Advertisement

Jejak Sang Pembaharu: Abdul Karim Amrulloh, Ayah Dari Buya Hamka

AKTAMEDIA.COM, BUKITTINGGI – Di tanah Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, Agam, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1879, lahirlah seorang bayi yang kelak mengguncang dunia pemikiran Islam di Nusantara. Namanya Abdul Karim Amrulloh, lebih dikenal sebagai Haji Rasul — ayah dari tokoh besar Buya Hamka.

Sejak muda, Abdul Karim telah menunjukkan semangat belajar yang luar biasa. Ia menuntut ilmu agama dari surau ke surau, sebelum akhirnya menunaikan ibadah haji ke Makkah dalam usia muda. Di sana, ia berguru kepada para ulama besar, menyerap ilmu tauhid, tafsir, hadis, dan pemikiran pembaruan Islam dari gerakan Salafiyah.

Sepulang dari Tanah Suci, ia melihat kondisi umat Islam di kampung halamannya begitu tertinggal. Kepercayaan tahayul, bid’ah, dan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam merajalela. Ia pun mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sebuah sekolah agama modern yang menggunakan sistem kelas dan kurikulum seperti lembaga pendidikan formal. Inilah cikal bakal kebangkitan Islam modern di Minangkabau.

Haji Rasul bukan hanya guru. Ia adalah pejuang pemikiran. Dengan gagah berani, ia menantang arus kolot kaum adat yang tidak sepakat dengan pembaruan. Ia berdiri sebaris dengan tokoh-tokoh besar seperti Ahmad Dahlan dan Syeikh Tahir Jalaluddin, mengusung semangat tajdid — pembaruan Islam — dengan pena, mimbar, dan pengajaran.

Namun, perjuangannya tak selalu mudah. Konflik pemikiran kerap membuatnya dijauhi, bahkan oleh sebagian keluarganya sendiri. Rumah tangganya pun goyah, hingga akhirnya berpisah dari istri pertamanya, yang tak lain adalah ibu dari anak sulungnya — Hamka.

Namun dari perpisahan itu, lahirlah tekad kuat pada diri Hamka untuk mengikuti jejak ayahnya. Walau hubungan mereka pernah renggang, Hamka mengakui bahwa darah perjuangan dan intelektual Haji Rasul yang membentuknya menjadi ulama besar di kemudian hari.

Abdul Karim Amrulloh wafat pada tahun 1945, tepat ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ia tak sempat menyaksikan buah dari perjuangannya tumbuh penuh. Tapi warisannya hidup: dalam lembaga pendidikan, dalam semangat pembaruan Islam, dan dalam diri putranya — Buya Hamka, sang ulama besar yang mewarisi semangat sang ayah.

Steven
Author: Steven

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *