AKTAMEDIA.COM, YOGYAKARTA — Pernikahan sebagai institusi fundamental dalam kehidupan manusia menghadapi tantangan kompleks di era modern. Seperti dilaporkan Wisata Viva, 2024, pandangan Socrates tentang pernikahan—”Menikahlah. Kalau mendapatkan istri yang baik, kamu akan bahagia. Kalau tidak, kamu akan menjadi bijak”—masih relevan di tengah meningkatnya angka perceraian dan kompleksitas hubungan. Data Badan Pusat Statistik Indonesia, 2024 mencatat 447 ribu kasus perceraian, naik dari 415 ribu tahun sebelumnya. Sementara itu, Institute for Family Studies, September 2024 melaporkan bahwa 1 dari 4 orang Amerika berusia 40 tahun belum pernah menikah. Dalam konteks krisis ini, dua tokoh filosofis besar dari peradaban berbeda—Socrates dari tradisi Yunani Kuno dan Al-Ghazali dari tradisi Islam Klasik—menawarkan perspektif mendalam tentang hakikat pernikahan yang relevan untuk memahami dan mengatasi tantangan perkawinan kontemporer.
https://wisata.viva.co.id/pendidikan/23268-menikah-ala-socrates-bahagia-atau-bijak-sama-sama-untung
Socrates, filosof Athena abad ke-5 SM, terkenal dengan pernyataannya yang paradoks tentang pernikahan: “Menikahlah. Kalau mendapat istri yang baik, kamu akan bahagia; kalau tidak, kamu akan menjadi bijak.” Pandangan ini mencerminkan konsep eudaimonia dalam filsafat Yunani, yakni pencapaian kebahagiaan sejati melalui kebajikan dan kebijaksanaan (Ryan & Martela, 2016). Sementara itu, Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin memandang pernikahan sebagai ibadah yang membawa sakinah (ketenangan jiwa) dan menyempurnakan separuh dari agama seseorang. Kedua perspektif ini menunjukkan dimensi transformatif pernikahan yang melampaui sekadar pencarian kebahagiaan hedonistik.
Penelitian kontemporer tentang kepuasan pernikahan mendukung pandangan filosofis ini. Studi longitudinal oleh Dupuis et al. (2025) mengungkapkan bahwa individu mengalami peningkatan kesejahteraan menjelang pernikahan, namun kemudian kembali ke tingkat sebelum menikah dalam waktu singkat. Temuan ini menegaskan bahwa pernikahan bukanlah jaminan kebahagiaan permanen, melainkan arena pengembangan diri yang berkelanjutan. Grau et al. (2025) dalam penelitian lintas budaya di 65 negara menemukan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh kerentanan individual, stres eksternal, dan proses adaptasi—elemen yang sejalan dengan konsep kebijaksanaan Socrates yang diperoleh melalui pengalaman hidup.
Perspektif Al-Ghazali menekankan dimensi spiritual dan psikologis pernikahan yang lebih holistik. Konsep sakinah yang diusungnya memiliki kesamaan struktural dengan eudaimonia Aristotelian, yakni pencapaian kesempurnaan hidup melalui keseimbangan berbagai aspek eksistensi (Iqbal & Skinner, 2021). Kedua konsep ini bukan sekadar perasaan sesaat, melainkan kondisi jiwa yang stabil yang diperoleh melalui praktik kebajikan terus-menerus. Klausli et al. (2025) menemukan bahwa praktik spiritual bersama dalam pernikahan meningkatkan intimasi spiritual dan kepuasan hubungan, mengonfirmasi relevansi pandangan Al-Ghazali tentang dimensi transenden pernikahan.
Analisis komparatif menunjukkan bahwa baik Socrates maupun Al-Ghazali memandang pernikahan sebagai praxis filosofis—arena praktik kebajikan yang menghasilkan transformasi personal. Abreu-Afonso et al. (2022) mengidentifikasi bahwa ketahanan pernikahan bergantung pada model dinamis yang melibatkan komunikasi, resolusi konflik, dan pertumbuhan bersama. Ini mencerminkan proses dialektis antara kebahagiaan dan kebijaksanaan: pernikahan yang bahagia memupuk kebijaksanaan melalui pengalaman positif, sementara pernikahan yang menantang menghasilkan kebijaksanaan melalui kesulitan yang dihadapi bersama.
Meta-analisis tentang kepribadian dan kepuasan pernikahan mengungkapkan bahwa trait psikologis seperti keterbukaan, kesadaran, dan rendahnya neurotisisme berkorelasi positif dengan kepuasan pernikahan (Salari et al., 2020). Temuan ini dapat diinterpretasikan melalui kerangka Socrates: individu dengan kebijaksanaan lebih tinggi (refleksi dari trait kepribadian positif) cenderung mengalami pernikahan yang lebih memuaskan. Sebaliknya, individu yang kurang bijaksana menggunakan pernikahan sebagai laboratorium pembelajaran untuk mengembangkan kebajikan tersebut.
Dalam konteks krisis pernikahan modern, sintesis pemikiran Socrates dan Al-Ghazali menawarkan solusi yang mencerahkan. Pertama, ekspektasi terhadap pernikahan harus direformulasi dari pencarian kebahagiaan instant menjadi komitmen untuk pertumbuhan bersama. Kedua, dimensi spiritual pernikahan perlu direvitalisasi melalui praktik bersama yang membangun intimasi transendental. Ketiga, pendidikan pranikah harus menekankan pengembangan kebijaksanaan dan kesiapan psikologis, bukan hanya aspek administratif.
Kesimpulannya, dialektika kebahagiaan dan kebijaksanaan dalam pernikahan menurut Socrates dan Al-Ghazali bukan merupakan dikotomi, melainkan kontinuum yang saling memperkaya. Pernikahan adalah institusi paradoksal yang sekaligus menjanjikan kebahagiaan dan menuntut kebijaksanaan, arena di mana manusia dapat mencapai eudaimonia dan sakinah melalui komitmen transformatif. Pemahaman filosofis ini mengajak pasangan kontemporer untuk melampaui narasi romantis yang dangkal dan merangkul pernikahan sebagai jalan spiritual menuju kesempurnaan hidup. Masyarakat perlu mendorong pendekatan pernikahan yang lebih reflektif dan transformatif, dengan dukungan komunitas dan pendidikan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Abreu-Afonso, J., Ramos, M. M., Queiroz-Garcia, I., & Leal, I. (2022). How couple’s relationship lasts over time? A model for marital satisfaction. Psychological Reports, 125(2), 1091-1117. https://doi.org/10.1177/00332941211000651
Dupuis, H. E., Girme, Y. U., Overall, N. C., Cross, E. J., & Sibley, C. G. (2025). Changes in well-being and relationship satisfaction in the years before and after marriage in a sample of New Zealand adults. Journal of Social and Personal Relationships, 42(1), 45-68. https://doi.org/10.1177/02654075251315199
Grau, I., Miketta, L., Ebbeler, C., & Banse, R. (2025). Cultural differences in correlations with marital satisfaction: The vulnerability-stress-adaptation model in 65 countries. Journal of Marriage and the Family, 87(1), 112-135. https://doi.org/10.1177/00220221251323216
Iqbal, N., & Skinner, R. (2021). Islamic psychology: Emergence and current challenges. Archive for the Psychology of Religion, 43(1), 65-80. https://doi.org/10.1177/0084672420983496
Klausli, J., Gross, C., & Leedom, E. (2025). Processes linking shared spiritual practices, spiritual intimacy, and sanctification of marriage to attachment to spouse and relationship satisfaction. Journal of Family Psychology, 39(2), 234-251. https://doi.org/10.1177/00916471241310161
Ryan, R. M., & Martela, F. (2016). Eudaimonia as a way of living: Connecting Aristotle with self-determination theory. In J. Vittersø (Ed.), Handbook of eudaimonic well-being (pp. 109-122). Springer International Publishing.
Salari, S., Jafari, P., Roudsari, R. L., Kalantari, S., & Molaeinezhad, M. (2020). The relationship between personality traits and marital satisfaction: A systematic review and meta-analysis. BMC Psychology, 8(1), Article 15. https://doi.org/10.1186/s40359-020-0383-z
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Leave a Reply