Advertisement

Fitnah Dan Qadzaf Dalam Era Digital: Sosiologi Hukum Islam

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Era digitalisasi telah mengubah paradigma komunikasi sosial, namun paradoksnya justru mempermudah terjadinya pencemaran nama baik melalui klaim sepihak yang tidak berdasar. Kasus tuduhan pengakuan anak di luar nikah yang melibatkan figur publik, sebagaimana dilaporkan Kompas.com pada 20 Agustus 2025, menunjukkan urgensi perlindungan kehormatan dalam perspektif sosiologi hukum Islam, khususnya terkait konsep fitnah dan qadzaf sebagai instrumen penjaga martabat keluarga Muslim.

https://nasional.kompas.com/read/2025/08/20/18362071/ridwan-kamil-buka-peluang-cabut-laporan-jika-lisa-mariana-minta-maaf

Fenomena klaim nasab melalui media sosial mencerminkan degradasi etika komunikasi digital yang mengabaikan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam Islam. Penelitian McClure (2016) dari Baylor University menunjukkan bahwa pengguna media sosial cenderung mengembangkan pendekatan “pick-and-choose” dalam praktik keagamaan, di mana media sosial menjadi arena kontestasi nilai-nilai religius yang dapat merusak tatanan sosial tradisional. Konteks ini menjadi relevan ketika individu dengan mudah melontarkan tuduhan tanpa verifikasi yang memadai, sebagaimana tercermin dalam kasus pengakuan sepihak terhadap status anak yang kemudian terbantahkan secara ilmiah melalui tes DNA.

Dalam perspektif hukum Islam, tuduhan terhadap kehormatan seseorang tanpa bukti yang valid dikategorikan sebagai qadzaf (القذف), yang secara eksplisit dilarang dalam Al-Quran. Konsep qadzaf tidak hanya berdimensi individual, tetapi juga sosial yang dapat merusak kohesi masyarakat. Penerapan sanksi qadzaf dalam konteks modern memerlukan adaptasi hermeneutik yang mempertimbangkan karakteristik media digital sebagai ruang publik baru. Klaim pengakuan anak tanpa dasar hukum yang kuat dapat dikategorikan sebagai bentuk qadzaf kontemporer yang merusak kehormatan keluarga dan stabilitas sosial.

Dimensi sosiologis dari pencemaran nama baik dalam kasus pengakuan anak menunjukkan kompleksitas interseksi antara hukum positif dan norma agama. Shin et al. (2022) dalam penelitiannya tentang digital Islam mengidentifikasi bahwa media sosial telah mengubah cara komunitas Muslim berinteraksi dengan otoritas religius, menciptakan arena kontestasi baru yang mempengaruhi tatanan sosial tradisional. Fenomena trial by social media yang marak terjadi justru bertentangan dengan prinsip presumption of innocence dalam Islam, di mana seseorang dianggap suci hingga terbukti bersalah melalui prosedur yang syar’i. Hal ini mengindikasikan perlunya rekonstruksi pemahaman masyarakat tentang etika komunikasi digital berbasis nilai-nilai Islam.

Pendekatan restorative justice dalam tradisi hukum Islam menawarkan alternatif penyelesaian yang lebih humanis dibandingkan pendekatan retributif semata. Fallon (2020) dalam studinya tentang restorative justice dalam Islam menegaskan bahwa konsep islah dan taubah dalam hukum Islam memiliki keselarasan dengan prinsip restorative justice modern, dengan penekanan pada restorasi hubungan sosial dan spiritual. Konsep taubah nasuha yang mensyaratkan pengakuan kesalahan, permintaan maaf publik, dan komitmen tidak mengulangi perbuatan serupa, sejalan dengan prinsip restorative justice modern. Dalam konteks kasus pengakuan anak, peluang pencabutan laporan dengan syarat permintaan maaf publik mencerminkan implementasi praktis dari konsep islah dalam sistem hukum Indonesia.

Perlindungan kehormatan dalam era digital memerlukan sinergi antara instrumen hukum positif dan nilai-nilai Islam melalui pengembangan digital ethics yang responsif terhadap karakteristik masyarakat Muslim Indonesia. Chaudhary (2020) dalam penelitiannya tentang etika digital Islam merekomendasikan pengembangan kerangka kerja filosofis yang mengintegrasikan nilai-nilai syariah dengan tantangan teknologi digital kontemporer. Al-Zaman (2024) lebih lanjut menunjukkan bahwa misinformasi religius di media sosial dapat memicu ketegangan antarumat beragama, sehingga diperlukan mekanisme verifikasi berbasis nilai-nilai Islam. Framework ini mencakup mekanisme verifikasi klaim, prosedur mediasi berbasis islah, dan sanksi yang proporsional dengan tingkat kerusakan reputasi yang ditimbulkan. Implementasinya memerlukan kolaborasi antara ulama, praktisi hukum, dan teknolog untuk menciptakan ekosistem digital yang melindungi kehormatan sambil tetap menjamin kebebasan berekspresi.

Kasus pengakuan anak di luar nikah yang berujung pada pencemaran nama baik mendemonstrasikan kompleksitas tantangan moral-legal dalam masyarakat digital. Perlindungan kehormatan melalui konsep fitnah dan qadzaf dalam hukum Islam menawarkan paradigma holistik yang tidak hanya fokus pada aspek hukuman, tetapi juga restorative dan preventif. Diperlukan edukasi masyarakat tentang etika komunikasi digital berbasis nilai-nilai Islam, penguatan mekanisme islah dalam sistem peradilan, dan pengembangan teknologi yang mendukung verifikasi klaim sebelum publikasi. Hanya melalui pendekatan integratif ini, perlindungan kehormatan dalam era digital dapat terwujud tanpa mengorbankan keadilan dan kebenaran.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Al-Zaman, M. S. (2024). Social media users’ engagement with religious misinformation: An exploratory sequential mixed-methods analysis. Global Media and Communication, 20(2), 243-265. https://doi.org/10.1177/27523543241257715

Chaudhary, M. Y. (2020). Initial considerations for Islamic digital ethics. Philosophy & Technology, 33(4), 639-657. https://doi.org/10.1007/s13347-020-00418-3

Fallon, A. (2020). Restoration as the spirit of Islamic justice. Contemporary Justice Review, 23(4), 478-491. https://doi.org/10.1080/10282580.2019.1700370

McClure, P. K. (2016). Faith and Facebook in a pluralistic age: The effects of social networking sites on the religious beliefs of emerging adults. Sociological Perspectives, 60(4), 660-684.

Shin, D., El Kadoussi, A., & Ibrahime, M. (2022). Digital Islam and Muslim millennials: How social media influencers reimagine religious authority and Islamic practices. Religions, 13(4), 335. https://doi.org/10.3390/rel13040335

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *