangan jiwa atau kedamaian batin).
Analisis komparatif menunjukkan bahwa kedua tradisi ini menghadapi tantangan serupa dalam menghadapi modernitas. Tasawuf kontemporer menghadapi kritik dari kalangan modernis Muslim yang menganggap sufisme sebagai penghalang kemajuan material, sementara stoikisme Seneca dikritik karena dianggap elitis dan tidak praktis bagi masyarakat modern (Zarrabi-Zadeh, 2022). Namun, keduanya menawarkan solusi alternatif terhadap krisis spiritual modern melalui reorientasi nilai dari having (pemilikan materi atau orientasi kepemilikan) menuju being (keberadaan hakiki atau eksistensi autentik), dari akumulasi material menuju transformasi spiritual.
Sintesis kedua tradisi ini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan spiritualitas kontemporer yang mampu menjawab tantangan globalisasi dan materialisme modern. Konsep zuhd (asketisme atau penjauhan diri dari duniawi) dalam tasawuf dapat diperkaya dengan pemahaman Seneca tentang premeditatio malorum (antisipasi terhadap kesulitan atau persiapan mental menghadapi cobaan), sementara konsep Seneca tentang kemandirian spiritual dapat diperdalam dengan dimensi teosentrik sufisme yang menekankan tawakkul (ketergantungan kepada Allah atau penyerahan diri sepenuhnya) sebagai sumber kekuatan sejati (Fatkhuri et al., 2024).
Implementasi praktis dari sintesis ini mencakup pengembangan metode spiritual yang mengintegrasikan latihan murāqabah (meditasi sufi atau pengawasan hati) dengan teknik stoik evening reflection (refleksi malam atau introspeksi harian), serta penerapan prinsip fanā’ fī al-dunyā (mati terhadap dunia atau pelepasan dari keterikatan duniawi) yang diperkaya dengan pemahaman Seneca tentang memento mori (ingatlah kematian atau kesadaran akan kefanaan). Pendekatan integratif ini dapat menghasilkan spiritualitas yang tidak hanya membebaskan individu dari ketergantungan material, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Studi komparatif antara tasawuf Islam dan filosofi Seneca mengungkapkan bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada akumulasi materi, melainkan pada pembebasan dari belenggu keinginan dan pencapaian keselarasan dengan prinsip-prinsip universal, baik yang dipahami sebagai hukum alam maupun kehendak Ilahi. Kedua tradisi ini menawarkan jalan alternatif menuju kehidupan yang bermakna di tengah krisis spiritual modernitas, dengan menekankan transformasi internal sebagai kunci kekayaan hakiki.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Ayatollahy, H. (2023). Islamic approach to philosophy of religion compared with the western one. Journal of Philosophical Theological Research, 25(3), 63-82.
Fatkhuri, F., Truna, D. S., & Hannah, N. (2024). The path to spirituality: A critique of Meredith B. McGuire’s view on spirituality and materiality. Kanz Philosophia: A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism, 10(2), 335-356. https://doi.org/10.20871/kpjipm.v10i2.349
Graver, M. (2023). Seneca: The literary philosopher. Cambridge University Press.
Kars, A. (2022). A ‘Sufi’ epistle on spiritual poverty, and its authors: Authenticity, authority, and genre in textual reproduction. Journal of Islamic Studies, 33(1), 45-73. https://doi.org/10.1093/jis/etab076
Taylor, R. C., & López-Farjeat, L. X. (Eds.). (2016). The Routledge companion to Islamic philosophy. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315708928
Zarrabi-Zadeh, S. (2022). Sufism in the modern world: Challenges and adaptations. Religions, 13(4), 342. https://doi.org/10.3390/rel13040342
Leave a Reply