AKTAMEDIA.COM, PADANG – Di sebuah sudut terpencil Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, hidup seorang bidan desa bernama Dona Lubis (46). Sehari-hari ia bertugas di Jorong Sinuangon, Nagari Cubadak Barat, Kecamatan Dua Koto, melayani masyarakat yang sebagian besar tinggal jauh dari fasilitas kesehatan dan terpisah oleh sungai besar.
Bidan Dona bukan sekadar tenaga kesehatan biasa. Ia adalah simbol dedikasi dan keberanian, sosok yang rela mengorbankan keselamatan diri demi pasien. Kisahnya mencuat dan viral setelah sebuah video memperlihatkan ia menyebrangi Sungai Batang Pasaman yang berarus deras tanpa jembatan atau perahu, hanya untuk menolong seorang penderita TBC yang kondisinya memburuk.
Beberapa minggu sebelum kejadian, hujan lebat disertai banjir bandang merusak jembatan gantung sepanjang ±15 meter yang menghubungkan Jorong Sinuangon dengan wilayah lain. Akses transportasi terputus. Bagi masyarakat, termasuk Bidan Dona, hal ini berarti perjalanan menjadi sangat berisiko.
Biasanya, dari puskesmas pembantu ke rumah pasien hanya memakan waktu sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor. Namun, setelah jembatan ambruk, perjalanan itu berubah menjadi lintasan berbahaya: menuruni tebing curam, berenang atau menyeberang arus deras, kemudian melanjutkan perjalanan sejauh 27 km di jalan berlumpur menggunakan ojek.
Pada hari itu, Dona menerima laporan bahwa seorang pasien TBC yang sudah menjalani pengobatan selama sepuluh hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi. Ia tahu bahwa jika dibiarkan, nyawa pasien bisa terancam. Tanpa menunggu bantuan atau fasilitas penyeberangan, ia memutuskan untuk berangkat sendiri.
Dengan membawa tas berisi obat dan peralatan medis, Dona menuruni tebing licin menuju tepi Sungai Batang Pasaman. Airnya keruh, arusnya deras, dan batu-batu besar tersembunyi di bawah permukaan. Ia memegang erat barang bawaannya di atas kepala, lalu mulai berenang sejauh ±18 meter.
Setelah tiba di seberang, ia melanjutkan perjalanan darat. Medan yang dilalui bukanlah jalan mulus—melainkan jalur tanah becek, licin, dan sebagian harus ditempuh dengan berjalan kaki sambil menggendong peralatan medis.
Video aksi Bidan Dona menyebar cepat di media sosial. Warganet kagum dan terharu melihat perjuangannya. Banyak yang mengaitkan kisah ini dengan lemahnya infrastruktur di daerah-daerah pelosok, yang kerap menghambat pelayanan kesehatan.
Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko Rusemy, memberikan apresiasi langsung. Ia menyebut keberanian Dona sebagai teladan nyata pelayanan publik. Pemerintah provinsi berjanji akan membangun jembatan darurat agar warga tidak lagi terisolasi.
Bahkan Kepala Kejaksaan Negeri Pasaman menilai bahwa pengabdian Dona bisa menjadi inspirasi bagi aparat hukum dan pegawai negeri dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Kisah Bidan Dona Lubis bukan hanya tentang keberanian seorang tenaga kesehatan, tetapi juga cermin dari masalah struktural di wilayah terpencil. Kurangnya akses jalan, jembatan, dan transportasi membuat tugas medis menjadi tantangan fisik yang besar.
Namun, di balik keterbatasan itu, ada pesan kuat: pengabdian sejati tak mengenal batas medan. Dona menunjukkan bahwa panggilan hati untuk menolong orang lain bisa mengalahkan rasa takut dan bahaya.
Ia mengajarkan bahwa profesi di bidang kesehatan tidak sekadar soal memberikan obat, tetapi juga soal empati, keberanian, dan kesediaan berkorban demi kemanusiaan.
Hari itu, nyawa seorang pasien TBC berhasil terselamatkan berkat keberanian Bidan Dona Lubis. Namun, kisah ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua bahwa di banyak daerah, pelayanan kesehatan masih sangat tergantung pada dedikasi individu, bukan pada sistem yang kuat.
Bidan Dona telah menjadi simbol—bukan hanya bagi Pasaman, tetapi bagi seluruh Indonesia—tentang bagaimana satu orang dapat membuat perbedaan besar, bahkan ketika harus melawan arus sungai yang deras sekalipun.
Leave a Reply