Advertisement

Analisis Kasus Celina Azzura: Penetapan Nasab Anak Di Luar Nikah

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Kasus sengketa nasab (garis keturunan) Celina Azzura yang melibatkan tokoh publik Ridwan Kamil dan klaim pengakuan dari Revelino Tuwasey melalui tes DNA sebagaimana diberitakan Tribun News, 22 Agustus 2025 menggambarkan kompleksitas penetapan nasab anak di luar nikah dalam sistem hukum Indonesia. Hasil tes DNA yang menyatakan Ridwan Kamil bukan ayah biologis dan klaim Revelino sebagai ayah kandung menghadirkan dilema yuridis (persoalan hukum) yang memerlukan analisis mendalam dari perspektif hukum keluarga Islam dan hukum nasional.

https://wartakota.tribunnews.com/2025/08/22/revelino-puas-dengan-hasil-tes-dna-itu-anak-gua-dengan-lisa-mariana

Problematika penetapan nasab anak di luar nikah di Indonesia bermula dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Ketentuan ini kemudian mengalami perubahan signifikan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang memperluas hubungan perdata anak luar nikah dengan ayah biologis sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah (Liman & Rifai, 2023). Transformasi hukum ini menciptakan ruang bagi penggunaan teknologi DNA testing dalam penetapan nasab, namun menimbulkan pertanyaan mendasar tentang harmonisasinya dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Dalam perspektif hukum keluarga Islam, penetapan nasab (garis keturunan) merupakan konsep fundamental yang terikat erat dengan institusi pernikahan yang sah menurut syariat (hukum Islam). Konsep nasab dalam fikih (ilmu hukum Islam) klasik tidak mengenal pengakuan anak hasil hubungan di luar nikah dengan ayah biologisnya, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah “al-walad lil firasy wa lil ‘ahir al-hajar” (anak dinisbahkan kepada pemilik tempat tidur yang sah dan bagi pezina adalah rajam) (Shabana, 2012). Namun, perkembangan kontemporer menunjukkan adanya ijtihad (penalaran hukum Islam) progresif yang mempertimbangkan kemaslahatan anak melalui pendekatan maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat Islam), khususnya dalam konteks hifz al-nafs (perlindungan jiwa) dan hifz al-nasl (perlindungan keturunan) (Fadel, 2021). Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa teknologi DNA dapat digunakan sebagai alat bantu dalam kasus-kasus tertentu, seperti syubhat (keraguan dalam hukum Islam) atau untuk kepentingan kemaslahatan anak, meskipun tidak mengubah status hukum fundamental mengenai nasab dalam Islam.

Dari sisi hukum nasional Indonesia, implementasi Putusan MK 46/2010 menciptakan dualisme penetapan nasab yang kompleks. Di satu sisi, putusan tersebut memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif bagi anak luar nikah dengan mengakui hubungan perdata dengan ayah biologis (Nataadmadja, 2021). Namun di sisi lain, implementasinya dalam praktik peradilan menimbulkan disparitas, terutama di Pengadilan Agama yang masih terikat dengan prinsip-prinsip hukum Islam (Hamidah, 2020). Pengadilan Agama cenderung lebih restriktif dalam menerima penetapan asal-usul anak luar nikah, sementara Pengadilan Negeri lebih terbuka terhadap penggunaan bukti ilmiah DNA. Disparitas ini menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan kepentingan terbaik anak.

Analisis komparatif (perbandingan) menunjukkan bahwa negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Maroko juga menghadapi tantangan serupa dalam mengintegrasikan teknologi DNA dengan prinsip-prinsip hukum keluarga Islam (Khalil & Mohamed, 2022). Malaysia melalui Islamic Family Law Act 1984 (Undang-Undang Hukum Keluarga Islam 1984) telah mengakomodasi penggunaan bukti ilmiah dalam kasus-kasus tertentu dengan tetap mempertahankan prinsip dasar nasab dalam Islam. Sementara itu, Maroko melalui praktik peradilan di Pengadilan Tangier telah memberikan ruang yang lebih luas bagi penggunaan teknologi DNA dalam penetapan nasab, meskipun dengan syarat-syarat ketat yang tetap menghormati nilai-nilai syariat Islam (Bouderbala, 2022).

Kasus Celina Azzura mengilustrasikan perlunya reformulasi (pembaruan) kebijakan hukum yang integratif (menyeluruh) dan responsif (tanggap) terhadap perkembangan teknologi serta tuntutan perlindungan anak. Pertama, diperlukan harmonisasi (penyerasian) interpretasi antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri melalui pedoman teknis yang jelas mengenai penetapan asal-usul anak luar nikah. Kedua, pengembangan mekanisme mediasi (penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga) berbasis kearifan lokal yang melibatkan tokoh agama dan ahli hukum untuk menyelesaikan sengketa nasab secara holistik (menyeluruh). Ketiga, penyusunan regulasi turunan yang mengatur secara spesifik penggunaan bukti ilmiah DNA dalam konteks hukum keluarga Islam dengan tetap menghormati prinsip-prinsip syariat.

Penetapan nasab anak di luar nikah memerlukan pendekatan yang seimbang antara perlindungan hak-hak anak sesuai konvensi internasional dan penghormatan terhadap nilai-nilai hukum Islam sebagai living law (hukum yang hidup) mayoritas masyarakat Indonesia. Kasus Celina Azzura menjadi momentum penting untuk mendorong dialog konstruktif (membangun) antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam merumuskan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum perlu bersinergi dalam menciptakan sistem hukum keluarga yang responsif terhadap tantangan kontemporer tanpa kehilangan akar nilai-nilai fundamental bangsa.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Bouderbala, N. (2022). DNA testing and paternity lawsuits in Morocco: The Tangier’s court case. Yearbook of Islamic and Middle Eastern Law, 21(1), 28-45.

Fadel, M. (2021). DNA evidence and the Islamic law of paternity in light of maqāṣid al-sharīʿa. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.3757975

Hamidah, T. (2020). The status of children born out of wedlock and adopted children in Indonesia: Interactions between Islamic, adat, and human rights norms. Journal of Law and Religion, 35(1), 123-148. https://doi.org/10.1017/jlr.2020.5

Khalil, A. H., & Mohamed, Z. (2022). Legal protection of the rights children born out of wedlock: A comparative study in Indonesia and Malaysia. International Journal of Current Science Research and Review, 5(4), 1234-1248. https://doi.org/10.47191/ijcsrr/V5-i4-12

Liman, P. D., & Rifai, A. (2023). Legal status of children out of wedlock according to the decision of the Constitutional Court in inheritance of the Burgerlijk Wetboek (BW) system. Jurnal Hukum Keluarga, 8(2), 145-167.

Nataadmadja, S. (2021). Child born out of wedlock and its legal standing according to the applicable law in Indonesia. Indonesian Legal Journal, 16(3), 89-112.

Shabana, A. (2012). Paternity between law and biology: The reconstruction of the Islamic law of paternity in the wake of DNA testing. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(1), 214-239.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *