AKTAMEDIA.COM, BLITAR — Dualisme legitimasi perkawinan dalam sistem hukum Indonesia kembali mencuat ke permukaan melalui kasus skandal nikah siri yang melibatkan anggota DPRD Blitar (BeritaJatim.com, 4 September 2025), menghadirkan kompleksitas sosiologi hukum yang mempertanyakan relevansi antara keabsahan agama dan legalitas negara dalam konstruksi perkawinan elite politik.
https://beritajatim.com/pdip-belum-tentukan-nasib-anggota-dprd-blitar-terseret-skandal-nikah-siri
Perkawinan siri, yang secara etimologis berasal dari kata “sirr” (rahasia dalam bahasa Arab), telah menjadi fenomena sosial yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika masyarakat Muslim Indonesia. Secara teologis, perkawinan siri memenuhi rukun nikah dalam fiqh Islam yakni adanya ijab-qabul, wali, dua orang saksi, dan mahar (Syafe’i, 2018). Namun, dalam konteks hukum positif Indonesia, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak tercatat dalam administrasi negara sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah direvisi melalui UU No. 16 Tahun 2019.
Perspektif Sosiologi Hukum
Problematika sosiologi hukum muncul ketika praktik nikah siri dilakukan oleh elite politik yang memiliki posisi strategis dalam struktur kekuasaan. Elite politik memiliki tanggung jawab moral lebih besar sebagai pemegang amanah publik. Ketika terjadi inkongruensi antara status perkawinan yang sah secara agama namun tidak legal secara hukum positif, muncul pertanyaan fundamental tentang integritas dan akuntabilitas public officials.
Dari perspektif sosiologi hukum Eugen Ehrlich, living law (hukum yang hidup) dalam masyarakat sering bertentangan dengan state law (hukum negara). Dalam konteks nikah siri, masyarakat Muslim Indonesia umumnya mengakui keabsahan perkawinan yang telah memenuhi syarat agama, terlepas dari aspek administratif negara (Gunawan, 2013). Namun, standar yang berbeda diterapkan pada elite politik yang diharapkan menjadi role model dalam ketaatan hukum.
Analisis Hukum Positif vs Hukum Islam
Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 dan Pasal 5, suatu perkawinan selain harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah siri adalah pernikahan yang tidak memiliki kekuatan hukum formal meskipun sah secara agama.
Menurut Rionaldi (2024), nikah siri menurut hukum Islam adalah sah sepanjang memenuhi syarat dan rukun nikah, namun menurut hukum positif Indonesia tidak diakui karena tidak tercatat secara resmi. Hal ini menciptakan dualisme hukum yang kompleks dalam sistem hukum Indonesia.
Dampak Sosial dan Hukum
Dampak pernikahan siri bagi perempuan secara hukum adalah istri tidak dianggap sebagai istri sah, tidak berhak mendapat warisan jika suami meninggal, dan tidak berhak mendapat harta gono-gini bila terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil pernikahan siri (Gunawan, 2013).
Fenomena nikah siri dalam perspektif sosiologi hukum menunjukkan adanya ketegangan antara norma agama dan norma hukum positif. Masyarakat Muslim Indonesia umumnya masih mengakui keabsahan perkawinan yang telah memenuhi syarat agama, meskipun tidak tercatat secara resmi (Zuhri, 2016).
Implikasi bagi Elite Politik
Kasus nikah siri yang melibatkan elite politik menciptakan dilema tersendiri. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menjadi teladan dalam mematuhi hukum positif. Di sisi lain, praktik keagamaan yang mereka lakukan secara personal sebenarnya sah menurut hukum Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi antara kehidupan pribadi dan tanggung jawab publik.
Weber’s concept of legal-rational authority menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan modern harus didasarkan pada aturan hukum yang jelas dan konsisten. Ketika elite politik melakukan praktik yang berada di gray area antara hukum agama dan hukum negara, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan terhadap institusi.
Solusi dan Rekomendasi
Solusi terhadap problematika ini memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada aspek legalistik namun juga mempertimbangkan dimensi sosiologi dan antropologi hukum:
- Reformulasi Regulasi: Perlu dilakukan reformulasi regulasi yang mengakomodasi realitas sosial masyarakat Muslim tanpa mengorbankan kepastian hukum.
- Edukasi Hukum: Peningkatan edukasi hukum bagi elite politik tentang implikasi yuridis dan sosial dari praktik keagamaan personal.
- Mekanisme Integratif: Pengembangan mekanisme integratif antara hukum Islam dan hukum positif dalam regulasi perkawinan yang dapat mengakomodasi kebutuhan spiritual dan administratif secara bersamaan.
- Penyederhanaan Proses: Menyederhanakan proses pencatatan perkawinan agar lebih mudah diakses oleh masyarakat, sehingga mengurangi praktik nikah siri.
Kesimpulan
Kasus nikah siri elite politik DPRD Blitar merupakan refleksi dari kompleksitas sosiologi hukum dalam masyarakat plural Indonesia. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam menyelesaikan dualisme legitimasi perkawinan, tidak hanya melalui sanksi administratif namun melalui reformulasi sistem hukum yang lebih adaptif terhadap realitas sosial keagamaan masyarakat.
Elite politik, sebagai agen perubahan, memiliki tanggung jawab untuk menjadi pelopor dalam harmonisasi antara ketaatan spiritual dan kepatuhan hukum positif demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan berkelanjutan.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Gunawan. (2013). Nikah siri dan akibat hukumnya menurut UU Perkawinan. Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, 11(2), 45-62. Diakses dari https://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/163
Hokianetta, A. B. (2022). Hukum perkawinan siri dan konsekuensinya terhadap istri dan anak di Kecamatan Marpoyan Damai. Skripsi. Universitas Islam Riau. Diakses dari https://repository.uir.ac.id/11067/
Rionaldi. (2024). Nikah siri menurut hukum positif dan hukum Islam. Jurnal Cerdas Hukum, 2(1), 45-51.
Syafe’i, R. (2018). Nikah siri dalam tinjauan hukum teoritis dan sosiologi hukum Islam Indonesia. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 12(1), 67-82. DOI: 10.24090/mnh.v12i1.1268
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 186.
Zuhri, S. (2016). Fenomena nikah siri dalam perspektif sosiologi hukum. Justicia Islamica, 13(2), 195-214. Diakses dari https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/view/456
Leave a Reply