AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pemilihan pasangan pasca perceraian dalam komunitas Muslim Indonesia mengalami transformasi signifikan seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan aksesibilitas media digital, di mana konsep ta’aruf (penjajakan atau saling mengenal) sebagai metode pemilihan jodoh Islami menghadapi tantangan adaptasi terhadap realitas kontemporer yang semakin kompleks. Hal ini terinspirasi dari pemberitaan IndoPop.id, 13 Agustus 2025 tentang kriteria pemilihan pasangan tokoh publik pasca perceraian yang menekankan pentingnya “penjajakan mendalam” sebelum memutuskan menikah kembali.
Transformasi Paradigma Pemilihan Pasangan
Masyarakat Muslim kontemporer menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi ta’aruf dengan tuntutan modernitas dalam pemilihan pasangan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa praktik ta’aruf mengalami evolusi dari model tradisional yang melibatkan perantara keluarga menuju pendekatan yang lebih individual dan teknologi-driven (Nisa, 2021). Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari komunitas kolektif menuju individualisme dalam pengambilan keputusan pernikahan, khususnya bagi mereka yang telah mengalami perceraian.
Dalam konteks pasca perceraian, individu cenderung mengembangkan kriteria pemilihan pasangan yang lebih spesifik dan pragmatis. Kajian sosiologi hukum Islam menunjukkan bahwa konsep ta’aruf tidak hanya berfungsi sebagai metode perkenalan, tetapi juga sebagai mekanisme evaluasi kompatibilitas yang komprehensif (Tschalaer, 2020). Proses penjajakan yang mendalam menjadi krusial karena individu yang telah bercerai memiliki pengalaman empiris tentang dinamika pernikahan dan lebih selektif dalam memilih pasangan baru.
Rekonstruksi Hukum Keluarga Islam Modern
Hukum keluarga Islam mengalami reinterpretasi dalam mengakomodasi realitas sosial kontemporer. Studi komparatif di berbagai negara Muslim menunjukkan bahwa praktik ta’aruf pasca perceraian memerlukan fleksibilitas interpretasi fiqh (hukum Islam) untuk memenuhi kebutuhan spesifik individu yang telah memiliki pengalaman pernikahan sebelumnya (Lemons, 2019). Konsep maslaha (kemaslahatan atau kepentingan umum) menjadi landasan teologis untuk adaptasi praktik ta’aruf yang lebih inklusif dan responsif terhadap konteks personal.
Dimensi sosiologis ta’aruf pasca perceraian mencakup aspek psikologis, ekonomi, dan sosial yang lebih kompleks dibandingkan ta’aruf konvensional. Individu yang telah bercerai membawa pengalaman, trauma, dan pembelajaran dari pernikahan sebelumnya yang mempengaruhi ekspektasi dan kriteria pemilihan pasangan baru (Dutta, 2021). Hal ini menuntut adaptasi metodologi ta’aruf yang lebih komprehensif dan sensitif terhadap kondisi psikososial individu.
Digitalisasi dan Media Sosial dalam Ta’aruf Kontemporer
Era digital telah mengubah lanskap ta’aruf secara fundamental. Platform digital dan aplikasi khusus ta’aruf memberikan akses yang lebih luas namun sekaligus menciptakan tantangan baru dalam verifikasi autentisitas dan kompatibilitas (Nisa, 2021). Fenomena “halal dating” (pacaran halal atau perkenalan sesuai syariat) melalui platform digital menunjukkan upaya adaptasi nilai-nilai Islam terhadap teknologi modern, meskipun masih menuai perdebatan di kalangan ulama (cendekiawan agama Islam).
Analisis sosiologi menunjukkan bahwa digitalisasi ta’aruf menciptakan paradoks antara kemudahan akses dengan kedalaman pemahaman karakter calon pasangan. Studi empiris terhadap pengguna aplikasi ta’aruf menunjukkan bahwa meskipun teknologi memperluas opsi, proses penjajakan tetap memerlukan interaksi tatap muka untuk validasi kompatibilitas yang autentik (Vinding et al., 2025).
Implikasi Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Rekonstruksi ta’aruf pasca perceraian memiliki implikasi signifikan terhadap pemberdayaan perempuan dalam memilih pasangan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang telah bercerai cenderung memiliki agency (kemampuan bertindak atau kemandirian) yang lebih kuat dalam proses ta’aruf dibandingkan pernikahan pertama mereka (Wadud, 2006). Hal ini mencerminkan pergeseran dari paradigma patriarkal menuju kesetaraan gender dalam pemilihan pasangan.
Konsep khitbah (peminangan atau lamaran resmi) dalam konteks pasca perceraian mengalami redefinisi di mana perempuan memiliki ruang negosiasi yang lebih luas dalam menentukan syarat dan kondisi pernikahan. Studi kasus di berbagai komunitas Muslim menunjukkan bahwa perempuan janda memiliki kebebasan yang lebih besar dalam mengekspresikan preferensi personal dibandingkan perempuan yang belum menikah (Parveen, 2018).
Rekomendasi Adaptasi Hukum Keluarga Islam
Menghadapi kompleksitas ta’aruf pasca perceraian, diperlukan reformulasi pendekatan hukum keluarga Islam yang lebih adaptif dan kontekstual. Pengembangan guidelines (panduan atau pedoman) ta’aruf yang mempertimbangkan aspek psikologis, pengalaman hidup, dan kebutuhan spesifik individu pasca perceraian menjadi urgensi dalam praktik hukum keluarga Islam kontemporer. Institusi keagamaan perlu mengembangkan framework (kerangka kerja) counseling (konseling atau bimbingan) dan mentoring (pendampingan) yang terintegrasi dalam proses ta’aruf untuk memastikan kematangan emosional dan kompatibilitas jangka panjang.
Integrasi perspektif psikologi, sosiologi, dan teknologi dalam metodologi ta’aruf dapat mengoptimalkan efektivitas pemilihan pasangan sambil tetap mempertahankan nilai-nilai Islami. Penelitian longitudinal (jangka panjang) tentang tingkat keberhasilan pernikahan melalui ta’aruf pasca perceraian juga diperlukan untuk validasi empiris terhadap adaptasi metodologi yang dikembangkan.
Kesimpulan dan Masa Depan Ta’aruf
Dinamika ta’aruf dalam masyarakat kontemporer, khususnya dalam konteks pasca perceraian, menunjukkan kapasitas adaptif hukum keluarga Islam terhadap perubahan sosial. Rekonstruksi praktik ta’aruf harus menyeimbangkan antara preservasi (pelestarian) nilai-nilai Islami dengan responsivitas terhadap kebutuhan individual dalam masyarakat modern. Upaya sistematis untuk mengintegrasikan wisdom (kebijaksanaan) tradisional dengan insight (pemahaman mendalam) kontemporer akan menentukan relevansi dan efektivitas ta’aruf sebagai metode pemilihan pasangan yang ideal dalam komunitas Muslim abad ke-21.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Dutta, S. (2021). Divorce, kinship, and errant wives: Islamic feminism in India, and the everyday life of divorce and maintenance. Ethnography, 22(2), 178-195. https://doi.org/10.1177/1468796821999904
Lemons, K. (2019). Divorcing traditions: Islamic marriage law and the making of Indian secularism. Cornell University Press.
Nisa, E. F. (2021). Online halal dating, ta’aruf, and the shariatisation of matchmaking among Malaysian and Indonesian Muslims. CyberOrient, 15(1), 189-208.
Parveen, R. (2018). Religious-only marriages in the UK. Sociology of Islam, 6(3), 280-299. https://doi.org/10.1163/22131418-00603002
Scott, R. M. (2020). Islamic law, unitary state law, and communal law: Divorce and remarriage in Egypt’s Coptic community. Exchange, 49(3-4), 215-238. https://doi.org/10.1163/1572543X-12341550
Tschalaer, M. H. (2020). Marriage “sharia style”: Everyday practices of Islamic morality in England. Contemporary Islam, 14(3), 321-345. https://doi.org/10.1007/s11562-018-0430-1
Vinding, N. V., Rachius, E., & Thielmann, J. (2025). Study of Muslim family norms in contemporary Europe: A systematic scoping review. Oxford Journal of Law and Religion, 14(1), 45-72. https://doi.org/10.1093/ojlr/rwaf005
Wadud, A. (2006). Inside the gender jihad: Women’s reform in Islam. Oneworld Publications.
Leave a Reply