AKTAMEDIA.COM, BAGDAD – Di antara nama-nama besar dalam sejarah penjelajahan dunia, satu nama dari dunia Islam bersinar terang: Ibnu Battuta. Ia bukan hanya seorang musafir, tetapi juga seorang cendekiawan, ulama, diplomat, dan saksi hidup dari keberagaman dunia Islam dan sekitarnya pada abad ke-14. Perjalanannya yang berlangsung hampir tiga dekade mencerminkan semangat ilmu, petualangan, dan keimanan yang luar biasa. Dalam catatannya yang terkenal, Rihlah, ia mendokumentasikan pengalaman yang melintasi tiga benua—menjadikannya salah satu penjelajah terhebat sepanjang sejarah manusia.
Latar Belakang dan Awal Kehidupan
Ibnu Battuta lahir pada tanggal 24 Februari 1304 di Tangier, sebuah kota pelabuhan penting di pesisir utara Maroko yang saat itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah. Ia berasal dari keluarga ulama Maliki yang dihormati. Sejak kecil, Ibnu Battuta dididik dalam ilmu agama dan fiqih (hukum Islam), sebuah latar belakang yang kelak membantunya memperoleh posisi sebagai qadi (hakim Islam) di berbagai wilayah yang ia kunjungi.
Motivasi dan Awal Perjalanan
Pada tahun 1325, di usia 21 tahun, Ibnu Battuta memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Namun, perjalanan ini bukan sekadar ziarah spiritual. Ia menggabungkannya dengan keinginan untuk menjelajah dunia Islam, memperdalam ilmu agama, dan memahami peradaban lain. Ia menulis, “Aku berangkat sendirian, tanpa teman yang dapat menghiburku dan tanpa karavan untuk mengikutiku, hanya dorongan yang kuat di hatiku.”
Rute Perjalanan yang Luas
Selama hampir 30 tahun, Ibnu Battuta menjelajahi dunia yang pada saat itu mencakup sebagian besar peradaban Islam dan bahkan melampauinya. Berikut wilayah-wilayah utama yang ia kunjungi:
Afrika Utara dan Timur Tengah
Ia melewati Mesir, Palestina, Suriah, dan Irak, kemudian sampai ke Mekah. Di sini ia tinggal selama beberapa waktu untuk belajar dan memperdalam ilmu agama.
Asia Tengah dan Selatan
Ibnu Battuta melanjutkan perjalanan ke Persia, Anatolia (Turki), lalu ke India, tempat ia diangkat sebagai qadi oleh Sultan Delhi, Muhammad bin Tughluq. Ia tinggal di India selama beberapa tahun dan sempat mengunjungi wilayah Himalaya dan Malabar.
Kepulauan dan Asia Timur
Dari India, ia mengunjungi Maladewa, Sri Lanka, Sumatra (kerajaan Samudra Pasai di Indonesia), kemudian sampai ke Tiongkok, mengunjungi kota-kota seperti Guangzhou dan Beijing.
Afrika Barat
Setelah kembali ke Maroko, ia tidak berhenti. Ia melanjutkan ekspedisi ke Sahara dan Kekaisaran Mali, termasuk kota Timbuktu dan Gao, pusat intelektual dan ekonomi Afrika Barat.
Rihlah: Catatan Perjalanan yang Abadi
Sekembalinya ke Maroko sekitar tahun 1354, Sultan Abu Inan Faris dari Fez meminta Ibnu Battuta untuk mendiktekan kisah perjalanannya. Ia bekerja sama dengan penulis bernama Ibnu Juzayy, menghasilkan karya terkenal berjudul:
> “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar”,
artinya: Hadiah bagi para pengamat tentang keanehan kota-kota dan keajaiban perjalanan.
Karya ini lebih dikenal dengan nama singkatnya: “Rihlah” (Perjalanan).
Rihlah bukan hanya buku petualangan, tetapi juga ensiklopedia sosial budaya. Ia mencatat adat istiadat, pemerintahan, pengadilan, ekonomi, dan kehidupan keagamaan di berbagai belahan dunia.
Warisan dan Pengaruh
Ibnu Battuta meninggalkan warisan yang luas:
Sebagai penjelajah, ia dianggap telah menempuh jarak lebih dari 120.000 kilometer, melampaui penjelajahan Marco Polo.
Sebagai pengamat, ia menyajikan catatan otentik dunia Islam pada masa keemasannya.
Sebagai ulama, ia menunjukkan pentingnya ilmu dan toleransi terhadap keragaman budaya dalam kerangka keimanan.
Namanya kini diabadikan di berbagai tempat: bandara di Tangier (Bandar Udara Internasional Ibn Battouta), sekolah, dan pusat studi sejarah Islam.
Ibnu Battuta bukan hanya seorang musafir biasa. Ia adalah jembatan antara Timur dan Barat, antara Afrika, Asia, dan dunia Arab. Melalui perjalanannya, kita mendapatkan gambaran yang mendalam tentang dinamika global abad pertengahan. Di tengah keterbatasan transportasi zaman itu, ia menunjukkan bahwa semangat menjelajah, belajar, dan menyatukan manusia dalam pemahaman lintas budaya adalah nilai universal yang melampaui batas geografis.
Ibnu Battuta bukan hanya milik sejarah Islam, tetapi juga milik dunia.
Leave a Reply