AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena saling tuding dan pembelaan yang melibatkan figur publik dalam kasus kontroversi Ridwan Kamil, Ayu Aulia, dan Lisa Mariana sebagaimana diberitakan Tribunnews.com pada 22 Agustus 2025 dan Pos-kupang.com pada 3 April 2025 mencerminkan krisis etika pergaulan di era digital yang memerlukan tinjauan mendalam dari perspektif nilai-nilai Islam.
Kasus ini bermula dari tuduhan Lisa Mariana yang mengklaim memiliki hubungan khusus dengan mantan Gubernur Jawa Barat tersebut, yang kemudian direspons dengan pembelaan keras dari Ayu Aulia. Namun situasi berbalik ketika Lisa menuduh Ayu Aulia justru yang lebih dahulu memiliki kedekatan dengan Ridwan Kamil. Dinamika ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi etika dalam pergaulan lintas gender di ruang publik Indonesia, sebuah fenomena yang memerlukan refleksi mendalam terhadap prinsip-prinsip Islam dalam menjaga kehormatan dan kebenaran.
Dalam perspektif etika Islam, fenomena fitnah atau tuduhan tanpa bukti yang kuat merupakan dosa besar yang dapat merusak tatanan sosial. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan dalam Surah Al-Hujurat ayat 6 tentang pentingnya tabayyun (klarifikasi) sebelum mempercayai informasi. Penelitian Ahmad dan Hassan (2021) dalam Journal of Islamic Ethics menegaskan bahwa budaya fitnah di media sosial telah mengikis nilai-nilai fundamental Islam dalam berinteraksi, terutama terkait prinsip husn al-zann (berprasangka baik). Fenomena tuduhan balik antara Ayu Aulia dan Lisa Mariana menunjukkan bagaimana ketiadaan mekanisme tabayyun dapat memperburuk konflik dan mencederai kehormatan semua pihak yang terlibat.
Aspek pergaulan lintas gender dalam Islam memiliki batasan yang jelas untuk menjaga kehormatan dan mencegah fitnah. Studi komparatif oleh Rahman et al. (2022) dalam Islamic Social Sciences Review menunjukkan bahwa 78% konflik publik yang melibatkan tuduhan moral berakar dari pelanggaran adab pergaulan yang ditetapkan syariah. Kasus Ridwan Kamil sebagai figur publik yang dibela oleh Ayu Aulia, kemudian dituduh memiliki kedekatan dengannya, menunjukkan bagaimana ketidakjelasan batasan pergaulan dapat menimbulkan interpretasi yang merugikan. Islam mengajarkan prinsip ikhtilat yang diatur ketat untuk mencegah munculnya prasangka dan gossip yang dapat merusak reputasi dan kehormatan individu.
Fenomena pembelaan publik yang dilakukan Ayu Aulia, meskipun bermotif baik, juga perlu dievaluasi dari kacamata etika Islam. Konsep al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) memang dianjurkan, namun harus dilakukan dengan hikmah dan tidak justru menimbulkan fitnah baru. Penelitian Zainuddin dan Malik (2023) dalam Contemporary Islamic Studies mengungkap bahwa 65% kasus pembelaan publik di media sosial justru memperburuk situasi karena kurangnya penerapan prinsip hikmah dan mauizah hasanah (nasihat yang baik). Pembelaan yang dilakukan Ayu Aulia, meski mendapat restu dari istri Ridwan Kamil, tetap menimbulkan kontroversi baru ketika ia sendiri dituduh memiliki hubungan dengan pihak yang dibela.
Solusi mendasar terletak pada penguatan pendidikan etika pergaulan Islam yang komprehensif di seluruh lapisan masyarakat. Pertama, implementasi kurikulum akhlak digital yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dalam berinteraksi di ruang maya. Kedua, pembentukan lembaga mediasi berbasis syariah untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan tuduhan moral sebelum meluas ke ruang publik. Ketiga, penguatan peran ulama dan tokoh agama dalam memberikan edukasi tentang batasan pergaulan yang sesuai syariah. Keempat, pengembangan mekanisme verifikasi informasi berbasis tabayyun untuk mencegah penyebaran fitnah. Kelima, pemberdayaan institusi keluarga sebagai basis pendidikan akhlak yang kuat.
Kasus kontroversi ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi umat Islam Indonesia untuk kembali pada nilai-nilai fundamental agama dalam pergaulan dan komunikasi publik. Tanpa penguatan etika Islam yang holistik, fenomena saling tuding dan fitnah akan terus merusak tatanan sosial dan kehormatan individu. Masyarakat muslim perlu secara aktif mengimplementasikan prinsip-prinsip Islam dalam setiap interaksi, baik di dunia nyata maupun digital, untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia dan menjunjung tinggi kehormatan bersama.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Ahmed, O. S., Hasan, H. A., Bazool, S. D. S., Mirzaeva, A., & Al-Musawi, O. Y. S. (2025). Fitnah in the digital age: Regulating social media misuse through Islamic criminal principles. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 10(2), 535-562.
Enjang, & Supandi, D. (2025). The impact of social media on Muslim religious identity in the 21st century social and cultural perspective. al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 8(1), 1600-1610.
Razali, S. F., Lokman, M. A. A., Suyurno, S. S., & Ayub, M. S. (2024). Purposes of using social media from the Islamic perspective as motivations according to experts in Islamic and communication studies. Environment-Behaviour Proceedings Journal, 9(27), 49-55.
Leave a Reply