Advertisement

Teori Algoritma Ferry Irwandi: Friction Shifting Theory (FST)

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA – Di era digital, algoritma media sosial memainkan peran dominan dalam menentukan apa yang kita lihat, baca, dan diskusikan setiap hari. Namun, di balik kecepatan arus informasi itu, muncul pertanyaan penting: apakah algoritma benar-benar netral, ataukah ia bisa dimanipulasi? Pertanyaan ini dijawab oleh Ferry Irwandi, seorang peneliti dan kandidat doktoral di Monash University, Australia, yang memperkenalkan sebuah teori baru bernama Friction Shifting Theory (FST).

Teori ini menjadi sorotan karena bukan hanya menawarkan kerangka analisis, tetapi juga membuktikan secara praktis bahwa algoritma dapat diarahkan untuk mendorong diskusi substansial, bahkan memengaruhi realitas sosial di luar dunia maya.

Latar Belakang Lahirnya FST

Ferry Irwandi bukanlah sosok asing dalam dunia intelektual dan media sosial. Ia dikenal sebagai founder Malaka Project, sebuah gerakan literasi dan intelektual yang banyak menyebarkan ide-ide kritis di ranah digital. Melalui keterlibatan aktifnya di dunia akademik dan praktik sosial, ia mengamati bahwa algoritma media sosial sering kali memperkuat konten dangkal—sensasi, gosip, atau isu superfisial—karena konten semacam itu lebih cepat memicu interaksi.

Namun, di sisi lain, ia menyadari adanya celah: algoritma bekerja secara prediktif dan repetitif. Dengan kata lain, ia bisa “dipancing” untuk menyoroti isu tertentu jika percakapan di sekitarnya dibuat cukup berlapis dan berulang. Dari sinilah lahir gagasan Friction Shifting Theory.

Inti Teori: Apa Itu Friction Shifting?

Secara sederhana, Friction Shifting Theory (FST) menyatakan bahwa:

1. Algoritma tidak pernah netral
Tujuan utama platform adalah menjaga pengguna tetap terlibat selama mungkin. Semakin lama orang berada di platform, semakin banyak iklan yang ditayangkan, dan semakin besar keuntungan perusahaan.

2. Gesekan (Friction) sebagai pemicu
FST bekerja dengan menciptakan “gesekan” berupa perdebatan, pro-kontra, atau respon berlapis terhadap suatu isu. Gesekan ini membuat algoritma membaca bahwa topik tersebut relevan dan perlu terus ditampilkan.

3. Shifting sebagai arah baru percakapan
Dengan gesekan yang konsisten, fokus percakapan publik dapat bergeser (shifting). Algoritma, yang awalnya hanya mengangkat isu populer sesaat, dipaksa untuk memunculkan diskusi lebih mendalam dan beragam perspektif.

Metafora yang dipakai Ferry untuk menjelaskan FST adalah sistem gir pada sepeda: dengan menggeser gesekan, arah dan tenaga bisa dialihkan ke jalur yang berbeda, meskipun tenaga awalnya sama.

Bukti dan Uji Coba FST

FST bukan hanya teori abstrak. Pada Juni–Juli 2025, Ferry melakukan uji coba dengan mengangkat isu “penghapusan jurusan filsafat”. Awalnya isu ini tidak banyak diperhatikan, namun melalui FST, perdebatan yang tercipta melibatkan:

Kelompok yang menolak keras wacana tersebut.

Pihak yang mencoba membela dengan argumen logis.

Netizen yang membuat parodi dan satire.

Akademisi yang memberikan penjelasan panjang.

Hasilnya, dalam kurun singkat, diskusi tentang filsafat meningkat hingga 650% di media sosial. Efeknya tidak berhenti di dunia maya:

Penjualan buku filsafat melonjak.

Materi terkait IQ dan karya Malaka Project ikut terangkat.

Diskusi filsafat masuk ke arus utama percakapan publik.

Implikasi Sosial dan Akademik

FST menunjukkan bahwa algoritma bisa menjadi alat strategis untuk:

1. Mengangkat isu-isu edukatif
Alih-alih hanya viral karena sensasi, FST bisa mendorong masyarakat membicarakan topik yang lebih bermakna: filsafat, etika, literasi, hingga kebijakan publik.

2. Mendorong peran akademisi di ruang digital
Ferry menekankan pentingnya akademisi keluar dari “menara gading”. Ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti di jurnal ilmiah, tetapi harus hadir di ruang publik agar bisa diuji dan diperkaya melalui perdebatan.

3. Membuka peluang bagi aktivisme digital
Teori ini juga memberikan perspektif baru bagi aktivis, kreator konten, bahkan politisi untuk memahami bagaimana narasi bisa diarahkan secara etis dalam ruang digital.

Kritik dan Tantangan

Meski potensial, FST juga mengundang sejumlah kritik:

Risiko manipulasi
Jika FST digunakan tanpa etika, ia bisa menjadi senjata untuk menyebarkan disinformasi atau propaganda.

Ketergantungan pada platform
Perubahan algoritma oleh perusahaan media sosial bisa memengaruhi efektivitas FST.

Keterbatasan daya jangkau
Tidak semua topik bisa viral melalui FST, karena publik tetap memiliki preferensi emosional tertentu yang sulit diprediksi.

Friction Shifting Theory (FST) karya Ferry Irwandi adalah sumbangan penting dalam kajian algoritma, media sosial, dan komunikasi publik. Ia membuktikan bahwa algoritma bukanlah sistem netral yang tak bisa disentuh, melainkan medan yang bisa dimanfaatkan untuk mengarahkan diskursus publik ke arah yang lebih konstruktif.

Bagi Ferry, teori ini bukan sekadar karya akademik, tetapi juga panggilan moral: agar masyarakat dan akademisi berani memanfaatkan algoritma, bukan hanya dikendalikan olehnya.

Steven
Author: Steven

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *