AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Dalam lanskap kehidupan kontemporer yang dipenuhi tantangan kompleks, konsep kekuatan sejati yang bersumber dari jiwa terlatih menjadi semakin relevan. Filosofi Socrates tentang “tidak ada hal yang lebih kuat dari jiwa yang terlatih” menemukan resonansi mendalam dengan tradisi pemikiran Islam, khususnya dalam konsep tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa/pembersihan diri) yang dikembangkan para filosof Muslim klasik.
Krisis spiritual dan mental yang melanda masyarakat modern menunjukkan urgensi untuk menggali kembali wisdom (kebijaksanaan) tradisional tentang pembentukan karakter dan pelatihan jiwa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa gangguan kecemasan dan depresi mengalami peningkatan 25% pada tahun pertama pandemi COVID-19 (World Health Organization, 2 Maret 2022), sementara data terbaru dari NHS menunjukkan bahwa sekitar 20% anak usia 8-16 tahun di Inggris mengalami gangguan kesehatan mental pada tahun 2023, naik dari 12,5% pada tahun 2017 (Mental Health Foundation, 15 September 2023). Hal ini mengindikasikan perlunya pendekatan holistik (menyeluruh) yang menggabungkan kearifan filosofis lintas peradaban dalam membangun ketahanan mental dan spiritual.
Socrates melalui metode maieutika (teknik melahirkan ide melalui pertanyaan-pertanyaan, secara harfiah berarti “seni kebidanan” karena membantu “melahirkan” pengetahuan) menekankan pentingnya pengenalan diri (gnothi seauton/kenali dirimu sendiri) sebagai fondasi pelatihan jiwa. Konsep ini memiliki kesamaan fundamental dengan pemikiran Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) yang menjadikan muhasabah (introspeksi diri/evaluasi diri) sebagai tahap awal tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) (Beltrones, 2022). Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa praktik refleksi diri secara konsisten dapat mengaktifkan prefrontal cortex (bagian depan otak yang mengatur fungsi eksekutif) yang berperan dalam kontrol emosi dan pengambilan keputusan, mendukung validitas empiris dari kedua tradisi filosofis ini.
Perbandingan metodologis antara tradisi Yunani dan Islam menunjukkan kesamaan fundamental namun dengan pendekatan yang berbeda. Ibn Sina dalam an-Nafs (Jiwa) mengembangkan teori jiwa rasional (an-nafs an-natiqah/jiwa yang berbicara atau jiwa yang berakal) yang memiliki kapasitas tak terbatas ketika terlatih dengan baik, sementara Ibn Arabi melalui konsep al-insan al-kamil (manusia sempurna/manusia universal) menekankan integrasi dimensi spiritual dalam pelatihan jiwa. Studi menunjukkan bahwa implementasi prinsip-prinsip Islamic virtue ethics (etika kebajikan Islam) dalam konteks modern dapat memberikan framework (kerangka kerja) yang efektif untuk pengembangan karakter (Hashim, 2023).
Analisis mendalam terhadap metodologi pelatihan jiwa dalam kedua tradisi mengungkapkan lima prinsip universal: pertama, kesadaran akan ketidaktahuan (Socratic ignorance/kebodohan Socrates dan faqr/kemiskinan spiritual atau kerendahan hati); kedua, praktik refleksi sistematis (elenchus/metode bantahan Socrates dan muraqabah/pengawasan diri/meditasi); ketiga, pengendalian nafsu (sophrosyne/pengendalian diri atau kebijaksanaan praktis dan jihad an-nafs/perjuangan melawan hawa nafsu); keempat, kultivasi kebajikan (arete/keunggulan karakter atau kebajikan dan akhlaq/moral atau budi pekerti); kelima, orientasi pada kebenaran transenden (aletheia/kebenaran yang tersingkap dan haqq/kebenaran hakiki atau Allah). Penelitian dalam bidang virtue ethics (etika kebajikan) menunjukkan bahwa individu yang menerapkan prinsip-prinsip ini memiliki tingkat wellbeing (kesejahteraan) yang signifikan lebih tinggi, dengan korelasi positif antara praktik kebajikan dan kebahagiaan subjektif (Russell & Stone, 2023).
Implementasi praktis dari sintesis kedua tradisi dapat diwujudkan melalui pengembangan pendekatan holistik dalam pendidikan karakter yang mengintegrasikan metode Socratic questioning (teknik bertanya ala Socrates) dengan praktik tazkiyah Islam. Model ini relevan dengan temuan bahwa pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek spiritual, intelektual, emosional, dan fisik dapat memberikan fondasi yang kuat untuk kesehatan mental mahasiswa dalam konteks pendidikan Islam (Cahyani et al., 2024). Lebih lanjut, integrasi neuroscience (ilmu saraf) dengan nilai-nilai Islam menunjukkan potensi besar dalam pengembangan terapi yang komprehensif untuk well-being individu (Ahmad & Kholiq, 2022).
Jiwa yang terlatih sebagai sumber kekuatan sejati bukan sekadar konsep filosofis abstrak, melainkan kebutuhan mendesak dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern. Sintesis antara kebijaksanaan Socrates dan tradisi tazkiyah Islam menawarkan framework komprehensif untuk pengembangan human excellence (keunggulan manusia). Diperlukan upaya kolektif dari akademisi, pendidik, dan praktisi untuk mengembangkan model aplikatif yang dapat diimplementasikan dalam berbagai konteks kehidupan, mulai dari pendidikan formal hingga pengembangan organisasi dan masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 Prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Ahmad, N., & Kholiq, A. (2022). Arab-Muslims contributions to modern neuroscience: What’s giving us hope? Neuroscience Research Notes, 5(2), 45-58.
Beltrones, D. A. S. (2022). Gnothi seauton (Know thyself): An essay on the philosophy of scientific research for science students. International Journal of Philosophy, 10(3), 101-104.
Cahyani, R., Sari, M., & Wijaya, A. (2024). Optimalisasi mental health mahasiswa dalam konteks pendidikan Islam: Tinjauan literatur terhadap pendekatan holistik. Journal of Education Research, 5(2), 234-245.
Hashim, M. Y. (2023). Proposing an Islamic virtue ethics beyond the situationist debates. Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 66(8), 1542-1565. https://doi.org/10.1080/0020174X.2023.2296467
Mental Health Foundation. (2023, September 15). Children and young people’s mental health statistics.
Russell, J., & Stone, P. (2023). Virtue, well-being, and mentalized affectivity: A cross-cultural perspective. Journal of Positive Psychology, 18(4), 445-462.
World Health Organization. (2022, March 2). COVID-19 pandemic triggers 25% increase in prevalence of anxiety and depression worldwide. https://www.who.int/news/item/02-03-2022-covid-19-pandemic-triggers-25-increase-in-prevalence-of-anxiety-and-depression-worldwide
Leave a Reply