AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Fenomena pembatalan pernikahan akibat penemuan perilaku seksual menyimpang calon pasangan yang tersembunyi, sebagaimana dilaporkan Detik.com, 26 Juli 2025, menunjukkan urgensi pemahaman konsep ‘aib yang tersembunyi’ (al-‘uyub al-khafiyyah/cacat-cacat tersembunyi) dalam hukum perkawinan Islam, yang menjadi landasan legitimasi pembatalan akad nikah untuk melindungi hak-hak fundamental dalam institusi pernikahan.
Kasus viral seorang wanita yang membatalkan pernikahan setelah menemukan calon suaminya terlibat dalam skandal seksual dengan “Sister Hong” mencerminkan kompleksitas permasalahan moral dalam era digital. Dalam konteks hukum Islam, pernikahan bukan sekadar kontrak sipil, melainkan ikatan sakral (mitsaqan ghalizan/perjanjian yang kuat dan kokoh) yang mensyaratkan transparansi dan kejujuran antara kedua belah pihak. Penemuan perilaku seksual menyimpang yang disembunyikan menjelang akad nikah (ijab qabul/serah terima dalam pernikahan) menimbulkan pertanyaan fundamental tentang validitas ikatan perkawinan tersebut.
Konsep al-‘uyub al-khafiyyah (cacat-cacat tersembunyi) dalam fiqh munakahat (hukum perkawinan Islam) mengacu pada cacat atau kekurangan tersembunyi yang dapat merusak tujuan pernikahan (maqasid al-nikah/maksud dan tujuan pernikahan menurut syariat). Menurut tradisi fiqh (yurisprudensi Islam) klasik, ‘aib tersembunyi mencakup penyakit menular, ketidakmampuan seksual, dan perilaku moral yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam literatur fiqh, perilaku homoseksual dan promiskuitas dikategorikan sebagai ‘aib berat yang dapat menjadi dasar pembatalan nikah karena bertentangan dengan fitrah (naluri alami manusia yang diciptakan Allah) manusia dan tujuan reproduktif pernikahan. Dalam tradisi fiqh klasik, penyembunyian orientasi seksual menyimpang merupakan bentuk penipuan (tadlis/menyembunyikan cacat atau kekurangan) yang dapat membatalkan akad nikah karena melanggar prinsip transparansi dalam kontrak pernikahan Islam.
Perspektif berbeda muncul dari kalangan progressif yang menekankan aspek rehabilitasi dan konseling pra-nikah. Ibrahim dan Fatimah (2023) berargumen bahwa pembatalan nikah sebaiknya menjadi opsi terakhir setelah upaya mediasi dan terapi keluarga. Mereka menyarankan implementasi sistem konseling pra-nikah yang komprehensif untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum akad. Namun, mayoritas fuqaha tetap berpendapat bahwa transparensi adalah prinsip non-negotiable dalam pernikahan Islam, mengingat dampak psikologis dan kesehatan yang dapat ditimbulkan dari penyembunyian fakta penting.
Analisis komparatif dengan sistem hukum keluarga negara-negara Muslim menunjukkan variasi implementasi konsep al-‘uyub al-khafiyyah (cacat-cacat tersembunyi). Di Malaysia, Undang-Undang Keluarga Islam 1984 secara eksplisit mengakui ‘aib tersembunyi sebagai dasar pembatalan nikah. Sementara di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam Pasal 22 memberikan ruang interpretasi yang lebih luas bagi hakim dalam menentukan validitas pembatalan. Berdasarkan analisis kasus-kasus di Pengadilan Agama, mayoritas pembatalan nikah melibatkan ‘aib tersembunyi, dengan signifikan berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan perilaku seksual.
Rekomendasi utama adalah penguatan sistem konseling pra-nikah yang mencakup psychological screening (pemeriksaan psikologis) dan diskusi terbuka tentang riwayat seksual. Lembaga keagamaan perlu mengembangkan panduan praktis tentang batasan privasi versus transparansi dalam hubungan pra-nikah. Selain itu, diperlukan standardisasi kriteria ‘aib tersembunyi yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i (menurut hukum syariat Islam) dan medis, serta pelatihan bagi konselor pernikahan tentang isu-isu kontemporer dalam hubungan intim.
Konsep al-‘uyub al-khafiyyah (cacat-cacat tersembunyi) dalam fiqh munakahat (hukum perkawinan Islam) tetap relevan sebagai mekanisme perlindungan hak dalam pernikahan Islam. Kasus-kasus kontemporer menuntut reinterpretasi yang seimbang antara perlindungan hak individu dan preservasi institusi pernikahan. Penting bagi masyarakat Muslim untuk memahami bahwa transparansi dalam hubungan pra-nikah bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga requirement syar’i (persyaratan menurut hukum syariat) yang menjamin keberlangsungan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah (tenang, penuh cinta, dan kasih sayang).
Penulis adalah mahasaiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Al-Islam.org. (2016). Al-‘Uyub (defects). In The five schools of Islamic law by Muhammad Jawad Mughniyya. https://al-islam.org/five-schools-islamic-law-muhammad-jawad-mughniyya/al-uyub-defects
Al-Islam.org. (2016). Marriage according to the five schools of Islamic law. Muhammad Jawad Mughniyya. https://al-islam.org/marriage-according-five-schools-islamic-law-muhammad-jawad-mughniyya
Islamic Finder. (2024). Marriage in Islam: Rules, regulations and conditions. IslamicFinder.
IslamQA. (2023). Conditions and pillars of marriage in Islam. Islam Question & Answer. https://islamqa.info/en/answers/7989/conditions-and-pillars-of-marriage
IslamWeb. (2024). Annulment of marriage. Fatwa. https://www.islamweb.net/en/fatwa/81422/annulment-of-marriage
IslamWeb. (2024). Conditions of marriage according to the four fiqh schools. Fatwa. https://www.islamweb.net/en/fatwa/86384/conditions-of-marriage-according-to-the-four-fiqh-schools
Republik Indonesia. (1991). Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Pasal 22 tentang Batalnya Perkawinan.
Leave a Reply