Advertisement

Tekanan Publik Media Sosial Picu Perceraian: Analisis Psikologi

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Era digitalisasi telah mengubah lanskap relasi perkawinan, di mana tekanan publik dan media sosial kini memainkan peran signifikan dalam pengambilan keputusan perceraian, termasuk dalam konteks hukum keluarga Islam yang menekankan upaya mediasi dan rekonsiliasi sebelum talaq. Hal ini tercermin dari pemberitaan JPNN.com pada 25 Agustus 2025 mengenai proses perceraian figur publik yang menjadi sorotan media massa.

https://www.jpnn.com/news/pratama-arhan-ajukan-permohonan-talak-cerai-dari-azizah-salsha?utm_source=newsshowcase&utm_medium=gnews&utm_campaign=CDAqEAgAKgcICjD_st0KML_N0QEw5qO8BA&utm_content=rundown

Fenomena publik figur yang mengajukan permohonan perceraian, seperti kasus yang baru-baru ini ramai diperbincangkan, mencerminkan kompleksitas interaksi antara faktor psikologis, tekanan sosial, dan prinsip-prinsip syariah dalam konteks kehidupan modern. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana komunikasi, justru berpotensi memperburuk konflik perkawinan melalui mekanisme validasi eksternal dan perbandingan sosial yang tidak sehat.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan berkorelasi signifikan dengan penurunan kualitas perkawinan. McDaniel et al. (2018) menemukan bahwa “technoference” atau gangguan teknologi dalam hubungan romantis berkaitan dengan meningkatnya konflik penggunaan teknologi, menurunnya kepuasan hubungan, dan memperburuk persepsi kualitas pengasuhan bersama. Studi longitudinal mengenai jejaring sosial juga mengungkap bahwa individu yang memiliki teman yang pernah bercerai memiliki kemungkinan 270% lebih besar untuk bercerai sendiri, menunjukkan adanya efek penularan sosial dalam keputusan perceraian (McDermott et al., 2013).

Dari perspektif psikologi Islam, media sosial menciptakan paradoks dalam hubungan perkawinan. Di satu sisi, platform digital menyediakan akses terhadap sumber daya spiritual dan komunitas dukungan. Namun di sisi lain, eksposur berlebihan terhadap kehidupan ideal orang lain dapat memicu ketidakpuasan dan ekspektasi yang tidak realistis. Mentser & Sagiv (2025) mengidentifikasi bahwa perceraian lebih dapat dibenarkan dan kemungkinan terjadi pada masyarakat yang menekankan nilai-nilai otonomi daripada nilai-nilai keterkaitan komunal, yang relevan dengan konteks individualisasi yang dipromosikan media sosial. Studi di Tehran juga mengungkap hubungan signifikan antara kecanduan internet, kekerasan domestik, dan perceraian emosional pada perempuan yang menikah (Lodhi et al., 2024).

Dalam konteks hukum keluarga Islam, prinsip maqasid syariah menekankan perlindungan terhadap lima aspek kehidupan: agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Media sosial berpotensi mengancam semua aspek ini ketika digunakan secara tidak bijaksana. Al-Sherbiny & Abdel-Khalek (2022) dalam penelitiannya tentang alat diagnostik untuk konseling perkawinan Muslim menjelaskan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor digital dalam dinamika keluarga Muslim kontemporer.

Tekanan publik yang dimediasi oleh platform digital juga menciptakan dinamika baru dalam proses pengambilan keputusan perceraian. Penelitian menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap platform media sosial dapat mengganggu komunikasi dan interaksi antara pasangan yang hadir secara fisik, yang dikenal sebagai fenomena “technoference” (McDaniel et al., 2018). Hal ini mengindikasikan bahwa media sosial tidak hanya mempengaruhi persepsi terhadap perkawinan, tetapi juga dapat memperburuk konflik yang sudah ada.

Untuk mengatasi problematika ini, diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan prinsip-prinsip psikologi Islam dan hukum keluarga syariah. Pertama, edukasi literasi digital yang berbasis nilai-nilai Islam perlu diberikan kepada pasangan muda untuk memahami dampak penggunaan media sosial terhadap relasi perkawinan. Kedua, lembaga-lembaga mediasi perkawinan Islam harus mengadaptasi metode konseling yang mempertimbangkan faktor-faktor digital dalam konflik rumah tangga. Ketiga, regulasi yang mengatur etika komunikasi dalam ruang digital perlu diperkuat untuk melindungi privasi keluarga.

Solusi preventif juga dapat dilakukan melalui pengembangan platform media sosial yang ramah keluarga, yang mempromosikan nilai-nilai positif perkawinan daripada kompetisi dan perbandingan sosial. Komunitas Muslim online dapat berperan sebagai ruang support system yang konstruktif, bukan sebagai arena validasi konflik perkawinan. Selain itu, para pemimpin agama dan konselor perkawinan perlu memahami dinamika psikologi digital untuk memberikan bimbingan yang relevan dengan tantangan zaman.

Era digital menuntut evolusi dalam pemahaman dan praktik hukum keluarga Islam. Meskipun media sosial dan tekanan publik dapat memperburuk konflik perkawinan, teknologi yang sama juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat ikatan keluarga melalui komunikasi yang sehat dan akses terhadap sumber daya spiritual. Kunci utamanya adalah mengembalikan prinsip-prinsip dasar Islam dalam berinteraksi di ruang digital: menjaga kehormatan, menghindari ghibah, dan memprioritaskan kemaslahatan keluarga di atas kepuasan ego individual. Hanya dengan pendekatan yang bijaksana dan seimbang, umat Islam dapat menavigasi tantangan perkawinan di era digital tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental agama.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Al-Sherbiny, N. A., & Abdel-Khalek, A. M. (2022). A diagnostic tool for family and marriage counseling with Muslim couples. Humanities and Social Sciences Communications, 9(1), 1-10. https://doi.org/10.1057/s41599-022-01201-9

Lodhi, F. S., Khan, A. A., Raza, O., Zaman, T. U., Farooq, U., & Holakouie-Naieni, K. (2024). Investigating the relationship between internet addiction, domestic violence, and emotional divorce among married women in Tehran. BMC Psychiatry, 24(1), 705. https://doi.org/10.1186/s12888-024-06139-7

McDaniel, B. T., Galovan, A. M., Cravens, J. D., & Drouin, M. (2018). “Technoference” and implications for mothers’ and fathers’ couple and coparenting relationship quality. Computers in Human Behavior, 80, 303-313. https://doi.org/10.1016/j.chb.2017.11.019

McDermott, R., Fowler, J. H., & Christakis, N. A. (2013). Breaking up is hard to do, unless everyone else is doing it too: Social network effects on divorce in a longitudinal sample. Social Forces, 92(2), 491-519. https://doi.org/10.1093/sf/sot096

Mentser, S., & Sagiv, L. (2025). Cultural and personal values interact to predict divorce. Communications Psychology, 3, 12. https://doi.org/10.1038/s44271-025-00185-x

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *