AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Analisis lintas-peradaban terhadap konsep pembentukan karakter memerlukan pendekatan yang hati-hati dalam membandingkan tokoh-tokoh dari tradisi berbeda. Hal ini terlihat dalam tulisan “Ibnu Maskawaih” karya Muhammad Natsir dalam buku “Capita Selecta” cetakan ketiga tahun 1973 yang diterbitkan Bulan Bintang di Djakarta, dimana beliau menghadirkan perspektif tentang relevansi pemikiran Islam klasik dengan perkembangan filsafat Barat.
https://fliphtml5.com/vkixl/rjcc/Capita_Selecta_Jilid_1/
Berdasarkan dokumentasi yang tersedia, Natsir menggambarkan Ibnu Maskawaih sebagai “salah satu dari ahli2 fikir jang memberi bekas dalam sedjarah kebudajaan” yang “mempunjai ilmu tentang kulturpur-ba dengan luas dan sempurna”. Karakterisasi ini menunjukkan pengakuan Natsir terhadap kontribusi intelektual Maskawaih dalam tradisi pemikiran Islam. Natsir tampaknya tertarik pada aspek universalitas pemikiran Maskawaih yang dapat dikaitkan dengan tradisi filosofis yang lebih luas.
Ibnu Maskawaih (932-1030 M) dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq (Penyempurnaan Karakter) mengembangkan teori pembentukan karakter yang berfokus pada pembiasaan moral (ta’awwud) dan keseimbangan jiwa. Sebagai seorang Neoplatonist, pengaruhnya terhadap filsafat Islam terutama dalam bidang etika, dengan karya utamanya tentang etika filosofis berjudul “Refinement of Character” yang berfokus pada etika praktis, perilaku, dan penyempurnaan karakter. Konsep tiga kekuatan jiwa yang dikembangkannya—al-quwwah al-nathiqah (kekuatan rasional), al-quwwah al-ghadhabiyyah (kekuatan emosional), dan al-quwwah al-shahwaniyyah (kekuatan nafsu)—menunjukkan pemahaman yang sophisticated (canggih) tentang struktur psikologis manusia.
Dalam konteks perbandingan dengan pemikiran Barat, struktur tripartit Maskawaih memiliki keserupaan konseptual dengan berbagai teori psikologi. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics juga menekankan pembentukan karakter melalui habituasi (hexis) dan pencarian keseimbangan (golden mean). Schopenhauer mengeksplorasi konflik internal antara kehendak (Will) dan rasionalitas. Freud kemudian mengembangkan model struktural id-ego-superego yang memiliki resonansi dengan pembagian kekuatan jiwa Maskawaih. Namun, perbandingan-perbandingan ini memerlukan kehati-hatian interpretif karena perbedaan konteks historis, budaya, dan metodologis.
Yang menarik dari pendekatan Natsir adalah upayanya menunjukkan bahwa tradisi intelektual Islam memiliki kontribusi yang dapat disejajarkan dengan perkembangan pemikiran Barat. Dalam era 1970-an, ketika “Capita Selecta” diterbitkan, discourse (wacana) tentang “indigenous knowledge” dan dekolonisasi epistemologi belum berkembang seperti sekarang. Natsir dapat dilihat sebagai pelopor dalam upaya menunjukkan kesetaraan intelektual antara tradisi Islam dan Barat, meski dengan keterbatasan metodologi komparatif pada masanya.
Implementasi konsep Maskawaih dalam pendidikan karakter kontemporer memerlukan adaptasi yang mempertimbangkan perkembangan psikologi modern dan diversitas budaya. Konsep tahdzib al-akhlaq yang menekankan pembiasaan moral (ta’awwud) dapat diintegrasikan dengan understanding modern tentang neuroplastisitas dan behavioral psychology. Namun, dimensi spiritual-transendental dalam pemikiran Maskawaih memerlukan pendekatan yang sensitif terhadap keberagaman religious worldview dalam konteks pendidikan sekuler.
Refleksi terhadap karya Natsir mengingatkan kita akan pentingnya dialog intelektual yang seimbang antara tradisi-tradisi pemikiran yang berbeda. Meski perbandingan lintas-peradaban memiliki nilai heuristik yang tinggi, kita perlu menghindari oversimplification dan anachronistic interpretation. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks historis, metodologi, dan worldview masing-masing tradisi menjadi prasyarat untuk dialog yang produktif dan respectful dalam diskursus pendidikan karakter global.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Ahmadi, H. (2020). The education of akhlak in the Al-Ghazaly and Ibnu Maskawaih’s perspective: Comparative study of educational thought in Kitab Ihya’Ulumuddin dan Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathir Al-A’raq. At-Turats, 14(1), 45-62. https://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/atturats/article/view/1577
Ibn Miskawayh, A. (1030). Kitāb Tahdhīb al-akhlāq wa-taṭhīr al-aʻrāq [Refinement of character]. Retrieved from https://archive.org/details/ibn-miskawayh-refinement-of-character-tahdhib-al-akhlaq_202209
Natsir, M. (1973). Ibnu Maskawaih. In Capita Selecta (3rd ed.). Bulan Bintang. Retrieved from https://fliphtml5.com/vkixl/rjcc/Capita_Selecta_Jilid_1/
Syed, M. N. (2021). Moral education according to Ibn Miskawayh and Al-Ghazali. ResearchGate Publications. https://www.researchgate.net/publication/352893606_MORAL_EDUCATION_ACCORDING_TO_IBN_MISKAWAYH_AND_AL-GHAZALI
Leave a Reply