AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Fenomena kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan) atau “kumpul kebo” yang semakin meningkat di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur, menimbulkan keprihatinan mendalam terhadap kesehatan mental keluarga yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Sebagaimana dilaporkan CNBC Indonesia, 20 Juli 2025, praktik tinggal bersama tanpa menikah ini kian marak terjadi dengan wilayah Indonesia Timur menjadi kawasan dengan angka kohabitasi tertinggi.
Data terbaru dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 0,6% penduduk Kota Manado, Sulawesi Utara melakukan kohabitasi, dengan mayoritas (83,7%) berpendidikan maksimal SMA dan 53,5% bekerja di sektor informal (pekerjaan tidak tetap). Fenomena ini mencerminkan pergeseran paradigma (kerangka berpikir) sosial yang mengkhawatirkan, dimana institusi pernikahan mulai dipandang sebagai sesuatu yang “terlalu normatif” oleh generasi muda. Penelitian internasional menunjukkan bahwa kohabitasi telah menjadi bagian sentral lanskap keluarga, dengan dua perlima anak-anak diperkirakan tinggal dalam keluarga kohabitasi pada suatu waktu hingga usia 12 tahun (Kennedy & Bumpass, 2008).
Dampak psikologis kohabitasi terhadap kesehatan mental keluarga sangat signifikan dan multidimensional (beragam aspek). Van Hedel et al. (2018) dalam studi longitudinal (penelitian jangka panjang) terhadap 63.077 pria dan 61.101 wanita di Finlandia menemukan bahwa individu yang berkohabitasi memiliki tingkat penggunaan obat psikotropika (obat gangguan kejiwaan) lebih tinggi dibandingkan pasangan menikah sebelum kontrol variabel, mengindikasikan adanya kerentanan kesehatan mental yang lebih tinggi. Ketidakpastian komitmen dalam hubungan kohabitasi menciptakan stres psikologis kronis (berkepanjangan) yang berdampak pada kesejahteraan mental semua anggota keluarga. Data PK21 Indonesia mengonfirmasi temuan ini dengan mencatat bahwa 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik verbal dan 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Anak-anak dalam keluarga kohabitasi menghadapi risiko kesehatan mental yang lebih kompleks dibandingkan anak-anak dari keluarga tradisional. Foran et al. (2022) dalam penelitian longitudinal 10 tahun terhadap 220 keluarga Jerman menemukan bahwa remaja dari orangtua yang berkohabitasi memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala eksternalisasi (perilaku bermasalah yang teramati) seperti perilaku agresif dan antisosial dibandingkan anak dari orangtua menikah. Anak-anak ini juga rentan mengalami gangguan identitas, kebingungan peran dalam struktur keluarga, dan stigma sosial (cap negatif masyarakat) yang dapat memicu depresi dan kecemasan. Thomson et al. (2014) menegaskan bahwa instabilitas (ketidakstabilan) hubungan kohabitasi di berbagai negara menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk perkembangan psikososial (mental dan sosial) anak yang optimal.
Perempuan dalam hubungan kohabitasi menghadapi kerentanan psikologis berlapis (bertingkat) yang sering terabaikan dalam diskusi publik. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, perempuan mengalami ketidakpastian finansial dan emosional yang berkepanjangan, meningkatkan risiko gangguan mood (suasana hati) dan kecemasan. Amato (2000) menekankan bahwa struktur keluarga non-tradisional sering kali dikaitkan dengan hasil yang kurang menguntungkan untuk kesejahteraan psikologis, terutama bagi perempuan yang menanggung beban emosional dan praktis yang tidak proporsional (tidak seimbang). Situasi ini diperburuk oleh minimnya dukungan sosial dan legal (hukum) yang tersedia bagi keluarga kohabitasi di Indonesia.
Mengatasi krisis kesehatan mental keluarga kohabitasi memerlukan pendekatan holistik (menyeluruh) dan multisektoral (melibatkan berbagai sektor) yang melibatkan pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Pertama, diperlukan program edukasi (pendidikan) kesehatan mental yang komprehensif (menyeluruh) untuk meningkatkan literasi (pemahaman) masyarakat tentang dampak psikologis kohabitasi. Kedua, sistem layanan kesehatan mental perlu diperkuat dengan menyediakan konseling keluarga yang aksesible (mudah diakses) dan terjangkau. Ketiga, reformasi (perubahan) kebijakan sosial yang memberikan perlindungan legal minimal bagi keluarga kohabitasi, khususnya untuk perlindungan anak dan hak-hak perempuan. Keempat, program intervensi (campur tangan) dini untuk mengidentifikasi dan menangani masalah kesehatan mental pada anak-anak dari keluarga kohabitasi.
Fenomena kohabitasi di Indonesia bukan sekadar isu moral, tetapi krisis kesehatan mental keluarga yang membutuhkan respons sistematis (teratur dan terencana) dan berbasis evidensi (berdasarkan bukti ilmiah). Mengabaikan dampak psikologis kohabitasi berarti mengabaikan kesejahteraan generasi masa depan Indonesia. Saatnya semua stakeholder (pemangku kepentingan) berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem (sistem lingkungan) dukungan yang komprehensif bagi kesehatan mental keluarga Indonesia, terlepas dari struktur keluarga yang mereka pilih.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Amato, P. R. (2000). The consequences of divorce for adults and children. Journal of Marriage and Family, 62(4), 1269-1287. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2000.01269.x
Foran, H. M., Mueller, J., Schulz, W., & Hahlweg, K. (2022). Cohabitation, relationship stability, relationship adjustment, and children’s mental health over 10 years. Frontiers in Psychology, 12, 746306. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.746306
Kennedy, S., & Bumpass, L. L. (2008). Cohabitation and children’s living arrangements: New estimates from the United States. Demographic Research, 19, 1663-1692. https://doi.org/10.4054/DemRes.2008.19.47
Thomson, E., Lappegård, T., Carlson, M., Evans, A., & Gray, E. (2014). Childbearing across partnerships in Australia, the United States, Norway, and Sweden. Demography, 51(2), 485-508. https://doi.org/10.1007/s13524-013-0273-6
van Hedel, K., Martikainen, P., Moustgaard, H., & Myrskylä, M. (2018). Cohabitation and mental health: Is psychotropic medication use more common in cohabitation than marriage? SSM – Population Health, 4, 244-253. https://doi.org/10.1016/j.ssmph.2018.01.001
Leave a Reply