Advertisement

HAJI AGUS SALIM: Ulama, Jurnalis, dan Diplomat yang Menggerakkan Kemerdekaan dengan Kata dan Akhlak

AKTAMEDIA.COM, Pekanbaru – 6 Juli 2025 — Nama Haji Agus Salim mungkin tidak sepopuler Soekarno atau Hatta di pelajaran sejarah sekolah. Namun, tanpa figur satu ini, perjalanan bangsa menuju kemerdekaan Indonesia bisa saja lebih panjang, lebih berdarah, dan mungkin lebih tersesat. Dikenal sebagai “The Grand Old Man” oleh para tokoh revolusi muda, Agus Salim adalah tokoh multidimensi: ulama, jurnalis, diplomat, politisi, serta penghubung antara nilai-nilai Islam, modernitas, dan nasionalisme.

Haji Agus Salim memperjuangkan kemerdekaan tidak dengan mengangkat senjata, tetapi dengan pena, diplomasi, dan pemikiran tajam yang membentuk jembatan ideologis antara berbagai kelompok pada masa pergerakan nasional. Dalam masa penuh pergolakan, ia tampil sebagai sosok jernih yang menjaga akal sehat bangsa, menyuarakan kemerdekaan dengan prinsip moral dan logika yang kokoh.


Kehidupan Awal dan Pendidikan

Lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884, Haji Agus Salim memiliki nama asli Mashudul Haq. Ia adalah anak dari keluarga terpandang. Ayahnya, Sutan Mohamad Salim, merupakan jaksa tinggi, sebuah jabatan prestisius pada masa Hindia Belanda.

Agus Salim kecil mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), lalu melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia — sebuah sekolah elite yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan pribumi terpilih. Di sana, ia dikenal sebagai murid jenius dan menguasai banyak bahasa asing, termasuk Belanda, Inggris, Jerman, Arab, Prancis, hingga Turki.

Ia sempat bercita-cita melanjutkan studi kedokteran ke Belanda, tetapi kesempatan itu diberikan kepada keponakannya, Mohammad Hatta. Sebagai gantinya, Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah selama lima tahun (1906–1911). Di sana, ia bersentuhan langsung dengan pemikiran Islam modernis, Pan-Islamisme, dan gerakan pembaruan Timur Tengah.


Aktivisme Politik dan Dunia Jurnalistik

Sekembalinya ke tanah air, Agus Salim tidak masuk birokrasi kolonial, melainkan memilih jalan jurnalisme dan dakwah sosial-politik. Ia menjadi redaktur dan penulis untuk surat kabar Neratja dan Hindia Baroe, media yang menyuarakan kebangkitan nasional.

Tulisan-tulisannya yang satir, cerdas, dan logis mengguncang pemerintah Hindia Belanda. Ia mengkritik sistem kolonial, ketimpangan ekonomi, diskriminasi ras, serta mencela elite pribumi yang terlalu tunduk pada penguasa asing.

Tahun 1915, Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), organisasi massa terbesar pada masanya. Ia segera menjadi tokoh utama setelah tokoh pendiri, H.O.S. Tjokroaminoto. Saat SI terbelah karena pengaruh komunisme, Agus Salim tegas memihak kubu Islam moderat dan menentang ideologi kiri. Bersama Tjokroaminoto dan Abdul Muis, ia membentuk sayap Islam progresif dalam SI yang kemudian melahirkan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).


Penyambung Islam, Nasionalisme, dan Modernitas

Agus Salim memiliki posisi unik sebagai tokoh yang mampu menjembatani Islam dan nasionalisme. Ia meyakini bahwa Islam tidak bertentangan dengan modernitas dan kemajuan bangsa, tetapi justru memberikan landasan moral bagi pembebasan dan pembangunan.

Pemikirannya tentang kebangsaan berakar dari prinsip Islam tentang keadilan, kemanusiaan, dan anti-penindasan. Ia menolak ide negara Islam yang teokratis, dan lebih mendukung negara nasional yang menjamin kebebasan beragama, kesetaraan warga, serta kemerdekaan berpikir.

Di tengah konflik ideologi antara kelompok Islam, nasionalis sekuler, dan komunis, Agus Salim tampil sebagai penengah yang disegani. Ia tidak membawa obor, tetapi lentera logika dan integritas. Ia tidak fanatik, tapi teguh dalam prinsip.


Peran Sentral dalam Kemerdekaan

Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Agus Salim sempat diangkat dalam organisasi Putera bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Namun, ia tetap kritis terhadap propaganda Jepang dan memanfaatkan posisi itu untuk menyebarkan semangat kebangsaan.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Agus Salim diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan pada 1947–1949 dipercaya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI dalam kabinet Amir Sjarifuddin dan Hatta.

Dalam perannya sebagai Menteri Luar Negeri, Agus Salim menjadi aktor kunci dalam diplomasi internasional. Ia mewakili Indonesia dalam forum PBB, melakukan lobi ke Timur Tengah, India, Pakistan, dan negara-negara Islam agar mengakui kemerdekaan Indonesia.

Salah satu keberhasilannya adalah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir pada 1947, yang kemudian diikuti oleh India dan negara-negara lain. Ia memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Asia di New Delhi dan menjalin kerja sama erat dengan tokoh-tokoh seperti Jawaharlal Nehru dan Choudhary Khaliquzzaman.

Kemampuan diplomasi Agus Salim begitu mengesankan, bahkan lawan politiknya di Belanda pun mengakui kejernihan dan wawasannya. Ia berdiplomasi dengan kebijaksanaan seorang kakek, bukan dengan ambisi seorang politisi.


Kehidupan Pribadi yang Sederhana

Agus Salim dikenal sebagai tokoh yang hidup dalam kesederhanaan yang luar biasa. Ia menolak fasilitas negara, menolak korupsi, dan hidup dengan penghasilan minim dari tulisannya dan sumbangan para simpatisan.

Ia berjalan kaki ke kantor, tinggal di rumah kontrakan kecil, dan membesarkan sembilan anaknya dengan penuh kesabaran. Salah satu anaknya, Subadio Sastrosatomo, kemudian menjadi aktivis dan diplomat terkemuka.

Meski hidup serba terbatas, Agus Salim tidak pernah mengeluh. Ia menganggap kemiskinan bukan aib, selama tetap menjaga kehormatan dan kejujuran. Ia pernah berkata, “Jika aku miskin, maka itu karena aku tidak mencuri. Dan itu kehormatanku.”


Wafat dan Warisan

Agus Salim wafat pada 4 November 1954 di Jakarta dalam usia 70 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama Agus Salim kini diabadikan dalam berbagai nama jalan, sekolah, dan institusi. Namun warisan terbesarnya bukanlah patung atau bangunan, melainkan ide, integritas, dan prinsip hidupnya yang tetap relevan di zaman ini.


Haji Agus Salim adalah contoh pejuang yang tidak berkuasa, tetapi berpengaruh. Ia tidak mencari jabatan, tetapi dipercaya. Ia tidak menuntut popularitas, tetapi dikenang. Dalam dinamika politik yang sering keruh dan penuh intrik, Agus Salim berdiri sebagai mercusuar moral.

Di tengah kepungan ideologi ekstrem dan kolonialisme, ia menegakkan Islam yang toleran, nasionalisme yang bijak, dan perjuangan yang elegan. Ia menyatukan pena dan akhlak, diplomasi dan iman, antara kata dan tindakan.

Sebagaimana pernah ditulis oleh Prof. Deliar Noer: “Jika Hatta adalah otak konstitusi, dan Soekarno adalah jiwanya revolusi, maka Agus Salim adalah suara nurani bangsa.”

Bangsa Indonesia berutang banyak kepada figur seperti Agus Salim — mereka yang melawan bukan demi nama, tapi demi nilai. Dan dalam zaman yang kembali bising dengan ambisi kekuasaan, kita butuh lebih banyak “Agus Salim” baru: jernih, jujur, dan merdeka dalam pikiran.


📚 Sumber Referensi

  1. Noer, Deliar. (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. LP3ES.
  2. Rosihan Anwar. (2004). Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, Kompas.
  3. Tempo Publishing. (2012). Haji Agus Salim: Seri Buku Tokoh Indonesia.
  4. Feith, Herbert. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press.
  5. Ensiklopedi Tokoh Indonesia. Pusat Data dan Analisa Tempo.
  6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI – Profil Pahlawan Nasional Haji Agus Salim.
  7. Republik Indonesia, Keputusan Presiden No. 657/1961 tentang Pengangkatan Agus Salim sebagai Pahlawan Nasional.
Aditya Baso
Author: Aditya Baso

Newbie

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *