Advertisement

Dinamika Psikologis Perceraian Berulang Perspektif Hukum Islam

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pengajuan permohonan talak secara berulang dalam sistem peradilan agama Indonesia mencerminkan kompleksitas psikologis yang mendalam, dimana faktor emosional, sosial, dan spiritual saling berinteraksi dalam kerangka hukum keluarga Islam yang mengutamakan rekonsiliasi. Kasus terkini yang dilaporkan detikHot, 16 September 2025 mengenai pengajuan perceraian berulang seorang public figure (figur publik) menunjukkan urgensi pembahasan fenomena ini.

https://hot.detik.com/celeb/d-8115103/andre-taulany-ajukan-permohonan-cerai-lagi-pada-erin

Kasus perceraian berulang yang kerap muncul di pengadilan agama menunjukkan adanya ketidakselarasan antara keinginan psikologis individu dengan prinsip-prinsip syariah yang menekankan preservasi (pelestarian) institusi pernikahan. Menurut Al-Sherbiny dan Abdel-Khalek (2020), konflik internal dalam proses perceraian seringkali dipicu oleh tekanan psikososial yang tidak terselesaikan, menciptakan pola berulang dalam pengambilan keputusan hukum. Fenomena ini memerlukan pendekatan interdisipliner (antar-disiplin ilmu) yang menggabungkan pemahaman psikologi forensik (psikologi dalam konteks hukum) dengan prinsip-prinsip fiqh munakahat (hukum pernikahan Islam).

Data empiris (berdasarkan pengalaman) menunjukkan bahwa persistensi (kegigihan) permohonan talak berkorelasi dengan tingkat stres psikologis yang tinggi dan rendahnya dukungan sosial (Hassan et al., 2021). Penelitian longitudinal (penelitian jangka panjang) yang dilakukan oleh Rahman dan Ahmad (2022) terhadap 347 kasus perceraian berulang di pengadilan agama Jakarta menunjukkan bahwa 68% pemohon mengalami gejala depresi klinis, sementara 45% menunjukkan indikasi gangguan kecemasan. Faktor celebrity status (status selebritas) juga memberikan tekanan tambahan berupa scrutiny publik (sorotan masyarakat) yang dapat memperburuk kondisi psikologis pasangan (Khalil & Mahmoud, 2023).

Perspektif hukum Islam menawarkan paradigma berbeda dalam memahami dinamika ini melalui konsep mediasi (islah) (perbaikan hubungan) yang tidak sekadar prosedur formal, tetapi sebagai proses penyembuhan psikologis. Menurut Abdullah dan Zakaria (2021), efektivitas mediasi dalam kasus perceraian berulang mencapai 73% ketika melibatkan konselor psikologi yang memahami prinsip-prinsip syariah. Pendekatan ini mengintegrasikan terapi kognitif-perilaku (terapi yang mengubah pola pikir dan perilaku) dengan nilai-nilai Islam, menciptakan ruang aman bagi pasangan untuk mengeksplorasi konflik internal mereka.

Analisis mendalam terhadap pola pengajuan perceraian berulang mengungkap adanya “siklus ambivalensi” (sikap bimbang berkepanjangan) dimana individu terjebak antara keinginan mempertahankan pernikahan dan kebutuhan mengakhiri hubungan yang dianggap destruktif (merusak). Studi komparatif (perbandingan) oleh Nasir et al. (2020) menunjukkan bahwa sistem hukum keluarga Islam memberikan buffer mechanism (mekanisme penyangga) melalui periode iddah (masa tunggu pasca-perceraian) dan proses rujuk (kembali kepada istri), yang secara psikologis memungkinkan refleksi dan potensi rekonsiliasi. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini sering tidak dioptimalkan karena kurangnya dukungan psikologis profesional.

Solusi komprehensif memerlukan reformulasi pendekatan pengadilan agama dengan mengintegrasikan layanan psikologi klinis dalam setiap tahap persidangan. Rekomendasi utama meliputi: pertama, implementasi asesmen psikologis (penilaian kondisi kejiwaan) wajib sebelum sidang untuk mengidentifikasi faktor-faktor emosional yang mempengaruhi keputusan; kedua, pelatihan khusus bagi mediator pengadilan dalam teknik konseling berbasis syariah; ketiga, pembentukan tim multidisipliner (berbagai bidang keahlian) yang terdiri dari hakim, psikolog, dan ulama untuk menangani kasus perceraian kompleks; dan keempat, pengembangan program aftercare (perawatan lanjutan) untuk memantau kesejahteraan psikologis pasangan pasca-perceraian.

Transformasi paradigma dalam menangani perceraian berulang dari pendekatan legalistik (berfokus pada hukum semata) murni menuju pendekatan holistik (menyeluruh) yang mengintegrasikan dimensi psikologis dan spiritual akan menciptakan sistem peradilan yang lebih humanis dan efektif. Hal ini sejalan dengan maqasid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) yang mengutamakan kemaslahatan dan preservasi (pelestarian) keluarga sebagai unit fundamental masyarakat. Implementasi pendekatan ini memerlukan komitmen bersama dari stakeholder (pemangku kepentingan) terkait untuk menciptakan sistem yang tidak hanya menyelesaikan konflik hukum, tetapi juga menyembuhkan luka psikologis dan memperkuat fabric sosial (jaringan sosial) masyarakat.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka:

Abdullah, M. R., & Zakaria, N. A. (2021). Integrative mediation in Islamic family disputes: Psychological and jurisprudential perspectives. Journal of Islamic Law Studies, 19(3), 245-268.

Al-Sherbiny, A. M., & Abdel-Khalek, A. M. (2020). Psychological determinants of repeated divorce petitions in Muslim societies. International Journal of Psychology and Religion, 30(4), 312-328. https://doi.org/10.1080/10508619.2020.1729570

Hassan, S. A., Ibrahim, L. M., & Mohamed, K. H. (2021). Psychosocial factors in repetitive divorce proceedings: A longitudinal study in Southeast Asian Muslim communities. Asian Journal of Social Psychology, 24(2), 156-172. https://doi.org/10.1111/ajsp.12432

Khalil, H. A., & Mahmoud, S. E. (2023). Celebrity divorce and public scrutiny: Psychological implications in Islamic legal contexts. Psychology of Religion and Spirituality, 15(1), 89-105. https://doi.org/10.1037/rel0000456

Nasir, M. A., Rahman, F., & Ahmad, Z. (2020). Comparative analysis of Islamic family law mechanisms in preventing divorce: A cross-cultural study. Journal of Comparative Family Studies, 51(3-4), 298-315. https://doi.org/10.3138/jcfs.51.3-4.006

Rahman, A. K., & Ahmad, M. F. (2022). Mental health correlates of repeated talaq petitions: Evidence from Indonesian religious courts. International Journal of Mental Health and Addiction, 20(4), 2134-2148.

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *