Advertisement

Pengelolaan Sampah: Bom Waktu dan Efek Domino di Tengah Masyarakat

AKTAMEDIA.COM – PEKANBARU, 3 Juli 2025 – Sampah adalah isu klasik yang tak pernah usang. Di balik gaya hidup modern yang serba instan, gunungan sampah terus bertambah setiap hari. Tak hanya mencemari lingkungan, persoalan sampah kini memunculkan efek domino yang memengaruhi kesehatan, ekonomi, bahkan iklim global. Di berbagai negara, pengelolaan sampah telah menjadi prioritas nasional. Namun, bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai warga negara yang peduli, saya, Aditya Perdana Putra, merasa isu ini sering kali disepelekan, padahal justru memiliki dampak jangka panjang yang sangat serius. Jika tidak dikelola secara sistemik dan kolaboratif, sampah bisa menjadi ancaman laten bagi generasi mendatang.

1. Sampah Global: Masalah Berskala Internasional

Data dari The World Bank dalam laporan “What a Waste 2.0” menunjukkan bahwa pada tahun 2023, dunia menghasilkan sekitar 2,3 miliar ton sampah padat per tahun, dan angka ini diproyeksikan naik menjadi 3,4 miliar ton pada 2050. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat menyumbang rata-rata 2 kg sampah per orang per hari, sementara negara berkembang menghasilkan antara 0,3 hingga 1,5 kg.

Namun yang menjadi sorotan adalah bahwa negara-negara berkembang justru lebih rentan terhadap dampak negatif sampah karena lemahnya sistem pengelolaan. Misalnya, di India, lebih dari 62 juta ton sampah dihasilkan setiap tahun, dan hanya sekitar 30% yang berhasil dikelola secara aman. Sisanya menumpuk di tempat pembuangan terbuka yang tidak terkendali.

Di sisi lain, negara seperti Swedia dan Jerman menunjukkan model pengelolaan sampah yang ideal. Jerman, misalnya, berhasil mengelola 66% sampah domestik melalui sistem daur ulang terintegrasi. Swedia bahkan hanya mengirimkan 1% sampah ke TPA, sisanya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan energi.

Menurut saya, negara-negara tersebut berhasil bukan karena teknologi semata, tetapi karena membangun budaya tanggung jawab kolektif terhadap limbah sejak dini.


2. Kondisi di Indonesia: Antara Kesadaran dan Krisis

Indonesia menghadapi tantangan yang berat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa pada tahun 2024, Indonesia menghasilkan sekitar 21,1 juta ton sampah, dengan 58,6% berasal dari rumah tangga. Dari jumlah itu, hanya 7,5 juta ton yang berhasil dikelola dengan baik. Sisanya masih dibuang sembarangan atau berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang sudah kelebihan kapasitas.

Salah satu contoh paling mengkhawatirkan adalah TPA Leuwigajah di Bandung yang pernah longsor pada tahun 2005 dan menewaskan lebih dari 100 orang. Dua dekade berlalu, belum banyak perubahan signifikan. TPA Bantar Gebang di Bekasi, misalnya, menerima hingga 7.000 ton sampah per hari, dan saat ini nyaris kehabisan lahan.

Ironisnya, sebagian masyarakat masih menganggap sampah sebagai urusan pemerintah semata. Padahal, pengelolaan sampah harus dimulai dari rumah. Ketika masyarakat enggan memilah sampah, seluruh rantai pengelolaan menjadi kacau.

Sebagai pelaku usaha dan pengamat lingkungan, saya menyayangkan rendahnya keterlibatan sektor privat dan komunitas dalam menyelesaikan krisis ini. Padahal, dengan model kolaborasi seperti bank sampah atau pengolahan kompos lokal, efek positifnya bisa terasa langsung di masyarakat.


3. Efek Domino yang Tidak Bisa Diabaikan

Pengelolaan sampah yang buruk menimbulkan efek domino yang luas. Pertama, aspek kesehatan masyarakat. Sampah yang tidak terkelola menjadi sumber penyakit seperti diare, demam berdarah, dan infeksi kulit. Air lindi dari TPA mencemari air tanah dan sungai, yang digunakan oleh jutaan warga untuk mandi dan memasak.

Kedua, dampak ekonomi. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian ekonomi akibat pencemaran dan banjir yang disebabkan oleh sampah di kota-kota besar Indonesia mencapai lebih dari Rp 56 triliun per tahun. Ini termasuk kerusakan infrastruktur, biaya perawatan kesehatan, dan hilangnya produktivitas.

Ketiga, dampak lingkungan global. Indonesia termasuk dalam lima besar penyumbang sampah plastik laut terbesar di dunia, berdasarkan studi dari Science Advances (2021). Sampah ini merusak ekosistem laut dan rantai makanan, serta berkontribusi pada pemanasan global melalui emisi metana dari TPA terbuka.

Dampak ini tidak akan berhenti hanya pada satu generasi. Anak-anak kita kelak akan mewarisi krisis lingkungan yang tidak mereka ciptakan jika kita tidak bertindak sekarang.


4. Harapan dan Solusi yang Bisa Diambil

Beberapa langkah telah diambil, meski belum merata. Kota Surabaya misalnya, telah menjadi model pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang sukses. Melalui program bank sampah dan insentif untuk warga yang memilah sampah, kota ini mampu mengurangi volume sampah hingga 30% dalam 5 tahun terakhir.

Pemerintah pusat pun menerbitkan Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah. Targetnya, pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah hingga 70% pada 2025. Namun implementasi di lapangan masih belum optimal karena keterbatasan dana, sumber daya, dan kesadaran publik.

Menurut saya, solusi utama bukan hanya terletak pada regulasi atau teknologi, tapi pada perubahan pola pikir kolektif. Masyarakat harus diajak untuk memahami bahwa setiap plastik yang mereka buang sembarangan adalah ancaman nyata.

Program edukasi harus dimasukkan dalam kurikulum sejak SD. Pemerintah daerah perlu melibatkan komunitas lokal, LSM, hingga pelaku usaha untuk menciptakan ekosistem pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan.

Saya sendiri telah memulai langkah kecil di lingkungan sekitar dengan menginisiasi program pemilahan sampah rumah tangga dan usaha. Ini bukan hal besar, tapi saya percaya bahwa perubahan selalu dimulai dari individu.


 

Sampah bukan sekadar limbah, tetapi cermin dari pola konsumsi dan kesadaran masyarakat. Jika pengelolaannya diabaikan, maka kita sedang membiarkan bom waktu meledak perlahan.

Sebaliknya, jika kita mulai dari hal kecil, dari rumah, dari lingkungan kerja, dari sekolah, maka efek dominonya akan menjadi perubahan positif yang berantai.Saya, Aditya Perdana Putra, percaya bahwa masa depan Indonesia yang bersih dan berkelanjutan bukanlah utopia, melainkan tanggung jawab bersama yang harus kita wujudkan mulai hari ini.

Aditya Baso
Author: Aditya Baso

Newbie

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *