AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena pernikahan tanpa konsumasi yang berujung perceraian menimbulkan pertanyaan mendasar tentang perlindungan hak perempuan dalam hukum keluarga Islam, khususnya terkait dampak psikologis dan mekanisme perlindungan yang tersedia bagi perempuan dalam situasi tersebut.
Kasus yang mencuat melalui media sosial ini memerlukan pemahaman mendalam tentang terminologi hukum Islam. Konsumasi pernikahan dalam konteks yang mudah dipahami adalah penyempurnaan hubungan suami-istri secara fisik dan intim setelah akad nikah berlangsung. Dalam fiqh munakahat, istilah teknisnya disebut al-dukhul, yang secara harfiah berarti “masuk” atau “memasuki”. Para ulama membedakan antara al-dukhul al-haqiqi (hubungan intim yang sesungguhnya terjadi) dan al-dukhul al-hukmi (hubungan yang secara hukum dianggap telah terjadi meskipun belum ada intimasi fisik, misalnya karena adanya kebersamaan privat atau khalwah sahihah). Pernikahan yang tidak dikonsumasi, sebagaimana dilaporkan dalam kasus Wolipop Detik (24 Juni 2025), berarti pasangan suami-istri tidak pernah melakukan hubungan intim selama masa pernikahan mereka, yang dalam hukum Islam memiliki implikasi berbeda terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak (Jawad, 1998).
Dampak psikologis menjadi aspek krusial yang tidak dapat diabaikan dalam pernikahan bermasalah semacam ini. Perempuan yang menikah namun tidak pernah mengalami keintiman fisik dengan pasangannya – seperti dalam kasus yang viral tersebut dimana suami memiliki orientasi homoseksual – menghadapi trauma signifikan berupa perasaan ditolak, kebingungan tentang identitas diri sebagai istri, dan gangguan kepercayaan diri yang mendalam. Situasi ini berbeda dengan pernikahan normal dimana keintiman fisik menjadi bagian alami dari kehidupan berumah tangga. Studi terkini menunjukkan bahwa kondisi ini memicu tingkat stres dan kecemasan tinggi yang memerlukan dukungan psikologis komprehensif (Mukaddam, 2024). Dampak psikologis tersebut berpotensi berlangsung jangka panjang dan menghambat kemampuan menjalin hubungan interpersonal di masa depan.
Respons hukum Islam terhadap situasi ini menunjukkan sensitivitas terhadap kondisi perempuan yang rentan. Konsep khalwah sahihah (kebersamaan yang sah) adalah situasi dimana suami-istri berada dalam kebersamaan privat tanpa halangan yang mencegah mereka untuk melakukan hubungan intim – baik halangan fisik, psikologis, maupun hukum. Namun, ulama Syafi’iyah secara tegas menyatakan bahwa kebersamaan privat (khalwah) tidak dapat disamakan dengan hubungan intim yang sesungguhnya (jima’) karena keduanya memiliki kriteria hukum yang berbeda. Artinya, meskipun pasangan suami-istri pernah berduaan dalam ruang privat, jika tidak terjadi hubungan intim yang sebenarnya, maka pernikahan tersebut tetap dikategorikan sebagai tidak dikonsumasi. Ketentuan ini memberikan perlindungan konkret bagi perempuan yang mengalami situasi seperti dalam kasus viral tersebut, yakni hak memperoleh setengah dari mahar yang telah ditetapkan dan pembebasan dari kewajiban menjalani masa iddah (periode menunggu) setelah perceraian (Dornschneider et al., 2024).
Perbandingan dengan sistem hukum lain mengungkap keunggulan pendekatan hukum Islam dalam melindungi hak perempuan. Hukum positif umumnya berfokus pada aspek administratif semata, sementara hukum Islam mempertimbangkan dimensi psikologis dan spiritual perempuan secara holistik. Namun demikian, implementasi praktis masih menghadapi hambatan signifikan akibat minimnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam perspektif Islam yang sesungguhnya (Badran, 2024).
Solusi komprehensif memerlukan pendekatan sistematis melalui beberapa strategi. Pertama, penguatan program edukasi pra-nikah yang mencakup pemahaman mendalam tentang hak dan kewajiban suami-istri dalam Islam. Kedua, pengembangan program pelatihan konselor pernikahan yang berbasis hukum Islam dan sensitif gender. Ketiga, revitalisasi lembaga mediasi keluarga dengan pendekatan yang ramah perempuan. Keempat, intensifikasi kampanye publik tentang hak-hak perempuan dalam institusi pernikahan Islam melalui berbagai media dan platform komunikasi yang accessible.
Perlindungan hak perempuan dalam pernikahan tanpa konsumasi merefleksikan prinsip keadilan dan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi kompleksitas relasi manusia. Sinergi antara ulama, psikolog, dan praktisi hukum menjadi prasyarat untuk memastikan implementasi yang efektif dan optimal. Edukasi masyarakat tentang hak-hak fundamental ini merupakan kunci pencegahan kasus serupa di masa depan, sekaligus mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi perempuan Muslim sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kerahmatan Islam.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Badran, M. (2024). Togetherness and union between husband and wife in equal relationship in the thought of Azhary Imam Palembang in Hadiyah an-nisa manuscripts. Cogent Social Sciences, 10(1), 2508606. https://doi.org/10.1080/23311983.2025.2508606
Dornschneider, S., Walsh, D., & Theiler, T. (2024). There is no compulsion in marriage: Divorce and gendered change in Afghanistan during the Islamic Republic. Gender, Place & Culture, 31(8), 1127-1149. https://doi.org/10.1080/13530194.2024.2327508
Jawad, H. A. (1998). Women and marriage in Islam. In The Rights of Women in Islam (pp. 33-52). Palgrave Macmillan. https://doi.org/10.1057/9780230503311_3
Mukaddam, F. (2024). Muslim women between community and individual rights: Legal pluralism and marriage in South Africa. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-031-54614-3
Leave a Reply