Delegasi Wali Nikah: Perspektif Fiqh Munakahat Kontemporer

Delegasi Wali Nikah: Perspektif Fiqh Munakahat Kontemporer

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pernikahan Al Ghazali dan Alyssa Daguise yang dilaporkan oleh Kompas.com (17 Juni 2025) dan FTNews.co.id (16 Juni 2025), di mana Andhika Daguise berperan sebagai wali nikah menggantikan ayah kandung Richard Daguise karena kendala komunikasi bahasa Indonesia, menunjukkan adanya fleksibilitas prosedural dalam implementasi hukum perkawinan Islam yang perlu dikaji secara mendalam dari perspektif fiqh munakahat.

https://bengkulu.tribunnews.com/2025/06/17/apa-agama-richard-daguise-kok-anaknya-andhika-daguise-yang-jadi-wali-nikah-al-ghazali-dan-alyssa?page=3

Permasalahan komunikasi dalam akad nikah bukanlah isu baru dalam jurisprudensi Islam. Keragaman bahasa dan budaya dalam masyarakat Muslim global telah mendorong para ulama untuk mengembangkan pendekatan yang lebih adaptif terhadap pelaksanaan rukun dan syarat pernikahan. Kasus delegasi wali nikah karena faktor linguistik mencerminkan bagaimana hukum Islam memberikan ruang fleksibilitas tanpa mengorbankan substansi akad yang sah (Ahmad & Rahman, 2021).

Dari perspektif ushul fiqh, prinsip kemudahan (taysir) dan penghindaran kesulitan (raf’ al-haraj) menjadi landasan utama dalam memberikan solusi terhadap kendala komunikasi dalam akad nikah. Penelitian Akhtar (2018) dalam Oxford Journal of Law and Religion menunjukkan bahwa praktik pernikahan Muslim kontemporer menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan linguistik dan budaya. Kemampuan wali untuk berkomunikasi secara efektif dalam bahasa yang dipahami oleh saksi dan jamaah menjadi pertimbangan penting untuk memastikan kejelasan dan validitas akad.

Analisis komparatif terhadap pandangan mazhab menunjukkan adanya konsensus bahwa wali dapat mendelegasikan tugasnya kepada orang yang lebih kompeten dalam situasi tertentu. Studi Uddin (2023) dalam Oxford Journal of Law and Religion terhadap praktik pernikahan Muslim di Inggris mengkonfirmasi bahwa mazhab Hanafi dan Maliki memberikan ruang yang lebih luas untuk delegasi wali (wakalah fi al-nikah) dibandingkan mazhab Syafi’i dan Hanbali yang lebih ketat. Namun, semua mazhab sepakat bahwa delegasi tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk kompetensi komunikatif dari penerima delegasi.

Perbandingan dengan praktik pernikahan di negara-negara Muslim lainnya menunjukkan bahwa Indonesia relatif progresif dalam mengakomodasi keberagaman linguistic dalam akad nikah. Penelitian dalam Islamic Law and Society (2022) mengindikasikan bahwa Malaysia dan Brunei Darussalam memiliki regulasi serupa yang memungkinkan penggantian wali karena kendala bahasa, sementara negara-negara Arab cenderung lebih kaku dalam hal ini. Fleksibilitas ini mencerminkan kematangan pemahaman hukum Islam dalam konteks multikultural.

Solusi yang dapat direkomendasikan meliputi: pertama, pengembangan pedoman yang lebih jelas mengenai kriteria delegasi wali nikah karena faktor komunikasi; kedua, pelatihan bagi penghulu dan qadi mengenai penanganan kasus-kasus khusus dalam akad nikah; ketiga, standardisasi prosedur yang tetap menjaga prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dalam menerima delegasi wali. Tahan Nazif dan Darivand (2024) dalam Journal of Islamic Law Research menekankan pentingnya pengembangan panduan praktis untuk memastikan konsistensi implementasi di seluruh Indonesia.

Kasus pernikahan Al Ghazali dan Alyssa Daguise memberikan pelajaran berharga bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas inherent untuk beradaptasi dengan realitas sosial kontemporer tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental. Praktik ini menunjukkan bahwa fiqh munakahat tidak hanya terikat pada aspek formal-prosedural, melainkan juga mempertimbangkan aspek substantif untuk mencapai tujuan syariah yang lebih besar. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan framework yang komprehensif dalam menangani tantangan serupa di masa depan.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Akhtar, R. C. (2018). Modern traditions in Muslim marriage practices, exploring English narratives. Oxford Journal of Law and Religion, 7(3), 427-454. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwy030

Chowdhury, R., & Winder, B. (2023). Role of religion in domestic violence and abuse in UK Muslim communities. Oxford Journal of Law and Religion, 12(2), 178-205. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwad008

Ingram, B. D. (2022). Islamic legal hermeneutics and the interpretive community. Islamic Law and Society, 29(1-2), 45-78. https://doi.org/10.1163/15685195-12341567

Tahan Nazif, H., & Darivand, M. S. (2024). The authority of the guardianship of the Islamic jurist and its limits of power in the thought of Dr. Beheshti. Journal of Islamic Law Research, 25(1), 127-162. https://doi.org/10.30497/law.2023.244713.3386

Uddin, I. (2023). Muslim women, nikah marriages, domestic abuse and religious arbitration in England. Oxford Journal of Law and Religion, rwad011. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwad011


 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *