AKTAMEDIA.COM – Di tengah gemuruh jargon digitalisasi, kecakapan abad 21, dan capaian kompetensi dalam dunia pendidikan hari ini, muncul satu pertanyaan mendasar: untuk apa semua itu? Pendidikan sejatinya bukan semata-mata instrumen pencetak tenaga kerja, melainkan wahana pembentukan manusia yang sadar, arif, dan bernilai—manusia yang hidup dengan kesadaran akan makna.
Pendidikan yang ideal tidak hanya menajamkan intelektualitas, tetapi juga menyuburkan nurani. Di sinilah pentingnya memandang pendidikan sebagai sistem transformasi nilai profetik dan kemanusiaan. Kedua nilai ini bukan sekadar jargon, melainkan arah etik yang mendasar bagi masa depan bangsa.
Nilai profetik yang dimaksud merujuk pada warisan nilai kenabian: keadilan, kejujuran, empati, keberpihakan pada yang lemah, dan kesadaran transendental. Seperti yang dikemukakan Kuntowijoyo dalam gagasan ilmu sosial profetik, nilai-nilai ini berdiri di atas tiga pilar: humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Humanisasi menempatkan manusia sebagai subjek bermartabat. Liberasi mendorong pembebasan dari ketimpangan dan penindasan. Sementara transendensi mengarahkan manusia pada keterhubungan spiritual dengan nilai-nilai ilahiah. Ketiganya seyogianya hadir dalam setiap denyut sistem pendidikan kita.
Namun, realitas menunjukkan dominasi logika teknokratis: angka, akreditasi, efisiensi. Semua itu memang penting, tapi menjadi hampa tanpa fondasi nilai luhur. Lulusan yang cemerlang akademis namun kering empati adalah cermin kegagalan mendalam dalam pendidikan.
Sudah saatnya kita bergeser. Pendidikan tidak hanya mencetak SDM unggul, tetapi SDM yang utuh secara nilai. Pendidikan harus menjadi ruang pembentukan kepribadian, bukan sekadar pasar keterampilan. Ini bukan idealisme kosong. Justru inilah yang dirindukan para guru dan orang tua hari ini: pendidikan yang menghidupkan nilai, bukan sekadar mengisi kepala.
Transformasi pendidikan profetik bisa dimulai dari hal-hal sederhana: guru yang jujur, adil, penuh kasih sayang—itulah teladan nyata nilai profetik. Kurikulum yang menumbuhkan kepedulian sosial dan lingkungan merupakan bentuk konkret pendidikan kemanusiaan. Bahkan cara kita menilai siswa—apakah hanya berdasar angka ujian atau juga proses dan karakter—mencerminkan arah nilai pendidikan kita.
Perubahan tak bisa instan, tapi harus dimulai. Jika kita ingin membentuk bangsa yang kuat secara moral, adil secara sosial, dan tangguh secara spiritual, pendidikan adalah jalan utamanya—pendidikan yang memanusiakan manusia, dan membebaskan dari ketimpangan serta dehumanisasi.
Masa depan bangsa tak hanya ditentukan oleh teknologi atau kekuatan ekonomi, tetapi oleh kedalaman nilai kemanusiaan yang tertanam dalam diri setiap anak bangsa. Dan itu hanya mungkin melalui pendidikan yang berpijak pada nilai profetik dan kemanusiaan.
(malinmenan™)
Leave a Reply