AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Legalisasi pernikahan sesama jenis di Thailand yang baru-baru ini diresmikan oleh Raja Maha Vajiralongkorn menandai era baru dalam perkembangan hukum keluarga di Asia Tenggara, sekaligus memunculkan diskusi mendalam tentang perspektif hukum keluarga Islam terhadap fenomena kontemporer ini.
Thailand menjadi negara ketiga di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis setelah Taiwan dan Nepal, menciptakan preseden hukum yang signifikan di kawasan yang mayoritas masih menerapkan nilai-nilai tradisional dalam institusi pernikahan (United Nations Thailand, 2025). Keputusan ini tidak hanya berdampak pada lanskap sosial Thailand, tetapi juga memicu perdebatan akademis tentang bagaimana sistem hukum yang berbeda merespons transformasi sosial modern.
Dari perspektif hukum keluarga Islam, institusi pernikahan memiliki fondasi teologis dan yuridis yang kokoh berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Konsep nikah dalam Islam tidak hanya sebatas kontrak sipil, melainkan mitsaqan ghalizan (perjanjian yang kuat) yang mengikat antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan membentuk keluarga sakinah. Prinsip komplementaritas gender dalam pernikahan Islam mencerminkan hikmah penciptaan manusia sebagai makhluk berpasangan yang saling melengkapi dalam menjalankan fungsi reproduksi, sosialisasi, dan spiritual.
Namun, fenomena legalisasi pernikahan sesama jenis di Thailand membuka ruang diskusi tentang pluralisme hukum dalam masyarakat multikultural. Sebagai negara dengan mayoritas Buddha namun memiliki minoritas Muslim yang signifikan, Thailand menghadapi tantangan mengakomodasi keberagaman nilai dalam satu sistem hukum nasional (Machae et al., 2015). Hal ini menggambarkan kompleksitas hubungan antara hukum agama, hukum adat, dan hukum positif dalam konteks negara modern.
Analisis komparatif menunjukkan bahwa pendekatan Thailand berbeda signifikan dengan negara-negara Muslim yang menerapkan hukum keluarga Islam secara komprehensif. Sementara Thailand memilih pendekatan sekuler-inklusif dalam mengatur pernikahan, negara-negara dengan tradisi hukum Islam cenderung mempertahankan definisi pernikahan berdasarkan prinsip syariah (Eidrup, 2025; Jones, 2019). Perbedaan ini mencerminkan variasi dalam interpretasi hak asasi manusia dan kebebasan beragama di tingkat global.
Solusi yang dapat dikembangkan adalah penguatan dialog antaragama dan antarbudaya untuk mencari titik temu dalam menghormati keberagaman sambil mempertahankan integritas nilai-nilai fundamental masing-masing tradisi hukum. Pendekatan ini memerlukan pengembangan framework hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar setiap sistem kepercayaan.
Fenomena Thailand mengingatkan kita bahwa transformasi sosial memerlukan respons yang bijaksana dari berbagai tradisi hukum, termasuk hukum Islam. Penting untuk mengembangkan diskusi akademis yang mendalam, konstruktif, dan saling menghormati dalam menghadapi tantangan modernitas sambil mempertahankan nilai-nilai fundamental yang menjadi identitas setiap tradisi hukum (Ansori & Juliansyahzen, 2022; Ahmad & Zamri, 2024).
Daftar Pustaka
Eidrup, M. (2025). The Study of Muslim Family Norms in Contemporary Europe: A Systematic Scoping Review. Oxford Journal of Law and Religion, rwaf005. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwaf005
Jahangir, J., & Abdullatif, H. (2018). Same-sex unions in Islam. Theology & Sexuality, 24(3), 188-208. https://doi.org/10.1080/13558358.2018.1439685
Abidin, A. Z., & Syauqi, M. (2024). Tantangan hukum keluarga Islam di era teknologi digital. Al-Mashadir: Jurnal Ilmu Hukum dan Ekonomi Islam, 6(2). https://doi.org/10.31970/almashadir.v6i2.192
Ahmad, N., & Zamri, Z. H. (2024). Examining the Significance of Methodological Approaches within the Context of Islamic Studies. Manchester Journal of Transnational Islamic Law and Practice, 20(1), 2633-6626.
Ansori, A., & Juliansyahzen, M. I. (2022). The contestation of the family law discourse in the digital age: Islam, state, and gender. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 6(1).
Azwar, Z., Armi, M. I., Zulfan, & Jelani, A. B. (2024). Child Filiation and Its Implications on Maintenance and Inheritance Rights: A Comparative Study of Regulations and Judicial Practices in Indonesia, Malaysia, and Turkey. Journal of Islamic Law, 5(1), 62-85.
Bundgaard, T. J. (2023). Mut’a as Practised by Danish Shi’i Women. Journal of Muslims in Europe, 12, 348-365.
Easat-Daas, A. (2019). The Gendered Dimension of Islamophobia in Belgium. In I. Zempi & I. Awan (Eds.), The Routledge International Handbook of Islamophobia (p. 125). Routledge.
Harahap, F. (2023). The impact of digitalization on Islamic family law: A critical analysis. Islamic Law Review, 6(2), 104-119.
Jones, J. (2019). Towards a Muslim Family Law Act? Debating Muslim women’s rights and the codification of personal laws in India. Contemporary South Asia, 28(1), 1-14.
Liversage, A. (2021). Experiencing “Nikah Captivity” in the West: Gendered Conflicts over Ending Muslim Marriages. Journal of Muslims in Europe, 11, 215-238.
Machae, R., Mohamad, A. B., & Khareng, M. (2015). Children Maintenance: The Rights in Islamic Family Law and the Law of Thailand. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 193-199.
United Nations Development Programme. (2025). Thailand’s Marriage Equality: A Huge Step, But the Journey Continues. Retrieved from https://www.undp.org/thailand/blog/marriage-equality-law-journey
United Nations Thailand. (2025). Thailand’s Marriage Equality Law: Love wins and no one is left behind. Retrieved from https://thailand.un.org/en/287933
Vinding, N. V., & Petersen, J. (2023). Regulering af islamiske ægteskabs-praksisser i nyere dansk lovgivning. Retfærd: Nordisk Juridisk Tidsskrift, 2, 9-28.
Leave a Reply