AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Kasus tuduhan zina yang melibatkan tokoh publik Indonesia seperti yang diberitakan Warta Kota Tribunnews, 7 Agustus 2025 menampilkan dilema kompleks antara penegakan keadilan syar’i dan dinamika media modern serta teknologi DNA sebagai alat bukti kontemporer dalam sistem hukum Islam.
Era digitalisasi telah menghadirkan tantangan baru dalam penerapan hukum Islam, khususnya dalam kasus-kasus sensitif seperti tuduhan zina. Ketika tuduhan tersebut disampaikan melalui platform media sosial dan mendapat sorotan publik yang masif, hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang bagaimana prinsip-prinsip keadilan Islam dapat diterapkan secara efektif di tengah tekanan opini publik dan kemajuan teknologi forensik. Hassan dan Abdullah (2022) dalam Journal of Islamic Studies menegaskan bahwa implementasi hukum Islam dalam konteks modern memerlukan keseimbangan antara kekakuan nash (teks Al-Qur’an dan Hadits) dan fleksibilitas interpretasi yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dari perspektif hukum Islam, tuduhan zina (qadzf – tuduhan tanpa bukti yang kuat) merupakan tindakan yang sangat serius dan memerlukan standar pembuktian yang ketat sesuai dengan prinsip al-bayyinah ‘ala al-mudda’i (beban pembuktian pada penuduh). Menurut Al-Maqdisi dan Ibrahim (2023) dalam Islamic Law and Society, teknologi DNA dapat dianggap sebagai bentuk bayyinah (bukti yang jelas dan kuat) kontemporer yang dapat memperkuat atau membantah tuduhan, namun tetap harus diintegrasikan dengan syarat-syarat syar’i (ketentuan hukum Islam) yang telah ditetapkan. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “al-yaqin la yuzalu bi al-syakk” (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan), di mana teknologi DNA dapat memberikan tingkat kepastian yang tinggi dalam menentukan kebenaran.
Peran media dalam kasus tuduhan zina menimbulkan dilema tersendiri dalam perspektif hukum Islam. Sementara Islam mendorong pengungkapan kebenaran, namun juga menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan menghindari penyebaran aib di ruang publik. Penelitian Khan et al. (2022) dalam Journal of Muslim Minority Affairs mengungkapkan bahwa eksposur media yang berlebihan terhadap kasus tuduhan zina dapat bertentangan dengan prinsip satr al-‘awrat (menutupi aib atau keburukan) dan dapat menyebabkan kerusakan reputasi yang tidak dapat dipulihkan meskipun tuduhan tersebut terbukti salah. Oleh karena itu, media memiliki tanggung jawab moral untuk menyajikan berita dengan tetap menghormati prinsip-prinsip etika Islam.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa integrasi teknologi DNA dalam sistem hukum Islam memerlukan pendekatan yang hati-hati dan komprehensif. Sementara Al-Qur’an dan Hadits tidak secara eksplisit menyebutkan teknologi modern, namun kaidah-kaidah usul fiqh (metodologi hukum Islam) memberikan landasan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi sebagai alat bantu dalam penegakan keadilan. Studi komparatif yang dilakukan oleh Malik dan Ishaq (2024) dalam American Journal of Islam and Society menunjukkan bahwa negara-negara Muslim yang telah mengintegrasikan teknologi DNA dalam sistem peradilan syariahnya mengalami peningkatan tingkat kepuasan masyarakat terhadap keadilan hukum, dengan catatan bahwa implementasi tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan esensi nilai-nilai Islam.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan kearifan hukum Islam tradisional dengan kemajuan teknologi modern. Pertama, perlu dibentuk lembaga independen yang terdiri dari ulama, ahli hukum Islam, dan pakar teknologi forensik untuk memberikan panduan dalam kasus-kasus yang melibatkan teknologi DNA. Kedua, media massa perlu mengembangkan kode etik yang mengacu pada prinsip-prinsip Islam dalam meliput kasus-kasus sensitif. Ketiga, sistem peradilan harus dilengkapi dengan mekanisme yang memungkinkan integrasi bukti teknologi dengan tetap mempertahankan standar pembuktian syar’i yang ketat.
Implementasi prinsip keadilan dalam penyelesaian tuduhan zina di era modern menuntut keseimbangan antara penegakan hukum Islam dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi serta dinamika media. Masyarakat Muslim perlu mengembangkan literasi hukum Islam yang memadai agar dapat memahami kompleksitas isu-isu kontemporer ini, sementara para pemangku kebijakan harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil sejalan dengan maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariat Islam) dalam menjaga kehormatan, keadilan, dan kemaslahatan umat.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Al-Maqdisi, H. A., & Ibrahim, S. M. (2023). Forensic evidence in contemporary Islamic jurisprudence: DNA technology and traditional legal principles. Islamic Law and Society, 30(2), 187-212. https://doi.org/10.1163/15685195-bja10023
Hassan, F. M., & Abdullah, N. R. (2022). Modern challenges in Islamic legal methodology: Balancing textual authority and contemporary needs. Journal of Islamic Studies, 33(4), 412-438.
Khan, A. R., Malik, Z. K., & Hussain, M. I. (2022). Media representation of Islamic legal cases: Ethical considerations and social implications. Journal of Muslim Minority Affairs, 42(3), 301-318.
Malik, S. A., & Ishaq, Z. H. (2024). Forensic technology integration in Muslim legal systems: A comparative analysis of Sharia court practices. American Journal of Islam and Society, 41(1), 89-112.
Leave a Reply