Advertisement

Revolusi Tes DNA Guncang Hukum Islam: Nasab Anak Terancam?

AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Perkembangan teknologi DNA telah membawa revolusi dalam sistem pembuktian nasab anak, namun penerapannya dalam hukum keluarga Islam masih menimbulkan perdebatan akademis yang mendalam terkait kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah. Kasus terkini yang dilaporkan Detik.com pada 17 Juli 2025 mengenai persetujuan tes DNA antara Lisa Mariana dan Ridwan Kamil menunjukkan urgensi pembahasan ini dalam konteks praktik peradilan Indonesia.

https://news.detik.com/berita/d-8016716/kubu-lisa-mariana-klaim-permintaan-tes-dna-ridwan-kamil-dikabulkan-bareskrim

Problematika penetapan nasab (garis keturunan) anak menjadi salah satu isu fundamental dalam hukum keluarga Islam, terutama dalam konteks masyarakat modern yang menghadapi kompleksitas hubungan sosial. Secara tradisional, Islam telah menetapkan mekanisme yang jelas untuk menentukan nasab melalui institusi pernikahan yang sah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis yang menyatakan “al-walad li al-firash” (anak dinisbahkan kepada pemilik ranjang/tempat tidur yang sah). Namun, realitas kontemporer menunjukkan bahwa kasus-kasus sengketa nasab semakin kompleks dan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam kerangka maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah).

Dalam perspektif hukum Islam klasik, penetapan nasab anak didasarkan pada tiga pilar utama: pernikahan yang sah (zawaj sahih), persangkaan kuat (zann ghalib), dan tidak adanya pengingkaran dari suami (la yunkar). Namun, studi kontemporer menunjukkan bahwa penggunaan teknologi DNA sebagai alat bukti dalam penetapan nasab telah mendapat legitimasi dari berbagai ulama, dengan catatan bahwa penggunaannya harus memenuhi prinsip-prinsip kemaslahatan (kebaikan/kepentingan umum). Penelitian Shabana (2012) menegaskan bahwa tes DNA dapat diterima sebagai qarinah qawiyyah (indikasi kuat/petunjuk yang menguat) dalam sistem pembuktian Islam, selama tidak digunakan untuk merusak institusi keluarga yang telah mapan dan tetap mengutamakan prinsip perlindungan progeni atau hifz an-nasl (penjagaan keturunan).

Dari sudut pandang praktik peradilan Indonesia, Pengadilan Agama telah mulai mengintegrasikan hasil tes DNA sebagai alat bukti pendukung dalam perkara penetapan nasab. Studi yang dilakukan oleh Shariff et al. (2019) terhadap praktik peradilan syariah di Asia Tenggara menunjukkan bahwa penggunaan tes DNA dalam konteks penetapan nasab masih menghadapi tantangan konseptual dan procedural yang signifikan. Hal ini menunjukkan adanya evolusi dalam interpretasi hukum Islam yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi modern, namun tetap mempertahankan esensi perlindungan terhadap institusi keluarga dan prinsip kehati-hatian dalam menentukan nasab.

Analisis mendalam terhadap yurisprudensi (kumpulan putusan pengadilan) menunjukkan bahwa terdapat inkonsistensi dalam penerapan tes DNA sebagai alat bukti. Beberapa putusan menunjukkan bahwa tes DNA dianggap sebagai bukti yang bersifat zhanni (dugaan kuat namun tidak mutlak), sementara yang lain menganggapnya sebagai bukti yang mendekati qath’i (pasti/definitif). Perbedaan ini mencerminkan kompleksitas dalam mengharmonisasikan antara prinsip-prinsip hukum Islam dengan kemajuan teknologi modern (Yilmaz, 2017). Studi dari Fadel (2022) menunjukkan bahwa pendekatan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah) memberikan kerangka yang lebih fleksibel dalam menilai legitimasi penggunaan teknologi DNA, dengan menekankan pada aspek perlindungan progeni dan pencegahan madharat (kerusakan/bahaya).

Untuk menjembatani kesenjangan antara hukum Islam dan teknologi modern, diperlukan formulasi yang lebih sistematis dalam penggunaan tes DNA sebagai alat bukti. Pertama, perlu disusun pedoman yang jelas mengenai kapan dan bagaimana tes DNA dapat digunakan dalam penetapan nasab, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip maslahah (kemaslahatan) dan la dharar wa la dhirar (tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya). Kedua, pengembangan fatwa (keputusan hukum Islam) yang lebih komprehensif dari lembaga-lembaga otoritatif untuk memberikan kepastian hukum bagi para praktisi peradilan. Ketiga, peningkatan kapasitas hakim dalam memahami aspek teknis dan syar’i (sesuai syariah) dari penggunaan teknologi DNA, sebagaimana direkomendasikan oleh Islamic Fiqh Academy (Akademi Fikih Islam) tahun 2002 yang menekankan perlunya kehati-hatian ekstrem dalam menggunakan tes DNA untuk penelusuran nasab.

Kedudukan tes DNA dalam penetapan nasab anak menurut hukum keluarga Islam sesungguhnya dapat diterima sebagai instrumen pendukung yang sah, selama penggunaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan tetap mengutamakan kemaslahatan umat. Praktik peradilan Indonesia perlu terus dikembangkan dengan pendekatan yang lebih holistik, yang mengintegrasikan antara nilai-nilai syariah dengan kemajuan teknologi modern untuk menciptakan sistem hukum yang berkeadilan dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Fadel, M. (2022). DNA evidence and the Islamic law of paternity in light of maqāṣid al-sharīʿa. The Muslim World, 112(4), 512-538. https://doi.org/10.1111/muwo.12441

Islamic Fiqh Academy. (2002). Resolution on genetic fingerprinting and its legitimate uses. Majallat al-Majmaʿ al-Fiqhī al-Islāmī, 13(15), 478-481.

Shabana, A. (2012). Paternity between law and biology: The reconstruction of the Islamic law of paternity in the wake of DNA testing. Zygon: Journal of Religion and Science, 47(1), 214-239. https://doi.org/10.1111/j.1467-9744.2011.01246.x

Shabana, A. (2013). Law and ethics in Islamic bioethics: Nonmaleficence in Islamic paternity regulations. Zygon: Journal of Religion and Science, 48(3), 709-731. https://doi.org/10.1111/zygo.12041

Shabana, A. (2014). Islamic law of paternity between classical legal texts and modern contexts: From physiognomy to DNA analysis. Journal of Islamic Studies, 25(1), 1-32. https://doi.org/10.1093/jis/ett038

Shariff, A. A. M., Rahman, M. A., & Rajamanickam, R. (2019). Admissibility of DNA evidence in Malaysian Syariah courts: Setting the right course. CLJ-Shariah Reports, 2019(1), i-xxvi.

Yilmaz, I. (2017). Denial of paternity by DNA fingerprint test in Islamic family law. Cumhuriyet Ilahiyat Dergisi-Cumhuriyet Theology Journal, 21(2), 851-882. https://doi.org/10.18505/cuid.356846

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *