AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Kemajuan teknologi genetik telah menghadirkan dilema kompleks dalam hukum keluarga Islam, khususnya terkait penggunaan tes DNA untuk penetapan nasab yang berbenturan dengan prinsip-prinsip klasik fiqh dalam menentukan garis keturunan.
Dalam konteks kasus terkini seperti tantangan Lisa Mariana kepada Ridwan Kamil untuk melakukan tes DNA, permasalahan ini menjadi semakin relevan. Hukum Islam klasik telah menetapkan mekanisme penetapan nasab melalui tiga metode utama: pernikahan yang sah (al-walad lil firasy), pengakuan (iqrar), dan saksi (bayyinah). Namun, teknologi DNA kini menawarkan alternatif yang lebih akurat secara biologis namun menimbulkan ketegangan dengan konstruksi hukum Islam tradisional.
Penelitian Engelcke (2020) dalam Journal of Law and Religion menunjukkan bahwa penggunaan tes DNA dalam yurisdiksi Muslim menciptakan friksi karena konsep nasab dapat dipahami sebagai fiksi hukum yang mengabaikan realitas biologis. Dalam konteks ini, mahkamah menghadapi dilema: bagaimana menilai nilai tes DNA dan apakah tes tersebut dapat mengesampingkan presumsi paternitas dalam konteks pernikahan yang sah? Jawaban atas pertanyaan ini sering kali berputar pada interpretasi dan penilaian prinsip kemaslahatan anak (maṣlaḥat al-ṭifl).
Studi komparatif menunjukkan bahwa negara-negara Muslim telah mengadopsi pendekatan yang bervariasi. Hannum (2023) dalam perspektif maqashid syariah menegaskan bahwa tes DNA dapat diterima jika memberikan kemaslahatan yang lebih besar dalam menjaga nasab dan hak-hak anak. Sementara itu, Yılmaz (2017) dalam penelitiannya tentang penyangkalan paternitas melalui tes DNA menunjukkan bahwa mayoritas ulama kontemporer seperti Ali Muhyiddin al-Qaradaghi dan Wahba al-Zuhayli cenderung menolak penggunaan tes DNA untuk menggantikan praktik li’an (sumpah li’an) dalam menyangkal paternitas.
Di Malaysia, Tengku Muda et al. (2014) mengidentifikasi kebutuhan mendesak untuk mengakui secara jelas penerapan tes DNA dalam mendukung doktrin al-walad lil firasy. Penelitian mereka menunjukkan bahwa untuk menjaga kemuliaan kedudukan nasab dalam Islam, perundangan keluarga Islam seharusnya menyatakan dengan jelas keperluan pengesahan melalui DNA dalam mensahkan keturunan anak. Temuan ini sejalan dengan Ridlo et al. (2022) yang mengkaji hukum nasab bagi anak yang lahir di luar pernikahan sah menurut perspektif Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah.
Analisis Engelcke (2020) mengenai peran negara dalam mengatur nasab menunjukkan bahwa legislatur Muslim telah berupaya memperluas definisi pernikahan untuk membawa anak-anak ke dalam jaring pengaman filiasi. Penggunaan tes DNA telah dibatasi dengan hati-hati, di mana tes DNA biasanya hanya dapat diterima dalam konteks pernikahan yang sah atau dalam kasus hubungan seksual yang keliru (al-waṭ’ bi-shubha). Hal ini menunjukkan kekhawatiran legislatur untuk menghindari benturan yang tampak dengan hukum Islam.
Dalam konteks Eropa, studi sistematis Eidrup (2025) dalam Oxford Journal of Law and Religion mengungkap bahwa norma-norma keluarga Muslim di Eropa kontemporer menghadapi tantangan adaptasi dengan sistem hukum sekuler. Penelitian yang mencakup 254 record dari basis data Scopus, Web of Science, dan Index Islamicus periode 2003-2023 ini menunjukkan tren penelitian yang berkembang terkait akomodasi hukum agama dalam masyarakat sekuler.
Solusinya terletak pada pendekatan ijtihad kontemporer yang mempertimbangkan kemaslahatan (maslahat) sebagai dasar. Prinsip maqashid syariah, khususnya hifz al-nasl (perlindungan keturunan), dapat menjadi landasan untuk menerima tes DNA sebagai alat bantu dalam penetapan nasab, bukan sebagai pengganti mekanisme syar’i yang sudah ada. Pendekatan ini memungkinkan harmonisasi antara kemajuan sains dengan nilai-nilai Islam, dengan syarat tes DNA digunakan sebagai alat konfirmasi, bukan kontradiksi terhadap prinsip-prinsip dasar nasab dalam Islam.
Ke depan, diperlukan formulasi hukum yang jelas dari lembaga-lembaga fatwa Islam untuk memberikan panduan praktis bagi mahkamah dan masyarakat dalam menghadapi kasus-kasus serupa. Hal ini akan memastikan perlindungan hak-hak anak sambil tetap mempertahankan integritas hukum keluarga Islam di era modern yang semakin kompleks.
Daftar Pustaka
Eidrup, M. (2025). The Study of Muslim Family Norms in Contemporary Europe: A Systematic Scoping Review. Oxford Journal of Law and Religion, 2025, rwaf005. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwaf005
Engelcke, D. (2020). Child Law in Muslim Jurisdictions: The Role of the State in Establishing Filiation (Nasab) and Protecting Parentless Children. Journal of Law and Religion, 34(3). https://doi.org/10.1017/jlr.2019.35
Engelcke, D. (2020). Establishing Filiation (Nasab) and The Placement of Destitute Children Into New Families: What Role Does The State Play? Journal of Law and Religion, 34(3). https://doi.org/10.1017/jlr.2019.38
Hannum, S. (2023). Penentuan Nasab Melalui Tes DNA Perspektif Hukum Islam: (Ditinjau Dari Maqoshid Syariah). Jurnal Relasi Publik, 1(4), 174–191. https://doi.org/10.59581/jrp-widyakarya.v1i4.1844
Ridlo, M. R., Rosyadi, I., & Muthoifin, M. (2022). The law of nasab for children born outside of legal marriage according to imam ibn qayyim al-jauziyyah. Profetika: Jurnal Studi Islam, 23(2). https://doi.org/10.23917/profetika.v23i2.19671
Tengku Muda, T. F. M., Ismail, S. K., & Omar, N. (2014). Penggunaan DNA Bagi Penentuan Nasab al-Walad Li al- Firasy dalam Peruntukan Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia. Jurnal Islam Dan Masyarakat Kontemporari, 5, 17-25.
Yılmaz, I. (2017). Denial of Paternity by DNA Fingerprint Test in Islamic Family Law. CUID, 21(2), 851-882.
Leave a Reply