AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Perdebatan mengenai legitimasi perkawinan beda agama di Indonesia kembali mencuat setelah pernyataan selebritas senior Rita Nasution yang mempertanyakan mengapa negara harus ikut campur dalam urusan pernikahan antar pemeluk agama berbeda, sebagaimana dilaporkan Beritasatu.com pada 8 September 2025. Fenomena ini menuntut analisis komprehensif dari perspektif hukum keluarga Islam, khususnya terkait batas otoritas negara dalam mengatur kehidupan pribadi warga negara yang bersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan.
Kompleksitas perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dualisme sistem hukum yang berlaku, dimana hukum negara dan hukum agama saling berinteraksi dalam mengatur institusi perkawinan. Sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang kemudian diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Indonesia menganut prinsip bahwa perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan ini secara implisit menutup ruang bagi perkawinan beda agama, mengingat tidak ada mekanisme formal yang mengakomodasi pernikahan lintas keyakinan dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Dari perspektif hukum Islam, konsep kafaah (kesetaraan) dalam perkawinan menjadi fondasi utama yang mengatur kompatibilitas calon pasangan. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 secara eksplisit melarang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik, sementara dalam Surah Al-Maidah ayat 5 memberikan kelonggaran bagi muslim laki-laki untuk menikahi perempuan ahli kitab dengan persyaratan tertentu. Prinsip ini didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan jangka panjang keluarga, terutama dalam aspek pendidikan anak dan keharmonisan rumah tangga. Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa larangan ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan upaya menjaga keberlangsungan akidah dan identitas keagamaan generasi Muslim.
Namun demikian, argumen kebebasan beragama dan hak asasi manusia tidak dapat diabaikan dalam diskusi ini. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 telah menegaskan bahwa hak untuk menikah merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Paradoks muncul ketika jaminan kebebasan beragama bertentangan dengan implementasi ajaran agama itu sendiri. Beberapa negara Muslim seperti Tunisia telah mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dengan memungkinkan perkawinan beda agama melalui mekanisme sipil, meskipun tetap mempertahankan otoritas keagamaan dalam aspek-aspek ritual tertentu.
Keterlibatan negara dalam mengatur perkawinan beda agama sesungguhnya mencerminkan upaya menciptakan keseimbangan antara pluralitas masyarakat dengan nilai-nilai keagamaan mayoritas. Teori maqashid syariah yang dikembangkan oleh Al-Syatibi mengajarkan bahwa setiap regulasi harus mempertimbangkan lima aspek fundamental: perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Larangan perkawinan beda agama dalam konteks ini dipahami sebagai upaya menjaga keberlangsungan generasi Muslim yang memiliki akidah yang kuat dan identitas keagamaan yang jelas, sebagaimana diuraikan dalam berbagai kitab fiqh klasik seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah.
Solusi konstruktif terhadap dilema ini memerlukan pendekatan yang tidak mengabaikan baik aspek teologis maupun sosiologis. Pertama, perlu dikembangkan mekanisme konseling pra-nikah yang komprehensif bagi pasangan beda agama untuk memahami konsekuensi jangka panjang dari keputusan mereka. Kedua, penguatan dialog antar-agama dapat membantu menciptakan pemahaman mutual tentang nilai-nilai perkawinan dalam berbagai tradisi keagamaan. Ketiga, pengembangan pendidikan hukum keluarga yang inklusif dapat membantu masyarakat memahami wisdom di balik aturan perkawinan dalam Islam tanpa menimbulkan eksklusivitas berlebihan.
Keterlibatan negara dalam urusan perkawinan beda agama bukanlah bentuk intervensi berlebihan, melainkan manifestasi tanggung jawab konstitusional dalam melindungi kemaslahatan masyarakat. Hukum keluarga Islam memberikan kerangka komprehensif yang mempertimbangkan tidak hanya kepentingan individu, tetapi juga keberlanjutan generasi dan harmonisasi sosial. Diperlukan dialog berkelanjutan antara ulama, akademisi, dan praktisi hukum untuk mengembangkan formulasi yang dapat mengakomodasi pluralitas masyarakat Indonesia tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental Islam. Hanya melalui pendekatan yang matang dan holistik, Indonesia dapat mengatasi kompleksitas perkawinan beda agama sambil mempertahankan karakter sebagai negara yang menghormati keberagaman dalam bingkai nilai-nilai keagamaan.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Sumber Primer:
- Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 221 dan Surah Al-Maidah ayat 5
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 68/PUU-XII/2014
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sumber Sekunder:
- Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh al-Usrah fi al-Islam. Kairo: Maktabah Wahbah
- Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah
- Ibnu Qudamah, Abdullah ibn Ahmad. Al-Mughni. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub
Leave a Reply