AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Krisis identitas dan kehilangan autentisitas diri menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di era digital, sebagaimana disoroti dalam artikel VIVA.co.id, 20 Agustus 2025 tentang nasihat Marcus Aurelius, di mana individu terjebak dalam siklus validasi eksternal dan conformitas sosial yang dapat menggerus esensi kemanusiaan sejati.
Dalam konteks modern yang dipenuhi tekanan media sosial dan ekspektasi masyarakat, manusia sering kehilangan kemampuan untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai internal mereka. Fenomena pencarian validasi melalui media sosial dan tekanan untuk tampil sempurna telah menciptakan generasi yang lebih fokus pada penampilan eksternal daripada pengembangan karakter internal. Ironisnya, semakin keras seseorang berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, semakin jauh ia dari kebahagiaan dan kedamaian sejati.
Marcus Aurelius, kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik, dalam karyanya “Meditations” menekankan konsep fundamental tentang kebebasan memilih respons terhadap situasi eksternal tanpa tergantung pada validasi orang lain. Dalam buku kesembilan Meditations, Aurelius menulis: “Sangat sedikit yang diperlukan untuk membuat hidup yang bahagia; itu semua ada di dalam diri Anda, dalam cara berpikir Anda.” Filosofi Stoik mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari virtue internal, bukan pengakuan eksternal.
Sementara itu, Ibn Arabi (1165-1240), sufi besar yang dikenal sebagai “Muhyiddin” (pembangkit agama), melalui konsep “fana” dan “wahdat al-wujud” (kesatuan wujud) mengajarkan pentingnya melepaskan ego palsu yang terbentuk dari konstruksi sosial. Dalam karyanya “Futuhat al-Makkiyah”, Ibn Arabi menjelaskan bahwa manusia sempurna adalah mereka yang telah melampaui ketergantungan pada penilaian manusia dan hidup dalam kesadaran akan realitas yang lebih tinggi. Konsep “la hawla wa la quwwata illa billah” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah) menjadi fondasi spiritual untuk tidak bergantung pada validasi manusia.
Kedua perspektif ini meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, memiliki kesamaan fundamental dalam memandang independensi eksistensial sebagai kunci kebahagiaan. Stoikisme Marcus Aurelius mengajarkan fokus pada hal-hal dalam kendali kita, sedangkan sufisme Ibn Arabi menekankan penyerahan diri kepada Yang Maha Tinggi sebagai jalan keluar dari ketergantungan pada penilaian manusia. Keduanya sepakat bahwa pencarian pengakuan dari orang lain adalah jebakan yang menjauhkan manusia dari esensi sejatinya.
Sintesis kedua pemikiran ini menawarkan paradigma baru dalam menghadapi krisis autentisitas modern. Pendekatan yang mengombinasikan disiplin mental Stoik dengan spiritualitas Sufi dapat membantu individu mengembangkan ketahanan terhadap tekanan sosial sambil mempertahankan koneksi spiritual yang mendalam. Implementasi praktis mencakup latihan refleksi diri yang mendalam, meditasi kontemplasi, dan pembangunan sistem nilai internal yang kokoh.
Solusi konkret yang dapat diterapkan meliputi: pertama, pengembangan kurikulum pendidikan karakter yang mengintegrasikan wisdom tradisional dengan pendekatan psikologi modern; kedua, pembentukan komunitas pembelajaran yang mendorong refleksi filosofis daripada kompetisi sosial; ketiga, pelatihan mindfulness dan kontemplasi untuk professional dan educator; keempat, kampanye kesadaran tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada validasi media sosial.
Urgensi penerapan sintesis Marcus Aurelius-Ibn Arabi dalam kehidupan kontemporer bukan sekadar pilihan filosofis, melainkan kebutuhan eksistensial untuk menyelamatkan generasi dari krisis makna dan kehilangan identitas. Saatnya individu modern belajar dari kebijaksanaan lintas-peradaban ini untuk membangun masyarakat yang menghargai autentisitas daripada konformitas, kedalaman daripada superfisialitas, dan kebijaksanaan daripada popularitas semata.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Sumber Referensi Utama
Marcus Aurelius. (121-180 M). Meditations. Teks klasik filosofi Stoik.
Ibn Arabi. (1165-1240 M). Futuhat al-Makkiyah (Pembukaan-pembukaan Mekah). Karya utama sufisme Islam.
Catatan: Artikel ini merupakan analisis filosofis berdasarkan sumber primer klasik.
Leave a Reply