AKTAMEDIA.COM, PADANG – Minangkabau dikenal dengan adatnya yang unik dan penuh filosofi. Salah satu tradisi dalam rangkaian pernikahan adat Minang yang masih lestari hingga kini adalah “marapulai pulang subuh dari rumah anak daro”.
Tradisi ini kerap menimbulkan tanya bagi generasi muda, bahkan bagi orang luar Minangkabau yang menyaksikannya, mengapa seorang pengantin pria harus meninggalkan rumah istrinya di pagi buta setelah pesta pernikahan. Untuk memahami makna tersebut, kita harus menelusuri akar adat dan filosofi kehidupan orang Minangkabau yang berbasis matrilineal.
Makna Tradisi Pulang Subuh
Dalam adat Minangkabau, setelah akad nikah dan pesta baralek dilangsungkan, biasanya marapulai (pengantin laki-laki) akan bermalam di rumah anak daro (pengantin perempuan). Namun, ia tidak diperkenankan tinggal lama di sana. Menjelang waktu subuh, keluarga anak daro akan mengantar marapulai pulang ke rumah orang tuanya. Inilah yang dikenal dengan istilah marapulai pulang subuh.
Secara kasat mata, hal ini mungkin terlihat sederhana. Namun dalam adat, ia memiliki makna mendalam:
1. Menjaga marwah keluarga perempuan
Rumah gadang adalah milik kaum perempuan, sedangkan laki-laki datang dari luar suku. Dengan pulangnya marapulai subuh, terjaga kesan bahwa ia tidak “berlama-lama” menumpang di rumah mertua tanpa prosesi resmi.
2. Simbol peralihan status
Marapulai telah sah menjadi suami, tetapi kedudukannya di rumah anak daro belum sepenuhnya tetap. Ia baru resmi diterima tinggal setelah melalui prosesi adat selanjutnya, yaitu manjapuik marapulai.
3. Pengingat akan tanggung jawab ganda
Walau telah menikah, seorang laki-laki Minang tidak terlepas dari kewajibannya terhadap kaum dan mamaknya. Pulang subuh melambangkan bahwa ia tetap harus ingat asal-usulnya dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab kepada keluarga asal.
Filosofi di Balik Pulang Subuh
Tradisi ini erat kaitannya dengan sistem matrilineal Minangkabau. Dalam sistem ini, harta pusaka, rumah gadang, dan garis keturunan diturunkan melalui pihak perempuan. Laki-laki tidak memiliki hak waris atas rumah gadang, melainkan hanya berperan sebagai sumando (menantu).
Karena itu, kedudukan marapulai ibarat “orang sumando datang bertandang”. Adat memberi batas agar ia tidak serta-merta tinggal di rumah istrinya tanpa tata cara. Pulang subuh adalah wujud dari batas itu, agar marapulai dihormati sekaligus menghormati keluarga anak daro.
Pepatah adat sering menyebut:
“Sumando itu ibarat abu di atas tunggul, ditiup angin berhamburan.”
Artinya, kedudukan seorang menantu dalam keluarga Minang memang dihormati, tetapi tetap rapuh jika tidak pandai menempatkan diri. Pulang subuh mengajarkan sikap hati-hati, kesopanan, dan penghargaan terhadap keluarga pihak istri.
Prosesi Lanjutan: Manjapuik Marapulai
Beberapa hari setelah tradisi pulang subuh, barulah dilaksanakan prosesi manjapuik marapulai. Dalam prosesi ini, pihak keluarga anak daro menjemput menantu laki-laki secara resmi dari rumah orang tuanya untuk dibawa ke rumah istrinya.
Acara ini biasanya disertai dengan arak-arakan, musik tradisional, dan jamuan adat. Setelah manjapuik, marapulai baru dianggap sah tinggal di rumah istrinya dan resmi menjadi bagian dari keluarga besar sang anak daro.
Relevansi di Masa Kini
Walaupun zaman telah berubah, banyak keluarga Minangkabau yang masih mempertahankan tradisi ini. Pulang subuh dianggap sebagai simbol kesantunan dan penghormatan adat. Namun, ada juga keluarga yang lebih longgar menyesuaikan dengan kondisi, misalnya karena alasan jarak atau situasi tertentu.
Bagi generasi muda, memahami makna pulang subuh penting agar tradisi ini tidak dipandang sekadar kebiasaan usang, melainkan bagian dari falsafah hidup Minangkabau yang berpegang pada prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Tradisi marapulai pulang subuh dari rumah anak daro bukan hanya ritual adat semata, tetapi sebuah simbol penghormatan, keseimbangan, dan filosofi hidup orang Minangkabau. Ia menegaskan bahwa pernikahan bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi juga penyatuan dua keluarga besar yang masing-masing punya marwah, tanggung jawab, dan kedudukan yang harus dijaga.
Dengan memahami tradisi ini, kita bisa melihat bagaimana orang Minangkabau menjaga kehormatan keluarga, adat, dan nilai-nilai sosial dalam setiap prosesi perkawinan.
Leave a Reply