AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pemberian mahar palsu dalam akad nikah, sebagaimana terjadi dalam kasus perkawinan antara Heri Horeh dan Riyuka Bunga yang memberikan mahar emas palsu (Liputan6.com, 2024), menimbulkan pertanyaan serius mengenai validitas perkawinan dalam perspektif hukum Islam, khususnya ketika terungkap bahwa mahar yang diberikan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad (Raman, 2024).
Mahar atau mas kawin merupakan salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi dalam perkawinan Islam. Dalam konteks fiqh munakahat, mahar bukan sekadar simbol, melainkan hak mutlak istri yang harus diberikan suami sebagai bentuk penghormatan dan jaminan ekonomi (Showkat, 2023). Namun, praktik pemberian mahar palsu yang terjadi dalam masyarakat kontemporer menghadirkan dilema yuridis yang kompleks dan memerlukan analisis mendalam dari perspektif hukum Islam klasik maupun kontemporer.
Dari sudut pandang hukum Islam, mahar harus memenuhi kriteria tertentu untuk dianggap sah. Pertama, mahar harus berupa harta yang bernilai dan halal menurut syariat. Kedua, mahar harus diserahkan dengan itikad baik tanpa unsur penipuan. Ketiga, mahar harus sesuai dengan kesepakatan dalam akad nikah (Nasir, 2009). Berdasarkan kaidah fiqh “al-‘aqdu syari’atul muta’aqidain” (akad adalah syariat bagi yang berjanji), maka pemberian mahar palsu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kesepakatan akad yang telah disepakati kedua belah pihak.
Analisis yuridis menunjukkan bahwa mahar palsu menimbulkan beberapa implikasi hukum. Dalam madzhab Hanafi, pemberian mahar yang tidak sesuai dengan kesepakatan dapat menjadi dasar pembatalan nikah jika hal tersebut diketahui sebelum dukhul (hubungan suami istri). Sementara madzhab Syafi’i berpendapat bahwa ketidaksesuaian mahar tidak membatalkan akad nikah, namun suami wajib mengganti dengan mahar yang sebenarnya atau mahar mitsl (mahar yang sepadan). Madzhab Hanbali dan Maliki memiliki pandangan yang relatif sama, bahwa penipuan dalam mahar tidak secara otomatis membatalkan nikah, tetapi menimbulkan kewajiban ganti rugi.
Perspektif kontemporer menunjukkan bahwa mahar palsu dapat dikategorikan sebagai bentuk tadlis (penipuan) yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Para ulama kontemporer menekankan bahwa transparansi dan kejujuran dalam akad nikah merupakan fondasi penting untuk membangun keluarga sakinah (Quraishi-Landes, 2013). Ketika terjadi penipuan dalam mahar, hal ini tidak hanya melanggar hak ekonomi istri, tetapi juga merusak kepercayaan yang menjadi dasar hubungan perkawinan (Anggraeni, 2023).
Solusi yang dapat diterapkan meliputi beberapa aspek. Pertama, penguatan edukasi pra-nikah yang menekankan pentingnya kejujuran dan transparansi dalam semua aspek perkawinan, termasuk mahar. Kedua, peran keluarga dan wali nikah dalam memastikan kesesuaian mahar dengan kemampuan calon suami. Ketiga, perlunya mekanisme verifikasi mahar oleh penghulu atau petugas KUA untuk memastikan keabsahan mahar yang diserahkan (Amberi, 2023). Keempat, pengembangan instrumen hukum yang mengatur sanksi tegas bagi pelaku penipuan mahar (Andalusi, 2019).
Validitas mahar palsu dalam akad nikah menurut fiqh munakahat menunjukkan bahwa meskipun tidak secara otomatis membatalkan perkawinan, praktik ini tetap melanggar prinsip-prinsip syariat Islam dan menimbulkan kewajiban ganti rugi (Raman, 2024). Diperlukan pendekatan komprehensif yang menggabungkan edukasi, pengawasan, dan penegakan hukum untuk mencegah terulangnya praktik yang merugikan ini, sehingga institusi perkawinan dapat berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sesuai dengan tujuan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Berita:
Liputan6.com. (2024, Juni 15). Koronologis Heri Horeh berikan mahar emas palsu saat nikahi Riyuka Bunga hingga akhirnya berseteru. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/showbiz/read/6052494/koronologis-heri-horeh-berikan-mahar-emas-palsu-saat-nikahi-riyuka-bunga-hingga-akhirnya-berseteru
Jurnal Terindeks Scopus
Amberi, M. (2023). Efforts to prevent child age marriage in the study of Islamic legal philosophy and Indonesia positive law. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 7(1), 203-225. https://doi.org/10.22373/sjhk.v7i1.12404
Andalusi, Z. A. (2019). Future package financing products with murabahah agreement in the perspective of Sharia economic law. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 19(2), 187-204. https://doi.org/10.15408/ajis.v19i2.11991
Anggraeni, S. (2023). Islamic law and customary law in contemporary legal pluralism in Indonesia: Tension and constraints. AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, 23(1), 89-108.
Raman, D. (2024). Enforceability of mahr under a sharīʿa law-based contract in New Zealand: A comparison with United Kingdom, Australia, and Canada. International Journal of Law, Policy and the Family, 38(1), 145-172. https://doi.org/10.1093/lawfam/ebae020
Showkat, A. (2023). The principle and practice of mahr in Muslim marriages. Journal of Islamic Studies, 34(2), 234-256. https://doi.org/10.1177/09667350221134992
Referensi Klasik:
Nasir, J. J. (2009). The status of women under Islamic law and modern Islamic legislation (3rd ed.). Brill.
Quraishi-Landes, A. (2013). A meditation on mahr, modernity, and Muslim marriage contract law. In M. Failinger, E. Schiltz, & J. S. Stabile (Eds.), Feminism, law, and religion (pp. 173-195). Routledge.
Leave a Reply