AKTAMEDIA.COM, JAKARTA – Dalam masyarakat Minangkabau, gelar datuak atau panghulu kaum merupakan salah satu pilar utama dalam struktur sosial adat. Gelar ini bukan sekadar sebutan kehormatan, tetapi mengandung tanggung jawab besar terhadap kaum, suku, nagari, dan adat Minangkabau secara keseluruhan. Karena itu, persoalan pengangkatan maupun pencabutan gelar datuak kerap menjadi isu yang sensitif dan rawan menimbulkan konflik.
Di sisi lain, dalam sistem hukum nasional Indonesia, setiap perselisihan yang tidak dapat diselesaikan di tingkat nagari dapat berlanjut ke ranah pengadilan, hingga sampai ke Mahkamah Agung. Jika sudah ada putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) dari Mahkamah Agung, maka keputusan tersebut mengikat seluruh pihak. Situasi ini sering menempatkan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam posisi dilematis, karena mereka harus menjaga keseimbangan antara kewenangan adat dan kewajiban mematuhi hukum negara.
1. Menghormati Putusan Mahkamah Agung
KAN, sebagai lembaga adat yang diakui oleh negara, tidak bisa mengabaikan keputusan hukum. Ketika Mahkamah Agung membatalkan atau menganulir suatu gelar datuak, KAN umumnya akan mengeluarkan sikap resmi untuk menghormati dan menerima putusan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik berkepanjangan, sekaligus menjaga hubungan baik antara nagari dan pemerintah.
Namun, pengakuan terhadap putusan MA tidak serta-merta berarti adat kehilangan perannya. Justru, KAN tetap menegaskan bahwa pengangkatan atau pencabutan gelar dalam adat Minangkabau harus tetap melalui mekanisme adat.
2. Menyelenggarakan Musyawarah Adat
Setelah putusan hukum negara turun, KAN biasanya segera menggelar musyawarah adat. Dalam musyawarah ini, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan pihak kaum yang berselisih akan dipertemukan. Tujuannya adalah memastikan bahwa putusan hukum tidak merusak harmoni dalam kehidupan sosial nagari.
Musyawarah adat menjadi sarana untuk mencari jalan tengah. Misalnya, apakah gelar datuak yang dibatalkan akan dibekukan sementara sampai ada kesepakatan baru, atau langsung diberikan kepada pihak yang telah dimenangkan oleh putusan Mahkamah Agung, tetapi tetap melalui prosesi adat seperti batagak panghulu.
3. Menjaga Marwah Nagari dan Kehormatan Kaum
KAN memahami bahwa gelar datuak bukan hanya soal legalitas, melainkan juga marwah dan kehormatan kaum. Oleh sebab itu, dalam menghadapi putusan inkracht, KAN berusaha menjaga agar kaum yang berselisih tidak terpecah. Mereka akan mengedepankan prinsip adat Minangkabau: bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.
KAN bisa saja mengambil langkah untuk tidak serta-merta mengumumkan nama pengganti, melainkan lebih dulu menenangkan pihak-pihak yang kalah, agar keputusan bisa diterima dengan lapang dada. Hal ini penting untuk mencegah munculnya dendam atau perpecahan yang bisa melemahkan nagari.
4. Menjadi Mediator dan Penengah
Walaupun sudah ada putusan hukum, kenyataannya tidak semua pihak bisa langsung menerima kekalahan. Di sinilah KAN memainkan peran strategis sebagai mediator dan penengah. Mereka berusaha meredakan ketegangan, menjembatani komunikasi, serta meyakinkan bahwa kepentingan bersama lebih penting daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
KAN juga bisa memberikan nasihat adat, bahwa seorang datuak sejatinya adalah pemimpin yang diangkat untuk mengayomi kaum, bukan untuk diperebutkan sebagai simbol kekuasaan semata. Dengan begitu, konflik yang sebelumnya tajam bisa perlahan mencair.
5. Menegaskan Batas Adat dan Hukum Negara
Sikap KAN dalam kasus ini juga menjadi pelajaran penting bahwa adat dan hukum negara berjalan beriringan, tetapi memiliki ruang kewenangan masing-masing. Hukum negara berfungsi memberikan kepastian hukum, sementara adat berfungsi menjaga harmoni sosial dan legitimasi kultural.
KAN biasanya akan menegaskan bahwa meskipun keputusan MA wajib dihormati, prosesi adat tetap harus dijalankan agar gelar datuak sah secara adat. Dengan cara ini, kedudukan pemimpin adat tetap memiliki legitimasi ganda: diakui oleh hukum negara sekaligus diterima oleh masyarakat adat.
Ketika gelar datuak dianulir melalui putusan inkracht Mahkamah Agung, Kerapatan Adat Nagari mengambil posisi bijak: menerima keputusan negara sebagai bentuk ketaatan hukum, namun tetap memprosesnya dengan mekanisme adat untuk menjaga keharmonisan. Dengan demikian, KAN menjadi jembatan yang menghubungkan dunia adat dan hukum formal, sehingga marwah kaum, nagari, dan adat Minangkabau tetap terjaga.
Leave a Reply