AKTAMEDIA.COM, SOLOK – Perang Kamang merupakan bagian dari lintasan sejarah perjuangan bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Suatu sejarah heroic dan patriotic yang pernah dicatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah Republic Indonesia. Dimana pada waktu itu telah terjadi perlawanan rakyat yang sengit dan gigih dengan senjata utama adalah semangat yang membara untuk mengusir penjajah.
Berdasarkan data sejarah yang outentik, Perang Kamang itu adalah “pertempuran frontal di Kampung Tangah antara tentara belanda dengan pasukan rakyat yang menyerbu dari Nagari Kamang (sekarang Kamang Hilir) dibawah pimpinan Muhammad Saleh Dt.Rajo Pangulu, dan setelah terjadi serangan gelombang kedua dari pasukan rakyat Kamang ikut serta pasukan rakyat dari arah Bansa (nagari bukik) yang digerakkan oleh H.Abdul Manan”.
Sebelum kita membicarakan lebih lanjut tentang Perang Kamang 1908. Perlu disampaikan keberadaaan tentang “Kamang”. Pada tahun 1908 Kamang dapat dilihat dari 2 sudut, yaitu Kamang sebagai Nagari dan Kamang sebagai Kelarasan.
– Kamang sebagai nagari; pada 1908 Nagari Kamang adalah Kamang Hilir sekarang.
Adanya nama nagari Kamang Hilir dan Kamang Mudik ada sejak tahun 1949, ada tokoh yang hanya mengatasnamakan anak nagari, antara lain Saibi St.Lembang Alam (Nagari Kamang), Ak.Dt Gunung Hijau (Nagari Surau Koto Samiak) dan A, Muin Dt.Rky.Maradjo (Patih), dalam suatu rapat di Anak Air Dalam Koto Kamang, sepakat untuk menambah Hilir dibelakang Kamang, sehingga menjadi Kamang Hilir, sedangkan Nagari Surau Koto Samiak (yang sebelumnya bernama Nagari Bukik) dirobah menjadi Kamang Mudiak.
– Kamang sebagai Kelarasan; Sewaktu pemerintah kolonial belanda memakai Sistem Kelarasan ada kelarasan Kamang (1870 – 1913) yang masuk Distrik Agam Tuo (Oud Agam). Kelarasan Kamang terdiri dari empat nagari; yaitu (1) Nagari Kamang (sekarang Kamang Hilir); (2) Nagari Bukik (sekarang Kamang Mudiak); (3) Suayan dan (4) Sungai Balantiak.
. Sewaktu perang paderi (1821 – 1833), Nagari Kamang merupakan salah satu pusat pergerakkan paderi di Luhak Agam. Setelah Kamang ditaklukkan 10 Juli 1833. Kemudian pada 25 Oktober 1833 keluarlah Plakat Panjang, yang isinya antara lain : (1) rakyat tidak lagi dipungut iyuran; (2) penggantinya rakyat disuruh menanam kopi yang hasilnya dijual kepada belanda; (3) pemerintah tidak akan mencampuri urusan anak nagari. Pada tahun 1860-an belanda mulai melanggar janji, peradilan adat dilucuti, yang berlaku peradilan kolonial. Lebih parahnya lagi, pada tahun 1908 keluar Income Belasteng (Pajak Langsung). Ini sangat menusuk hati para ninik mamak di ranah Minang. Menurut pendapat para ninik mamak Belanda memakai parodi “lalu jarum lalu kulindan”, Artinya setelah yang satu dipenuhi, yang berikutnya menyusul. Karena. dahulu dilucuti peradilan adat, Sekarang timbul belasteng. Mereka sadar pimpinan adat dan pimpinan agama harus bersatu untuk melawan belasteng. Beberapa nagari melakukan perlawanan terhadap belasteng. yang paling terkenal ialah di Nagari Kamang.
Belasteng berlaku terhitung 1 Maret 1908. Untuk pelaksanaannya, pada tanggal 09 Maret 1908, Tuan luhak Agam, J.Westennenk memanggil Kepala Laras yang ada di wilayahnya untuk rapat di kantornya di Bukitinggi, untuk pelaksanaan belasteng tersebut. Dalam rapat tersebut dari sekian banyak laras yang hadir, satu-satunya hanya Laras Kamang, Garang Dt.Palindih, menyanggah dengan gigih bahwa belasting tidak mungkin dilaksanakan karena membebani rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Rapat menjadi kacau, tidak ada keputusan untuk penerapan belasting. Para laras bejanji akan membicara masalah ini terlebih dahulu dengan tokoh–tokoh yang ada di nagarinya.
Demikian halnya dengan Laras Kamang, Garang Dt.Palindih, beliau membicarakannya dengan W.Kari Mudo seorang cerdik pandai dan juga merupakan seorang ulama. Mereka membawa masalah ini kedalam Kerapatan Adat Nagari Kamang. Atas dasar cupak nan salingka suku, adat nan salingka nagari (ketentuan yang berlaku dalam nagari), para pemimpin masyarakat sudah membulatkan tekad untuk melawan pemerintah. Berpedoman pada gejala dan fakta yang ada di lapangan, menyusul diadakan sidang pada tanggal 30 Maret 1908, Kerapatan Niniak Mamak Nagari Kamang sepakat mengangkat Muhammad Saleh Datuak Radjo Pangulu Sebagai Pimpinan Perlawanan Menghadapi Belanda.
Untuk mensosialisasikan belasting lebih lanjut, Westennenk beberapa kali mengunjungi langsung Laras Kamang yang berkantor di Joho (Kamang). Laras Kamang yang bijaksana dalam menghadapi Westennenk selalu melibatkan semua tokoh yang ada di wilayahnya. Pertemuan pada tanggal 20 April 1908 Kari mudo menyampaikan bahwa siapa yang membayar pajak adalah “kafir” hukumnya. Ikut juga manyambah kato (berpartisipasi dalam berwacana) Dt.Adua, Dt Rajo Alam dari Pauh dan Dt.Makhudum dari Ilalang. Semua senada menolak belasteng. Terakhir yang lebih keras memberikan kecaman terhadap belasteng adalah Muhammad Saleh Dt.Rajo Pangulu, dengan percaya diri beliau menyanggah perkataan Westennek,
Tuan Westennek yang kami hormati, penetapan belasting tidaklah mungkin. Maaf Tuan sebelumnya, keadaannya ialah kami telah Tuan tipu dengan disuruh menanam kopi pada masa sebelumnya. Kemudian kopi itu tuan beli dengan harga murah kepada kami. Tuanlah yang sebenarnya harus membayar kepada kami. Tapi kenapa kini Tuan yang meminta uang kepada kami. Bukankah Tuan pandai membuat uang. Maaf sekali lagi tuan, sesenpun tidak akan kami berikan, musuh tidak dicari, kalau datang tidak dielakkan. Asa hilang kedua terbilang.
Dt. Radjo Penghulu dan pemimpin Kamang lainnya, tidak ketinggalan kaum ibu, berhasil menggelorakan semangat rakyat, berikrar memusatkan perlawanan dan memekikkan anti penjajahan, dengan semboyan “perang adalah jalan yang terbaik dan bukan sia-sia sekalipun kalah” sehingga pasukan rakyat seolah-olah mempunyai kekuatan gaib menghadapi perang menempuh maut tanpa ragu. Sementara itu Wahid Kari Mudo bersama Haji Jamik pada pertengahan Mei 1908 berusaha menghimpun kekuatan dengan menemui Dt. Mudo di Payokumbuah, Syekh Koto Baru dan Pado Kayo di Suayan untuk meminta petuah dan sekaligus penangkal untuk persiapan menghadapi peperangan yang tidak lama lagi.
Pada tanggal 2 Juni 1908 di Masjid Taluak Kamang diadakan rapat besar yang dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai daerah, tidak hanya dari Agam Tuo, melainkan juga dari Lubuk Basung, Manggopoh, Padang Panjang, Batusangkar dan lain-lain. Rapat itu langsung dipimpin oleh Muhammad Saleh Dt. Rajo Pangulu. Semua utusan sepakat untuk melaksanakan apa yang telah dan harus dipersiapkan untuk menentang Belanda. Mereka juga mengambil keputusan rapat dengan Kebulatan Tekad Melancarkan Aksi Untuk Menentang Belanda dan sekaligus menentukan tugas masing-masing. Persiapan selanjutnya, selain memesan dan mengasah ruduih, Dt. Rajo Pangulu bersama-sama dengan tokoh Kamang lainnya juga memesan senjata ke Salo. H. Abdul Manan membawa kata sepakat untuk menyusun dan memimpin perlawanan di Bukik (Bansa-Pauh).
Situasi semakin genting, semangat jihad pun dikorbarkan terutama di Masjid-masjid dan surau-surau. Penduduk pun terus menerus dimotivasi dalam rangka meningkatkan moril. Pelatihan silat digiatkan. Begitu pula dengan ilmu batin tahan senjata tajam disiapkan. Pada hari Jumat tanggal 5 Juni 1908, Malin Mancayo datang pada Kari Mudo untuk mencoba jimat yang didapat dari Angku Syekh di Lakuang (daerah Payakumbuh). Mula-mula jimat dimasukan ke dalam tabung lalu ditembak. Ternyata bambunya bolong. Kemudian diikatkan pada ayam dan ditembak ternyata ayamnya tidak mati.
Persiapan selanjutnya ialah rapat besar di Surau Tuangku Pincuran, yang dihadiri oleh Dt.Makhudun, Kari Mudo, Dt.Rajo Pangulu, Tuangku Sutan dan Dt.Tan Basa (Penghulu Suku dari Babukik). Di sana dipertegas lagi kesesuaian paham untuk tidak membayar pajak. Dt.Rajo Pangulu meminta Tuangku Pincuran agar mengujungi Syekh Lakuang guna belajar ilmu kebal di sana dan mengajarkannya lagi pada yang lain. Jimat-jimat akan dibuat oleh Tuangku Sutan.
Pada tanggal 11 Juni 1908 diadakan lagi pertemuan di surau H.Abdul Manan, yang dihadiri antara lain Haji Amat (putra H. Abdul Manan), Maruhun Putiah, Dt. Rajo Pangulu, si Hitam, Dt. Marajo, Siti Asiah dan murid/pengikut H.Abdul Manan. Beliau meminta semua jangan ragu mati syahid dan kalau dia sendiri tewas agar perjuangan diteruskan. Dia yakin dapat menghadapi Belanda dengan segala akibatnya walaupun pada saat-saat terakhir banyak pula pengikutnya yang menarik diri.
Pada tanggal 14 Juni 1908, Westennenk melaporkan kepada Heckler, bahwa keadaan di Kamang dan di Magek saat itu sangat serius (berbahaya). Diharap tindakan darurat segera diambil dengan menangkap para ‘pengacau’. Sasaran penangkapan adalah para mereka yang gencarnya menyuarakan anti pajak yang berada di Tangah (Kamang). Direncanakan dengan bantuan 3 (tiga) patroli tentara menuju Tangah. Kemudian setelah diadakan penangkapan-penangkapan di Tangah, kita tunggu apa reaksi penduduk. Kepala Laras Kamang mengingatkan kepada rakyatnya bahwa Kompeni (Belanda) akan datang pada Hari Senin, tanggal 15 Juni 1908. Rakyat yang mendapat khabar demikian segera mempersiapkan diri menanti kedatangan pasukan Belanda. Kain kafan dibagikan. Pada sore harinya orang-orang di Kamang (terutama di Tangah) memakai pakaian bagus-bagus karena mereka tidak membutuhkannya lagi.
Pada hari Senin tanggal 15 Juni 1908 seorang warga Magek datang ke Kantor Laras hendak membayar belasting. Secara tiba-tiba dia dihadang oleh sekelompok pemuda setempat, dan diancam akan dibunuh jika ia tetap meneruskan niatnya. Laras Magek (yang dijabat oleh Agus Warido) marah dan melaporkan kepada Kontrolir Oud Agam, LC. Westenenk dan meminta supaya pembangkang ditangkap. Westenenk segera menghubungi Gubernur Sumatera Barat, FA Heckler di Padang untuk meminta petunjuk. Jawaban hanya sepatah kata dari Heckler ― sesuai perintah Gubernur General (Van Heutsz) di Batavia ― ya “serbu !”
Sebelum berangkat untuk patroli, Kepala Laras Tilatang melaporkan kepada Westenenk bahwa H. Abdul Manan mempunyai 30 sampai 50 murid yang telah diberi jimat dan sedia mati. Dengan adanya laporan dari Laras Tilatang ini, Westenenk merobah rencana semula (yaitu adanya sasaran operasi baru ke Ilalang dan Pauh) Dari kantornya di Fort de Kock (Bukittinggi), Westenenk mengerahkan 160 pasukan, dengan tiga lintasan berbeda menuju Kamang. 30 orang di antaranya masuk lewat Gadut di bawah pimpinan Letnan Heyne dan Cheriek menuju Pauh; 80 orang masuk dari arah Manggis, Pakan Kamis, Ambacang menuju Ilalang dan Tangah, dipimpin langsung oleh Westenenk; 50 orang masuk lewat Kapau, Tigo Lurah dan Tangah, dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Schaap. Pasukan Letnan Boldingh dan Letnan Schaap sebelum masuk ke Kamang terlebih dahulu menjalan aksinya untuk menangkap anti pajak di Magek M.Yusuf Dt. Parpatiah Nan Sabatang, yang berdomisili di Simpang Pakudoran, Nagari Magek. Datuak Parpatiah Nan Sabatang memberikan perlawanan yang cukup hebat. Datuak Parpatiah berhasil membunuh Warido, melukai Penghulu Kepala Tigo Lurah dan dua serdadu belanda
Pada senja hari belanda mengepung rumah H.Abdul Manan, namun beliau sempat meloloskan diri. Menjelang tengah malam pukul 00.00 tanggal 15 Juni 1908 diterima berita bahwa pasukan Belanda tengah berkumpul di Kampung Tangah (perbatasan antara Kamang dengan Bukik). Muhammad Saleh Dt. Rajo Penghulu dan pemimpin lainnya mulai menyiapkan pasukan tempur; beduk, tontong dan bunyian lainnya dibunyikan di setiap kampung, pertanda perang akan dimulai.
Seluruh pasukan rakyat dari setiap kampung di Nagari Kamang dengan jumlah ratusan orang berkumpul di Masjid Taluak untuk menerima penjelasan dan instruksi penting dari pimpinan. Kemudian anggota pasukan perlawanan dibagi dalam beberapa kelompok penyerang. Setidaknya ada 6 (enam) kelompok. Ada kelompok yang dipimpin oleh Malin Manangah, H.Muhammad Saleh, Raji’i Dt. Tan Basa, Kadhi Abdul Gani, Basa Marajo dan kelompok yang dipimpin oleh Muhammad Saleh Dt. Rajo Pangulu. Kelompok terbesar adalah yang dipimpin oleh Kadi Abdul Gani. Setelah selesai Shalat Sunah berjemaah lalu ditutup dengan doa. Serentak dengan pekik Allahu Akbar, Laailahaillallah, mereka bergerak menuju Kampung Tangah menyerang pasukan Belanda. Untuk menuju Kampung Tangah mereka bukan lewat jalan raya, melainkan memilih jalan pintas yaitu dari Taluak melalui Dangkek, melalui areal persawahan dan terus melewati Dalam Koto, Rawang dan Koto Panjang. Dalam rombongan tersebut ikut 2 (dua) orang tokoh perempuan yaitu Siti Asiah istri Muhammad Saleh Dt.Rajo Penghulu dan Siti Anisah istri Nan Basikek.
Setelah sampai di Kampung Tangah, kelompok yang pertama kali melakukan penyerangan terhadap serdadu Belanda adalah kelompok yang dipimpin oleh Malin Manangah. Serangan tertuju pada seksi yang dipimpin oleh Sersan Schreuder. Dalam serangan gelombang pertama ini, jatuh korban kedua belah pihak, 3 orang pasukan perlawanan rakyat tewas ditembak serdadu Belanda. Sedangkan di pihak Belanda waktu itu jatuh korban tewas 6 orang
Westenenk masih belum mau bertindak karena dia masih punya harapan untuk meredakan kemarahan rakyat. Westenenk kemudian keluar dan berteriak menyuruh pasukan rakyat pulang kembali mengingat kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan senjatanya siap tembak. Dia juga mengingatkan segala kemungkinan bisa terjadi sekiranya pasukan perlawanan rakyat itu masih tidak mau mundur. Seruan itu segera dijawab tegas oleh Muhammad Saleh Dt.Rajo Pangulu bahwa pasukan rakyat tidak akan mundur setapakpun karena sudah berikrar bersedia mati syahid.
Pasukan rakyat masih terus bergerak maju perlahan mendekati kumpulan serdadu Belanda. Kemudian setelah dalam jangkauan serangan, secara serentak mereka menerobos menyerbu kumpulan serdadu Belanda dengan senjata rudus terhunus di tangan, disertai pekik kalimat-kalimat Allahu Akbar dan La Illaha Illallah, yang mendirikan bulu roma. Dengan cepatnya Westenenk memerintahkan pasukannya untuk menembak. Sebagian penyerang tewas kena peluru serdadu Belanda. Sebagian lagi mereka berhasil menerobos masuk ke kumpulan serdadu Belanda dan menyerangnya habis-habisan secara membabi-buta. Dalam waktu singkat terjadi lagi perang basosoh yang dahsyat. Karena serdadu Belanda banyak yang tidak sempat menembakan senjatanya, sementara yang lainnya lari kucar-kacir menyelamatkan diri. Pasukan Westenenk tidak menduga perlawanan sengit dan mengerikan itu bisa terjadi begitu cepat, sehingga komandan terpaksa mengeluarkan perintah mundur pada pasukannya. Perwira kesehatan Dr. Justesen dan Sersan Boorsma berusaha keras mencegah serdadu mundur. Ini adalah serangan kedua dari Pasukan Rakyat Kamang.
Setelah terjadi serangan gelombang kedua oleh Pasukan Rakyat Kamang. Pasukan perlawanan rakyat dari Bansa (Nagari Bukik) dibawah pimpinan H.Abdul Manan, setelah membakar rumah Penghulu Kepala Hilalang dan membunuh ayahnya (Jamil Dt.Tumanggung) dan membunuh kudanya datang menyerang serdadu Belanda yang dipimpin oleh Letnan II Leroux. Tembakan terdengar lagi bersamaan dengan serangan pasukan perlawanan rakyat. Penyerang juga berhasil menerobos masuk ke kumpulan serdadu Belanda dan menghabisi tentara belanda tanpa ampun, sehingga berjatuhan korban pihak belanda yang menyebabkan tentara lainnya merasa gentar.
Selama pertempuran, terjadi sepuluh kali serangan yang menimbulkan korban kedua belah pihak. Menurut catatan Westennenk, Dt.Rajo Panglulu tewas bersama dengan 69 pasukannya dan luka sebanyak 20 orang. Akan halnya tokoh H.Abdul Manan bersama anaknya Kari bagindo tewas ditembak mati keesokan harinya di halaman rumah keluarganya di Bansa. Pasukan perlawanan rakyat dari nagari ini yang tewas dan luka menurut catatan Westenenk, adalah 13 orang tewas dan luka-luka 3 orang. Semua korban yang tewas dari nagari ini, semuanya dimakamkan di Kampung Budi.
Dipagi hari tanggal 16 Juni 1908 mayat-mayat pasukan rakyat kamang dibawa kembali ke Kamang. Mereka dimakamkan dekat Masjid Taluak. Sewaktu pemakaman dilaksanakan, khusus untuk pemakaman Panglima Perang (Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu) dan isterinya Siti Asiyah (Srikandi Perang Kamang) sengaja dibuat berdekatan.
Sehari setelah terjadi Perang Kamang, serdadu Belanda menangkapi semua mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam perang basosoh itu. Mereka yang tertangkap langsung dikirim ke penjara tanpa melalui persidangan terlebih dahulu. Mereka ini bahkan ada yang dihukum buang. Sebagian yang lolos dari penangkapan lari meninggalkan nagari. Diantara mereka yang tangkap adalah Laras Kamang, Garang Dt. Palindih, Dt.Siri Marajo dan Abdul Wahid Kari Mudo, Tangku Pincuran, Ahmad Marzuki dll.
Meskipun pada tahun 1908 ( Mei dan Juni) tejadi peristiwa sejarah, yaitu berdirinya Budi Utomo di Batavia, dan Pemberontakan Pajak di Sumatera Barat yang puncaknya Perang Kamang. Namun gaung Perang Kamang tidak muncul di tingkat pusat. Barulah pada tahun 1962 atas inisiatif Bapak H.Abdul Wahid (cucu Kari Mudo, tokoh Perang Kamang) seorang wartawan senior yang bermukim di Jakarta, mulai merintis untuk mengangkat peristiwa tersebut ketingkat Nasional. Atas kerja-sama beliau dengan Guberbur Sumatera Barat (dijabat oleh Kaharudin Dt.Rangkayo Basa), Ketua MPRS (Charul Saleh) dan tokoh-tokoh Minang lainnya yang ada di Jakarta. Beliau berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat tentang perlawanan yang telah dilakukan rakyat Sumatera Barat menentang Kolonial Belanda di Kamang 15 Juni 1908. Sehingga pada tahun 1962 tersebut di Jakarta terbentuk sebuah Panitia Pusat peringatan hari Perang Kamang. Panitia berhasil menyelenggarakan upacara, yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara, diantaranya Ketua MPRS, Chairul Saleh; Wampa Bidang Khusus/Menteri Penerangan Dr.H. Ruslan Abdul Gani dan lain-lain.
Peringatan Perang Kamang tahun 1963 upacara diadakan di Bukittinggi (Lapangan Kantin). Hadir dalam upacara itu sejumlah petinggi dari pusat, antara lain Wampa Bidang Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jendral Dr.AH.Nasution; Deputi menteri Panglima Angkatan Darat untuk Willayah Sumatera Brigadir Jenderal RA Kosasih; Panglima Daerah Militer III/17 Agustus, Kolonel R. Soryosoempono; Ketua Panitia Pusat Hari Peringatan Sumatera Barat Menentang Penjajahan Belanda, Kolonel (AL), Drs. Mohammad Kemal.
Pada upacara peringatan tersebut, Jenderal Nasution berkenan meresmikan 2 (dua) buah monumen perjuangan Perang Kamang: pertama, yang teletak di dekat Rumah Sakit Ahcmad Muchtar Bukittinggi sekarang ini, dan kedua yang didirikan di Pintu Koto Kamang. Lebih penting lagi dalam memperingati Perang Kamang waktu itu ialah diresmikannya makam korban perlawanan rakyat Kamang yang tewas dalam pertempuran 15 juni 1908 itu menjadi Makam Pahlawan. Dengan nama Makam Pahlawan Perang Kamang 1908.
Bahan Rujukan:
Alimin St.Majo Indo, Kamang Dalam Pertumbuhan dan Perjuangan Menentang Kolonialisme, Rehevi, Jakarta 1996.
Hamka, Ayahku. Djakarta: Bulan Bintang, 1958.
Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1980.
Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Rusli Amran, Pemberontakan Pajak , Bagian 1, Perang Kamang. Jakarta 1988.
Tarmizi Dkk (Tim Penyusun Monografi Nagari Kamang). Kamang dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa. Kamang, 1995.
Leave a Reply