AKTAMEDIA.COM – PEKANBARU, Jumat 20 Juni 2025 publik pekanbaru dihebohkan dengan viralnya video seorang ibu yang menurunkan dua anaknya untuk mengemis sambil mengenakan kostum badut di persimpangan lampu merah Pekanbaru. Hal ini tentu saja memancing reaksi dari banyak pihak, bukan hanya masyarakat namun juga dari pemerintah kota pekanbaru, dalam hal ini Wakil Walikota Pekanbaru H Markarius Anwar menyayangkan akan hal tersebut karena berakibat pada “pencabutan” status kota pekanbaru sebagai kota layak anak.
Saya memandang hal ini sebagai gejala sistematik dari masalah sosial yang lebih dalam. Praktek ekplositasi anak di ruang publik bukannya fenomena tunggal melainkan persoalan rapuhnya sistem perlindungan anak di kota ini. Fenomena ini secara sosiologis diakibatkan :
Pertama, kita melihat ini sebagai dampak dari kemiskinan struktural. Warisan kemiskinan dari generasi ke generasi berikutnya. Banyak keluarga berada dalam situasi bertahan hidup karena sistem ekonomi tidak mampu menyediakan pekerjaan layak bagi orang tua, dan jaring pengaman sosial negara sangat lemah. Dalam situasi ini, anak-anak dilibatkan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup, termasuk untuk mengemis,”
Kedua kegagalan negara dalam fungsi proteksi sosial. kehadiran anak-anak di jalan bukan sekadar akibat keputusan individu, tapi juga karena lemahnya pengawasan dan perlindungan dari negara, termasuk dari dinas sosial, Satpol PP, dan lembaga perlindungan anak. Anak-anak telah menjadi komoditas di ruang publik kota. Mereka dijadikan objek empati demi uang, dan kadang ini berlangsung dalam skema yang sistemik—baik oleh keluarga maupun sindikat.
Kasus ibu yang menurunkan anak-anaknya untuk mengemis sambil mengenakan kostum badut bukan hanya soal moralitas pribadi, tetapi mencerminkan ketimpangan sosial dan kegagalan sistemik yang membuat individu memilih jalan ekstrem demi bertahan hidup.
Dalam sosiologi, ini disebut sebagai strategi bertahan hidup kaum rentan. Ketika akses pada pekerjaan formal minim dan bantuan negara tak menyentuh mereka, masyarakat miskin akan mencari celah bertahan, termasuk dengan memanfaatkan ruang publik dan empati masyarakat,
Hak Anak sebenarnya sudah cukup jelas dan kuat secara hokum dengan adanya UU Perlindungan Anak, namun lemahnya implementasi serta koordinasi antar Lembaga negara membuat perlindungan anak menjadi diabaikan. Diperlukan pendekatan yang bukan refresif namun juga dibutuhkan program dengan melibatkan keluarga, komunitas, pihak dinas sosial, perlindungan anak, pihak kecamatan dan kelurahan dengan membuat posko pengaduan berbasis rt/rw disetiap kelurahan
Kasus eksploitasi anak yang baru ditangani setelah viral kembali memperlihatkan pola lama yang belum berubah: respons negara lebih reaktif ketimbang preventif. Alih-alih memiliki sistem deteksi dan perlindungan yang tanggap, pemerintah justru menunggu gejolak di media sosial sebelum bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa no viral, no justice masih menjadi skema penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru.
Kita butuh Kota Layak Anak yang benar-benar berpihak pada anak-anak. Bukan hanya sekadar menertibkan atau menggugurkan kewajiban administrasi, tapi melibatkan pemberdayaan masyarakat miskin dan memperbaiki sistem perlindungan sosial secara menyeluruh.
Jika pola ini terus dibiarkan, Pekanbaru bukan hanya berisiko kehilangan status sebagai Kota Layak Anak, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi warganya
Ditulis oleh ; Robi Armilus S.Sos.,M.Si
Dosen Sosiologi FISIP UNRI
Leave a Reply