AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pemberian kompensasi finansial oleh pihak ketiga untuk mempercepat perceraian pasangan suami istri menimbulkan persoalan kompleks dalam perspektif hukum Islam, khususnya berkaitan dengan perlindungan institusi perkawinan dan prinsip-prinsip fundamental fiqh munakahat yang mengutamakan kemaslahatan keluarga. Kasus ini terinspirasi dari berita yang dimuat South China Morning Post pada September 2025 tentang seorang pengusaha wanita di Chongqing yang memberikan kompensasi 3 juta yuan (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk mempercepat perceraian karyawannya. Menurut Al-Sharmani et al. (2022), intervensi pihak ketiga dalam urusan rumah tangga bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang menjaga kesucian dan keutuhan institusi perkawinan sebagai ikatan suci (mitsaqan ghalizhan).
Kasus Chongqing mengungkap dimensi relasi kuasa yang problematik dalam konteks hukum keluarga Islam. Dari perspektif fiqh munakahat, tindakan memberikan kompensasi perceraian oleh pihak ketiga dapat dikategorikan sebagai bentuk fasad (kerusakan) yang bertentangan dengan maqashid syariah. Problematika ini semakin kompleks ketika melibatkan relasi hierarkis atasan-bawahan yang inherently mengandung ketimpangan kuasa (power imbalance). Kusmardani et al. (2024) dalam penelitiannya menyatakan bahwa setiap tindakan yang bertujuan merusak ikatan perkawinan yang sah termasuk dalam kategori munkar yang harus dicegah. Islam secara tegas melarang eksploitasi relasi kuasa untuk kepentingan personal, sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang memisahkan antara seorang wanita dengan suaminya, maka bukan dari golongan kami” (HR. Abu Dawud). Dalam konteks workplace ethics, Islam mengajarkan prinsip ‘adalah (keadilan) yang melarang penyalahgunaan otoritas untuk mengintervensi kehidupan pribadi karyawan.
Perspektif komparatif menunjukkan bahwa meskipun sistem hukum sekuler seperti di China mungkin mengizinkan transaksi semacam ini dalam kerangka kontrak sipil, hukum Islam memiliki pendekatan holistik yang berbeda. Hashim & Omar (2020) berpendapat bahwa jika perceraian terjadi atas dasar alasan yang sah menurut syariah, maka pembayaran kompensasi dapat dikategorikan sebagai bentuk islah (perbaikan) untuk mengurangi dampak negatif perceraian. Namun, konteks kasus Chongqing menunjukkan bahwa perceraian didorong oleh motif hubungan terlarang dan relasi kuasa yang tidak seimbang, bukan karena alasan syar’i yang dibenarkan seperti syiqaq (perselisihan berkelanjutan) atau dharar (bahaya). Dalam yurisprudensi Islam, prinsip la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibalas dengan bahaya) menjadi landasan fundamental untuk menolak tindakan yang berpotensi merusak tatanan sosial-moral masyarakat.
Analisis lintas yurisdiksi mengungkap kompleksitas implementasi hukum keluarga Islam dalam konteks global. Pertama, prinsip haram li ghairih (haram karena tujuan), dimana perbuatan yang pada dasarnya boleh menjadi haram karena tujuan yang salah. Kedua, pelanggaran terhadap konsep ‘adam al-darar (tidak membahayakan), sebagaimana dinyatakan oleh Al-Nahari et al. (2022) bahwa setiap tindakan yang berpotensi merusak tatanan sosial harus dihindari. Ketiga, bertentangan dengan prinsip hikmah at-tasyri’ (hikmah pensyariatan) dimana aturan Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat. Dalam konteks transnasional, Muslim diaspora menghadapi tantangan ketika nilai-nilai Islam berbenturan dengan sistem hukum sekuler yang dominan, memerlukan pendekatan ijtihad kontemporer yang sensitif terhadap realitas multikultural namun tetap konsisten dengan prinsip-prinsip fundamental syariah.
Kasus serupa dalam literatur hukum keluarga Islam menunjukkan pola yang konsisten dalam penolakan intervensi destruktif pihak ketiga. Studi komparatif menunjukkan bahwa negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Malaysia, Indonesia, dan Mesir telah mengembangkan framework hukum yang secara eksplisit melarang praktik yang dapat merusak institusi perkawinan. Di Malaysia, Section 23 Islamic Family Law Act mengkriminalisasi tindakan yang bertujuan merusak rumah tangga orang lain. Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 menekankan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan atas dasar alasan-alasan yang sah secara syar’i. Mesir, sebagaimana diteliti oleh Al-Sharmani (2017), telah mengimplementasikan mekanisme khul’ yang melindungi hak perempuan sambil tetap menjaga prinsip kemaslahatan keluarga. Pola legislasi ini menunjukkan konsensus global Muslim mengenai pentingnya melindungi institusi perkawinan dari intervensi eksternal yang destruktif.
Solusi komprehensif terhadap problematika ini memerlukan pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan aspek hukum, sosial, ekonomi, dan spiritual. Pertama, pengembangan regulatory framework yang harmonisasi antara hukum Islam dan sistem hukum sekuler di negara-negara dengan populasi Muslim minoritas, termasuk mekanisme alternative dispute resolution yang berbasis syariah. Kedua, penguatan program edukasi hukum keluarga Islam yang mencakup workplace ethics dan professional boundaries dalam lingkungan kerja multireligius. Ketiga, pembentukan lembaga fatwa dan konsultasi hukum Islam yang dapat memberikan guidance kepada Muslim diaspora dalam menghadapi dilema etis semacam ini. Keempat, pengembangan protokol corporate governance yang menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam manajemen SDM, termasuk code of conduct yang melarang eksploitasi relasi kuasa. Sebagaimana direkomendasikan Heriandita et al. (2025), diperlukan sinergi antara ulama, akademisi, praktisi hukum, dan corporate leaders untuk mengembangkan framework etis yang responsif terhadap tantangan modern sambil tetap berakar pada nilai-nilai Islam yang autentik.
Dalam konteks era digitalisasi dan globalisasi ekonomi, diperlukan juga pengembangan mekanisme monitoring dan enforcement yang dapat bekerja lintas yurisdiksi. Ini mencakup kerjasama antar negara dalam sharing information mengenai kasus-kasus serupa, pengembangan database global mengenai best practices dalam Islamic family law enforcement, dan pembentukan international tribunal untuk kasus-kasus yang melibatkan multiple jurisdictions. Selain itu, peran teknologi blockchain dapat dimanfaatkan untuk menciptakan smart contracts yang otomatis mencegah transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah, termasuk dalam konteks corporate governance dan employment relationships.
Berdasarkan analisis komprehensif tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian kompensasi perceraian oleh pihak ketiga dalam konteks relasi kuasa atasan-bawahan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental hukum Islam dan fiqh munakahat. Praktik ini tidak hanya merusak institusi perkawinan yang dijaga ketat dalam Islam, tetapi juga menimbulkan mafsadah yang lebih besar bagi tatanan sosial-moral masyarakat. Kasus Chongqing menjadi pembelajaran penting bahwa dalam era globalisasi, umat Islam memerlukan framework hukum yang sophisticated dan adaptive untuk menghadapi tantangan etis kontemporer tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip dasar agama. Diperlukan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk mencegah dan menanggulangi praktik semacam ini melalui pendekatan hukum, sosial, teknologi, dan spiritual yang terintegrasi dalam kerangka maqashid syariah yang komprehensif.
Daftar Pustaka
Al-Nahari, A., Monawer, A., Abdullah, L., Ali, A., Rahman, N., & Achour, M. (2022). Common conceptual flaws in realizing maqāṣid al-sharīʿah vis-à-vis Islamic finance. ISRA International Journal of Islamic Finance, 14(2), 190-205. https://doi.org/10.1108/IJIF-12-2020-0259
Al-Sharmani, M., Akhtar, R. C., & Moors, A. (2022). Muslim marriages: Plurality of norms and practices. Hawwa: Journal of Women of the Middle East and the Islamic World, 20(1-2), 1-9. https://doi.org/10.1163/15692086-12341403
Hashim, M. A., & Omar, S. B. (2020). Financial compensation in Islamic divorce: Between maslaha and mafsada. Islamic Law and Society, 27(4), 412-438. https://doi.org/10.1163/15685195-bja10015
Heriandita, S. M. P., Alwyni, F. F., Muttaqin, M. I., & Hannase, M. (2025). The role of Islamic inheritance law with a maqasid al-shariah approach in addressing the challenges of social justice for women. AJIS: Academic Journal of Islamic Studies, 10(1), 231-252. https://doi.org/10.29240/ajis.v10i1.11931
Kusmardani, A., Syafe’i, R., Wardiono, K., & Khosyi’ah, S. (2024). Dynamics of divorce in Indonesian Muslim families. Daengku: Journal of Humanities and Social Sciences Innovation, 4(5), 739-752. https://doi.org/10.35877/454RI.daengku2756
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Leave a Reply