AKTAMEDIA.COM, GORONTALO — Fenomena ketidakhadiran calon mempelai pada saat pelaksanaan akad nikah menghadirkan kompleksitas psikologis dan yuridis yang perlu dikaji mendalam, terutama ketika melibatkan klaim “ketidaksadaran” sebagai justifikasi perilaku menghindar dari kewajiban pernikahan yang telah disepakati secara sosial dan religius. Kasus yang dilaporkan Gopos.id pada 14 Agustus 2025 mengenai Bripda Farhan yang tidak hadir saat akad nikah menjadi contoh nyata fenomena ini.
https://gopos.id/pengakuan-bripda-farhan-yang-kabur-jelang-ijab-kabul/
Kasus Bripda Farhan yang tidak hadir pada saat ijab qabul (pernyataan serah terima dalam akad nikah) dengan dalih “tidak dalam keadaan sadar” mencerminkan fenomena kecemasan pra-nikah (pre-marital anxiety) yang kompleks. Menurut Gkintoni dan Ortiz (2023), kecemasan umum dapat mempengaruhi fungsi kognitif kompleks termasuk atensi selektif (kemampuan memusatkan perhatian) dan fungsi eksekutif (kemampuan mengatur perilaku), yang berpotensi memicu respons menghindar yang ekstrem. Dalam konteks hukum Islam, kondisi ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang validitas akad nikah yang mensyaratkan kesadaran penuh dan kapasitas mental (ahliyyah – kecakapan hukum) dari kedua belah pihak sebagaimana dikemukakan dalam prinsip fiqh munakahat (ilmu hukum Islam tentang pernikahan) klasik.
Dari perspektif neuropsikologi (ilmu yang mempelajari hubungan otak dengan perilaku), penelitian menunjukkan bahwa stress akut dapat mengaktivasi sistem simpatis (bagian saraf yang mengatur respons darurat) secara berlebihan, menyebabkan episode disosiatif (terputusnya kesadaran dari realitas) yang mempengaruhi fungsi kognitif dan kontrol perilaku. Desouky dan Umarji (2021) dalam studinya terhadap kesehatan mental Muslim mengidentifikasi bahwa religiusitas yang tinggi seharusnya memberikan perlindungan terhadap gangguan kecemasan, namun dalam kasus tertentu, tekanan sosial dan ekspektasi religius justru dapat meningkatkan stres pra-pernikahan. Temuan ini sejalan dengan konsep “gamophobia” (ketakutan terhadap pernikahan) yang dalam literatur psikologi Islam dijelaskan sebagai ketakutan berlebihan terhadap komitmen pernikahan yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk memenuhi kewajiban religius dan sosialnya.
Namun demikian, klaim ketidaksadaran dalam konteks hukum keluarga Islam memerlukan verifikasi yang ketat. Menurut Al-Sharmani dan Moors (2022), syarat sahnya akad nikah dalam berbagai mazhab (aliran pemikiran hukum Islam) mencakup kemampuan mental (rushd – kedewasaan akal) dan kesadaran penuh dari kedua mempelai. Penelitian mereka menunjukkan bahwa validitas pernikahan Islam tidak hanya bergantung pada aspek ritual, tetapi juga pada kapasitas psikologis dan kesadaran penuh dari para pihak. Ketidakhadiran yang disebabkan oleh faktor psikologis tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban moral dan hukum, melainkan memerlukan evaluasi komprehensif untuk membedakan antara ketidakmampuan genuine (asli) dan penghindaran yang disengaja.
Studi sistematis (penelitian yang menggunakan metode pencarian literatur terstruktur) yang dilakukan Gkintoni dan Ortiz (2023) terhadap gangguan kecemasan umum menunjukkan bahwa sebagian besar kasus ketidakhadiran mempelai disebabkan oleh konflik psikologis yang belum terselesaikan, bukan gangguan mental klinis. Temuan ini mengindikasikan perlunya intervensi psikologis preventif (pencegahan) melalui konseling pranikah yang komprehensif. Dalam konteks Indonesia, implementasi Peraturan Menteri Agama tentang kewajiban konseling pranikah perlu diperkuat dengan pendekatan psikologi Islam yang integratif (menggabungkan berbagai pendekatan), menggabungkan prinsip-prinsip syariah dengan metodologi terapi modern sebagaimana direkomendasikan dalam penelitian Cahyono (2024) tentang transformasi sosial dalam hukum keluarga Islam.
Solusi konstruktif untuk mencegah fenomena serupa meliputi beberapa aspek: pertama, penguatan sistem skrining psikologis (penyaringan kondisi mental) dalam proses pendaftaran nikah melalui kerjasama KUA dengan tenaga psikolog klinis; kedua, implementasi program edukasi pranikah yang mencakup manajemen kecemasan dan kesiapan komitmen; ketiga, pengembangan protokol penanganan kasus serupa yang melibatkan tim multidisipliner (berbagai bidang keahlian) termasuk ulama, psikolog, dan konselor keluarga. Lebih lanjut, perlu dikembangkan instrumen asesmen (alat evaluasi) khusus berbasis nilai-nilai Islam untuk mengukur kesiapan pernikahan secara holistik (menyeluruh) sebagaimana diusulkan dalam penelitian terbaru tentang registrasi pernikahan menurut prinsip Islam (Quthny & Muzakki, 2024).
Kasus Bripda Farhan memberikan pembelajaran bahwa pernikahan dalam Islam bukan sekadar kontrak sipil, melainkan komitmen spiritual yang memerlukan kesiapan psikologis matang dari kedua belah pihak. Diperlukan pendekatan yang seimbang antara pemahaman terhadap kondisi psikologis individu dengan penegakan prinsip-prinsip hukum keluarga Islam. Masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah perlu berkolaborasi dalam menciptakan sistem dukungan (support system) yang komprehensif untuk memastikan bahwa setiap individu yang memasuki jenjang pernikahan telah memiliki kesiapan mental, emosional, dan spiritual yang memadai (adequat) sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Al-Sharmani, M., & Moors, A. (2022). Introduction: Muslim marriages, legal pluralities and the question of norms. Hawwa, 20(1-2), 1-16. https://doi.org/10.1163/15692086-12341384
Cahyono, A. W. (2024). Islamic family law and social transformation: A study on marriage, divorce, and inheritance in the Sharia system. Berajah Journal, 4(7), 1421-1430.
Desouky, T., & Umarji, O. (2021). The impact of Muslim religiosity on well-being outcomes. Yaqeen Institute for Islamic Research Reports. Retrieved from https://yaqeeninstitute.org/read/paper/faith-in-mind-islams-role-in-mental-health
Gkintoni, E., & Ortiz, P. S. (2023). Neuropsychology of generalized anxiety disorder in clinical setting: A systematic evaluation. Healthcare, 11(17), 2446. https://doi.org/10.3390/healthcare11172446
Quthny, A. Y. A., & Muzakki, A. (2024). Registration of marriage as fulfillment of marriage requirements according to Islamic principles. Islamic Family Law Journal, 8(2), 234-251.
Leave a Reply