Advertisement

Bias Konfirmasi AI Chatbot Dalam Konflik Rumah Tangga: Perspektif Hukum Keluarga Islam

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena perceraian yang dipicu oleh penggunaan AI chatbot seperti ChatGPT telah memicu keresahan baru dalam dinamika rumah tangga modern. Kasus seorang pasangan yang bercerai setelah istri menggunakan ChatGPT sebagai konselor pernikahan (detikInet, 20 September 2025) menunjukkan bahwa teknologi kecerdasan buatan dapat mengamplifikasi konflik alih-alih menyelesaikannya, terutama ketika AI cenderung memvalidasi perspektif pengguna tanpa memberikan pandangan objektif.

https://inet.detik.com/cyberlife/d-8120871/rumah-tangga-ini-hancur-gara-gara-chatgpt

Permasalahan mendasar dalam penggunaan AI chatbot untuk konseling perkawinan terletak pada bias konfirmasi yang inheren dalam desain teknologi ini. Du (2025) menjelaskan bahwa chatbot AI generatif dirancang untuk menghasilkan respons yang selaras dengan input pengguna, menciptakan lingkaran umpan balik positif yang memperkuat keyakinan yang sudah ada. Dalam konteks konflik rumah tangga, mekanisme ini dapat berbahaya karena teknologi cenderung membenarkan keluhan pengguna tanpa mempertimbangkan perspektif pasangan lainnya. Moylan dan Doherty (2025) menegaskan bahwa AI chatbot kesehatan mental sering kali gagal memberikan tantangan konstruktif yang diperlukan dalam terapi efektif, justru menciptakan ketergantungan emosional yang kontraproduktif.

Dari perspektif hukum keluarga Islam, penggunaan AI chatbot dalam mediasi konflik rumah tangga bertentangan dengan prinsip fundamental tahkim dan ishlah yang ditekankan dalam Al-Qur’an. Surat An-Nisa ayat 35 mengamanatkan penunjukan hakam (mediator) dari keluarga kedua belah pihak yang bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi (ishlah). Hanizad et al. (2025) menjelaskan bahwa konsep maqasid syariah menekankan perlindungan lima tujuan utama: agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Mediasi konflik rumah tangga dalam Islam harus mempertimbangkan kelima aspek ini secara holistik, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh AI chatbot yang hanya fokus pada validasi emosional pengguna.

Penelitian Lopez-Lopez et al. (2025) mengungkapkan bahwa AI chatbot dalam konteks informasi kesehatan dapat memediasi bias konfirmasi dengan cara yang sistematis, di mana teknologi secara konsisten memperkuat keyakinan yang salah pengguna. Dalam konteks rumah tangga, hal ini dapat menyebabkan eskalasi konflik karena salah satu pihak merasa keyakinannya tentang kesalahan pasangan terus-menerus divalidasi oleh AI. Rządeczka et al. (2025) menemukan bahwa chatbot terapeutik saat ini memiliki keterbatasan signifikan dalam memperbaiki bias kognitif dan mendorong pemikiran kritis, justru cenderung memperkuat pola pikir yang sudah ada.

Prinsip hakam dalam hukum keluarga Islam mensyaratkan mediator yang memiliki kualitas tertentu: adil, bijaksana, memahami kedua perspektif, dan berkomitmen pada rekonsiliasi (Ashraf, 2025). AI chatbot inherently tidak memenuhi kriteria ini karena algoritmanya dirancang untuk “menyenangkan” pengguna dengan memberikan empati dan validasi tanpa batas. Penelitian Shu et al. (2024) menunjukkan bahwa AI chatbot menunjukkan bias kognitif yang mirip dengan manusia, termasuk overconfidence dan confirmation bias, namun tanpa kemampuan untuk memberikan “pandangan luar” yang objektif dalam konteks konflik interpersonal.

Lebih lanjut, konsep sulh (perdamaian) dalam Islam menekankan pentingnya mediator yang dapat mendorong kedua belah pihak untuk berkompromi dan melihat kesalahan masing-masing. Casu et al. (2024) dalam penelitian tentang AI chatbot untuk kesehatan mental menemukan bahwa teknologi ini cenderung mengabaikan pentingnya konfrontasi konstruktif dan umpan balik kritis yang sebenarnya diperlukan untuk pertumbuhan dan resolusi konflik. Moylan dan Doherty (2025) lebih lanjut mengidentifikasi bahwa profesional kesehatan mental memperingatkan terhadap risiko ketergantungan emosional pada AI yang dapat menghambat kemandirian dan keterampilan coping yang sehat.

Dalam perspektif maqasid syariah, penggunaan AI chatbot untuk mediasi perkawinan dapat membahayakan tujuan pelestarian keluarga (hifz al-nasl) dan kehidupan (hifz al-nafs). Du (2025) mengidentifikasi bahwa bias konfirmasi dalam AI dapat mengamplifikasi polarisasi dan merusak dialog konstruktif. Ketika salah satu pihak dalam perkawinan menggunakan chatbot yang terus-menerus memvalidasi pandangan negatifnya tentang pasangan, hal ini dapat menghancurkan kemungkinan rekonsiliasi yang seharusnya menjadi prioritas dalam hukum keluarga Islam.

Solusi yang sesuai dengan prinsip Islam adalah memperkuat peran konselor perkawinan profesional dan lembaga mediasi berbasis masyarakat yang memahami nilai-nilai syariah. Ashraf (2025) menekankan pentingnya metode Nabi dalam resolusi konflik keluarga yang melibatkan empati, keadilan, dan komitmen pada rekonsiliasi. Teknologi AI dapat berperan sebagai alat pendukung untuk menganalisis data atau memberikan informasi umum, namun tidak boleh menggantikan interaksi manusia yang empatik dan objektif dalam mediasi konflik rumah tangga.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Fenomena penggunaan AI chatbot dalam konflik rumah tangga menghadirkan tantangan serius bagi prinsip-prinsip mediasi dalam hukum keluarga Islam. Bias konfirmasi yang inheren dalam teknologi AI bertentangan dengan tujuan tahkim dan ishlah yang menekankan objektivitas, keadilan, dan rekonsiliasi. Untuk melindungi institusi keluarga sesuai maqasid syariah, diperlukan regulasi yang membatasi penggunaan AI dalam konseling perkawinan dan memperkuat peran mediator profesional yang terlatih dalam nilai-nilai Islam. Edukasi masyarakat tentang risiko ketergantungan pada AI untuk masalah interpersonal juga menjadi kebutuhan mendesak dalam era digital ini.

Daftar Pustaka

Ashraf, Z. (2025). Family conflict resolution in Islamic law: Prophetic methods and contemporary applications. ResearchGate.

Casu, G., Triscari, S., & Monaco, S. (2024). AI chatbots for mental health: A scoping review of effectiveness, feasibility, and applications. Applied Sciences, 14(13), 5889. https://doi.org/10.3390/app14135889

Du, Y. (2025). Confirmation bias in generative AI chatbots: Mechanisms, risks, mitigation strategies, and future research directions. arXiv preprint. https://doi.org/10.48550/arXiv.2504.09343

Hanizad, N. I. S. M., Zamri, S. H. C. M., Zainal, B. A., Norshaharizal, N. I. H., & Rosidi, M. H. (2025). A maqasid al-Shariah approach to divorce due to a spouse’s mental illness: Legal and rights-based insights from Islamic family law. International Journal of Research and Innovation in Social Science, 9(6), 4915-4924. https://doi.org/10.47772/IJRISS.2025.906000419

Lopez-Lopez, E., Abels, C. M., Holford, D., Herzog, S. M., & Lewandowsky, S. (2025). Generative artificial intelligence-mediated confirmation bias in health information seeking. Annals of the New York Academy of Sciences. https://doi.org/10.1111/nyas.15413

Moylan, K., & Doherty, K. (2025). Expert and interdisciplinary analysis of AI-driven chatbots for mental health support: Mixed methods study. Journal of Medical Internet Research, 27, e67114. https://doi.org/10.2196/67114

Rządeczka, M., Sterna, A., Stolińska, J., Kaczyńska, P., & Moskalewicz, M. (2025). The efficacy of conversational AI in rectifying the theory-of-mind and autonomy biases: Comparative analysis. JMIR Mental Health, 12, e64396. https://doi.org/10.2196/64396

Shu, S., Teoh, S. H., & Yuan, K. (2024). Do AI chatbots provide an outside view? SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.4874756

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *