AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Transformasi peradaban global pada abad ke-7 dan ke-9 Masehi mencerminkan fenomena kepemimpinan yang mengubah lanskap dunia secara fundamental, khususnya melalui kontribusi dua tokoh monumental: Nabi Muhammad S.A.W di Timur dan Charlemagne di Barat. Analisis komparatif kedua model kepemimpinan ini dalam perspektif Muhammad Natsir menawarkan wawasan mendalam tentang dinamika transformational leadership yang membentuk identitas peradaban hingga masa kontemporer. Sumber: Capita Selecta Muhammad Natsir, Cetakan III, Bulan Bintang Jakarta, 1973.
https://fliphtml5.com/vkixl/rjcc/Capita_Selecta_Jilid_1/
Konteks historis kemunculan kedua pemimpin menggambarkan periode transisi yang menentukan arah peradaban dunia. Nabi Muhammad S.A.W memimpin transformasi sosio-politik (perubahan masyarakat dan politik) di Jazirah Arab yang menghasilkan ekspansi (perluasan) Islam hingga mencakup wilayah dari Spanyol hingga Asia Tengah, sementara Charlemagne membangun kembali tatanan Eropa Barat pasca-keruntuhan Romawi melalui Carolingian Renaissance (Kebangkitan Karoling/pembaharuan peradaban). Penelitian kontemporer (masa kini) mengidentifikasi bahwa kedua tokoh ini menerapkan model prophetic leadership (kepemimpinan kenabian/kepemimpinan berdasarkan nilai-nilai kenabian) yang mengintegrasikan (memadukan) dimensi spiritual, politik, dan sosial dalam framework (kerangka kerja) kepemimpinan transformatif (Nurhayati, 2024). Muhammad Natsir dalam Capita Selecta (Karya Pilihan) menekankan bahwa kedua figur ini merepresentasikan (mewakili) synthesis (sintesis/perpaduan) antara nilai-nilai transendental (yang bersifat ketuhanan/melampaui dunia fisik) dengan realitas empiris (kenyataan berdasarkan pengalaman) governance (tata kelola pemerintahan).
Metodologi kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W mendemonstrasikan karakteristik situational leadership (kepemimpinan situasional/kepemimpinan yang menyesuaikan situasi) yang adaptif (dapat menyesuaikan diri), mampu menyesuaikan pendekatan kepemimpinan sesuai konteks sosial dan kondisi followers (pengikut/bawahan) yang dihadapi. Studi bibliometrik (penelitian berbasis analisis publikasi ilmiah) terkini menunjukkan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad mengintegrasikan (memadukan) elemen charismatic (karismatik/berwibawa), transformational (transformatif/mengubah), dan servant leadership (kepemimpinan pelayan/kepemimpinan yang melayani) secara simultan (bersamaan) (Kamaluddin & Citaningati, 2023). Implementasi constitutional framework (kerangka konstitusional/kerangka dasar negara) melalui Piagam Madinah mencerminkan innovative governance (tata kelola inovatif/pemerintahan yang baru) yang mengakomodasi (menampung) pluralitas (keberagaman) etnis dan agama dalam unified political entity (kesatuan politik yang terpadu). Sebaliknya, Charlemagne mengadopsi (menggunakan) imperial leadership model (model kepemimpinan kekaisaran) yang berfokus pada institutional revitalization (revitalisasi kelembagaan/pembaruan lembaga) melalui kombinasi Roman administrative legacy (warisan administrasi Romawi) dengan Christian ecclesiastical authority (otoritas gerejawi Kristen), creating synthesis (menciptakan sintesis/perpaduan) yang menghasilkan distinctive (khas/berbeda) European civilizational identity (identitas peradaban Eropa).
Perspektif komparatif (pandangan perbandingan) mengungkapkan fundamental differences (perbedaan mendasar) dalam orientasi (arah tujuan) transformasi peradaban yang dipimpin kedua tokoh. Nabi Muhammad S.A.W mengembangkan egalitarian leadership paradigm (paradigma kepemimpinan egaliter/kepemimpinan yang menekankan kesetaraan) yang menekankan social justice (keadilan sosial) dan meritocracy (sistem berdasarkan kemampuan/prestasi) sebagai foundation (dasar/fondasi) sistem politik Islam, dengan penerapan prophetic leadership values (nilai-nilai kepemimpinan kenabian) yang mencakup amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan/berdakwah), sidiq (jujur), dan fathanah (cerdas) (Idrus, 2023). Transformasi yang dihasilkan bersifat comprehensive (menyeluruh), meliputi aspek spiritual, legal (hukum), economic (ekonomi), dan social (sosial) dalam integrated Islamic civilization framework (kerangka peradaban Islam yang terpadu). Charlemagne membangun hierarchical feudal system (sistem feodal bertingkat/sistem bertingkat berdasarkan kepemilikan tanah) yang menggabungkan secular (duniawi) dan ecclesiastical authority (otoritas gerejawi), menciptakan distinctive synthesis (sintesis yang khas) antara Germanic tradition (tradisi Jerman) dengan Christian Roman heritage (warisan Romawi-Kristen) yang menjadi foundation (fondasi) European medieval civilization (peradaban abad pertengahan Eropa).
Dampak transformatif (perubahan mendasar) kedua kepemimpinan dapat dianalisis melalui kerangka teoretis (kerangka teori) Henri Pirenne yang menyatakan interconnectedness (saling keterkaitan) antara Islamic expansion (ekspansi/perluasan Islam) dan rise of Carolingian Empire (bangkitnya Kekaisaran Karoling). Ekspansi Islam yang dimulai di era Nabi Muhammad S.A.W mengubah geopolitical landscape (lanskap geopolitik/tatanan politik geografis) Mediterranean (Laut Tengah), memaksa Europe (Eropa) untuk continental reorientation (reorientasi benua/perubahan orientasi ke daratan) yang culminated (mencapai puncak) dalam emergence (kemunculan) of Charlemagne’s empire (kekaisaran Charlemagne). Recent comparative studies (studi perbandingan terkini) menunjukkan bahwa kedua civilizations (peradaban) mengalami parallel development (perkembangan paralel/sejajar) dalam institutional formation (pembentukan lembaga), intellectual renaissance (kebangkitan intelektual), dan cultural synthesis (sintesis budaya) (Tor, 2017). Muhammad Natsir dalam perspektifnya menekankan bahwa dynamism (dinamisme/kedinamisan) Islamic civilization (peradaban Islam) menjadi catalyst (katalis/pemicu) bagi European awakening (kebangkitan Eropa) melalui knowledge transfer (transfer pengetahuan) dan cultural exchange (pertukaran budaya) yang intensive (intensif/mendalam).
Relevansi kontemporer (kesesuaian masa kini) analisis komparatif (analisis perbandingan) ini terletak pada understanding (pemahaman) sustainable leadership models (model kepemimpinan berkelanjutan) untuk transformasi peradaban modern. Penelitian bibliometric (penelitian bibliometrik/analisis publikasi ilmiah) mengidentifikasi growing interest (minat yang berkembang) dalam prophetic leadership (kepemimpinan kenabian) sebagai alternative framework (kerangka alternatif) untuk addressing (menangani) contemporary challenges (tantangan kontemporer/masa kini) dalam organizational management (manajemen organisasi) dan governance (tata kelola) (Rahman et al., 2022). Implementation (penerapan) nilai-nilai prophetic leadership dapat memberikan comprehensive approach (pendekatan menyeluruh) untuk tackling (mengatasi) global issues (isu-isu global) seperti social inequality (ketimpangan sosial), environmental sustainability (keberlanjutan lingkungan), dan ethical governance (tata kelola etis). Simultaneously (secara bersamaan), Carolingian model (model Karoling) mendemonstrasikan (menunjukkan) importance (pentingnya) cultural synthesis (sintesis budaya) dan educational reform (reformasi pendidikan) dalam building (membangun) resilient civilizational foundation (fondasi peradaban yang tangguh) yang capable (mampu) of adapting (beradaptasi) to changing circumstances (keadaan yang berubah).
Synthesis analitis (sintesis analitis/perpaduan hasil analisis) mengungkapkan bahwa kedua model kepemimpinan menawarkan complementary approaches (pendekatan yang saling melengkapi) untuk sustainable civilizational transformation (transformasi peradaban berkelanjutan). Muhammad Natsir dalam perspektifnya menekankan bahwa Islamic leadership model (model kepemimpinan Islam) dengan emphasis (penekanan) pada ethical governance (tata kelola etis) dan social justice (keadilan sosial) remains relevant (tetap relevan) untuk contemporary applications (penerapan kontemporer/masa kini), sementara Carolingian experience (pengalaman Karoling) menunjukkan significance (signifikansi/pentingnya) of institutional innovation (inovasi kelembagaan) dalam maintaining (mempertahankan) civilizational continuity (kesinambungan peradaban). Contemporary leadership studies (studi kepemimpinan kontemporer) perlu mengintegrasikan (memadukan) wisdom (kebijaksanaan/hikmah) dari both traditions (kedua tradisi) untuk developing (mengembangkan) holistic framework (kerangka holistik/menyeluruh) yang capable (mampu) of addressing (mengatasi) complex challenges (tantangan kompleks) dalam globalized world (dunia yang terglobalisasi) while maintaining (sambil mempertahankan) authentic cultural identity (identitas budaya asli) dan spiritual values (nilai-nilai spiritual).
Referensi
Al Naqbi, S. (2024). The Islamic perspective on qualities required for effective leadership. Journal of the Contemporary Study of Islam, 4(2), 195-218. https://doi.org/10.37264/jcsi.v4i2.04
Brooks, M. C., & Mutohar, A. (2022). The research on Islamic-based educational leadership since 1990: An international review of empirical evidence. Religions, 13(1), 42-65. https://doi.org/10.3390/rel13010042
Huff, T. E. (2023). Civilizational analysis and the axial age: The roads to modernity through Islamic civilization. International Journal of Social Imaginaries, 2(1), 78-104.
Haqparast, H., & Salangi, M. M. (2024). The impact of Islamic civilization on the European intellectual awakening: An analytical study. Sprin Journal of Arts, Humanities and Social Sciences, 3(1), 57-62. https://doi.org/10.55559/sjahss.v3i1.223
Kasman, S., & Wahyuningsih, O. (2024). Transformational leadership: Women’s role in building competitive integrated Islamic school. Al-Tanzim: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 8(3), 942-956. https://doi.org/10.33650/al-tanzim.v8i3.8388
Saifullah, A., Maunah, B., Patoni, A., & Saputra, P. R. (2023). Dimensions of transformational leadership in improving the competitiveness of Islamic education institutions. Cendekia: Jurnal Kependidikan dan Kemasyarakatan, 21(2), 245-268. https://doi.org/10.21154/cendekia.v21i2.6702
Ottewill-Soulsby, S. (2020). The ʿAbbasid and Carolingian empires: Comparative studies in civilizational formation. Early Medieval Europe, 28(3), 502-504. https://doi.org/10.1111/emed.12420
Salim, N. A., Zaibi, M., Brantasari, M., Ikhsan, M., & Aslindah, A. (2025). Islamic boarding school leadership innovation: From traditional to modernization of education. Munaddhomah: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 5(4), 447-460.
Rosalina, L., & Hassan, N. M. (2021). Conversion to Islam in early medieval Europe: Historical and archaeological perspectives. Religions, 12(7), 544-562. https://doi.org/10.3390/rel12070544
Syahrun, M., & Purnama, R. (2024). Transformational leadership based approach to Islamic education management: Improving learning quality and developing student character. EDUKASIA: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 5(2), 187-203.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Leave a Reply