JAKARTA, AKTAMEDIA — Kebijakan tarif Amerika Serikat yang turut menyasar Indonesia berpotensi semakin menekan nilai tukar rupiah dan pasar saham. Meski pasar uang dan pasar saham domestik masih memasuki masa libur, guncangan akan dirasakan begitu pasar kembali dibuka pada 8 April 2025.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengumumkan daftar tarif dasar dan bea masuk kepada negara-negara mitra dagang AS, di Gedung Putih, AS, Kamis (3/4/2025) pagi waktu Jakarta. Indonesia pun tidak luput dari kebijakan itu, dengan dikenai tarif 32 persen.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manjemen IPB University dan Universitas Paramadina Didin S Damanhuri berpendapat, kebijakan tarif AS bukan hanya menimbulkan gejolak perekonomian secara global. Sentimen pengenaan tarif terhadap Indonesia berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan pasar saham.
”Kemarin saja (rupiah) sudah menyentuh Rp 16.700 per dollar AS. Nah, sekarang, apalagi Indonesia dikenai (tarif) 32 persen, sentimennya. Lalu, nanti ke IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) langsung yang kemarin sudah ada capital flight 48 miliar rupiah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sejak perdagangan pada Rabu (3/3/2025) waktu Indonesia telah menembus level Rp 16.700. Setelah diumumkannya kebijakan tarif, rupiah cenderung melemah dengan pembukaan pasar di level Rp 16.770 per dollar AS.
Daalam perdagangan terakhir pada 27 Maret 2025, rupiah ditutup di level Rp 16.566 per dollar AS, sedangkan IHSG ditutup di level 6.510,62. Pasar keuangan, baik pasar uang maupun pasar saham, akan mulai kembali dibuka pada 8 April 2025.
Dengan sentimen dari dalam negeri saja, seperti Danantara, rupiah sudah cukup tertekan.
Didin menjelaskan, kebijakan tarif AS semakin menambah sentimen negatif di tengah kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang sedang melemah. Ini tampak dari meningkatnya utang luar negeri menjadi sekitar Rp 7.000 triliun pada Januari 2025, serta defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada Februari 2025.
”Dengan sentimen dari dalam negeri saja, seperti Danantara, rupiah sudah cukup tertekan. Sekarang, dengan kombinasi sentimen (tarif AS) dan dampaknya ke sektor riil, itu bisa di atas Rp 17.000 per dollar AS menurut saya dalam beberapa hari ke depan,” ujarnya.
Setelah itu, Didin melanjutkan, korporasi besar dengan denominasi dollar AS yang cukup tinggi berpotensi menurunkan produksinya serta tidak menutup kemungkinan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) guna efisiensi. Akibatnya, laju inflasi akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi pun terhambat, bahkan diperkirakan di bawah 5 persen.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu secara serius menanggapi situasi tersebut, terutama kepada masyarakat yang kini juga menghadapi pelemahan daya beli. Program-program prioritas pemerintah, terutama yang bersifat populis, pun perlu dievaluasi lebih lanjut guna menjaga stabilitas sosial masyarakat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pelemahan rupiah diperkirakan terus berlanjut lantaran investor cenderung akan mencari aset investasi yang aman (safe haven). Arus modal investasi asing berpotensi keluar dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pascalibur Lebaran, pasar saham bersiap hadapi ’capital outflow’ dan ’trading halt’ (penghentian perdagangan) yang bukan tidak mungkin terjadi lagi.
Maka, tekanan terhadap nilai tukar rupiah wajib diwaspadai, mengingat dapat memicu kenaikan harga barang impor (imported inflation) serta menekan daya beli masyarakat lebih lanjut, terutama pangan dan kebutuhan sekunder, seperti perlengkapan rumah tangga dan elektronik.
”Pascalibur Lebaran, pasar saham bersiap hadapi capital outflow dan trading halt (penghentian perdagangan) yang bukan tidak mungkin terjadi lagi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun hingga 26 Maret 2025, investor asing mencatatkan arus keluar secara neto Rp 4,96 triliun di pasar keuangan domestik. Ini terdiri dari jual neto nonresiden di pasar saham sebesar Rp 32,02 triliun, beli neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 16,08 triliun, dan beli neto di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp 10,98 triliun.
Menurut Bhima, Indonesia harus bersiap lomba mengejar peluang realokasi pabrik dan tidak cukup hanya bersaing dari selisih tarif resiprokal yang lebih rendah dari Vietnam dan Kamboja.
Dalam hal ini, dibutuhkan regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, kepastian hukum, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia.
”Faktor-faktor tadi jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya global minimum tax. Kalau sebelumnya menarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental,” ujar Bhima.
Leave a Reply