Advertisement

SUTAN SYAHRIR: Negarawan Muda, Penulis Senyap, dan Arsitek Demokrasi Indonesia

.AKTAMEDIA.COM, Pekanbaru – 5 Juli 2025 – Dalam riuhnya sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terdapat seorang tokoh yang tidak lantang berorasi, tidak menonjol secara populis, namun jejaknya begitu dalam dan cemerlang. Ia adalah Sutan Syahrir – seorang intelektual muda, perintis demokrasi Indonesia, dan Perdana Menteri pertama Republik Indonesia yang tak hanya berjuang di medan politik, tetapi juga di gelanggang pemikiran.

Syahrir bukan sekadar politisi. Ia adalah pemikir tajam, idealis yang bersih dari pragmatisme politik, serta tokoh revolusioner yang lebih memilih dialog daripada kekerasan. Dalam usia 36 tahun, ia dipercaya memimpin pemerintahan Indonesia saat dunia belum sepenuhnya mengakui kedaulatan bangsa ini.

Siapa sebenarnya Sutan Syahrir? Dan bagaimana kontribusinya dalam perjalanan menuju dan setelah kemerdekaan Indonesia?


Latar Belakang dan Pendidikan

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909, dari keluarga Minangkabau yang terpelajar. Ayahnya adalah jaksa tinggi di Medan, yang menjamin Syahrir pendidikan terbaik. Ia mengenyam pendidikan di HBS (Hogere Burger School) di Bandung, kemudian melanjutkan studi hukum dan filsafat di Universitas Amsterdam dan kemudian ke Leiden, Belanda.

Di Eropa, Syahrir aktif dalam Perhimpunan Indonesia, tempat ia bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta. Namun, dibanding Hatta yang fokus pada ekonomi-politik, Syahrir lebih menekuni filsafat, sastra, dan sosialisme humanis. Ia adalah penyerap pemikiran Eropa seperti Rousseau, Marx, Nietzsche, Trotsky, hingga Gandhi, yang memengaruhi pandangan politiknya yang idealistik namun moderat.


Kembali ke Indonesia dan Penjara Politik

Sekembalinya ke tanah air pada awal 1930-an, Syahrir aktif dalam gerakan pendidikan dan politik. Ia menjadi guru, aktivis, dan penulis. Bersama Hatta, ia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), sebuah organisasi politik yang berbeda dari PNI lama yang lebih radikal.

Karena aktivitasnya yang menentang kolonialisme, Syahrir ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Banda Neira bersama Hatta selama lebih dari satu dekade (1934–1942). Di sana, ia memperdalam bacaannya, mengasah tulisan-tulisannya, dan memperkuat keyakinannya bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa berdiri di atas demokrasi dan keadilan sosial, bukan kekerasan semata.


Masa Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan

Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Syahrir menolak berkolaborasi dengan militer Jepang. Ia justru aktif di bawah tanah, membangun jaringan perlawanan sipil dan menyebarkan propaganda anti-fasis. Sikap ini menjadikan Syahrir sebagai salah satu tokoh yang dipercaya rakyat, terutama setelah Jepang mulai kehilangan kekuasaan di akhir Perang Dunia II.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, Syahrir adalah salah satu tokoh yang mendorong agar kemerdekaan diproklamasikan secara cepat dan tanpa campur tangan Jepang. Ia bahkan sempat berselisih tajam dengan Bung Karno karena dinilai terlalu kompromis terhadap Jepang.


Perdana Menteri Pertama dan Jalan Diplomasi

Pada 14 November 1945, Presiden Soekarno menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia dalam sistem parlementer. Ia dipilih karena diyakini dapat diterima oleh masyarakat internasional dan membawa Indonesia masuk dalam komunitas global.

Sebagai Perdana Menteri, Syahrir memimpin pemerintahan dalam masa paling genting: agresi militer Belanda, konflik internal, dan belum adanya pengakuan internasional terhadap kedaulatan RI. Ia memilih jalur diplomasi dan kompromi, meski sering dikritik karena tidak “revolusioner.”

Syahrir memimpin berbagai perundingan penting, seperti Perundingan Linggarjati (1946) dengan Belanda. Meskipun hasilnya belum ideal, namun perundingan itu membuka pintu pengakuan internasional terhadap eksistensi Republik Indonesia.


Gugatan terhadap Otoritarianisme

Meski pernah berada di dalam pemerintahan, Syahrir tetap teguh dalam prinsipnya tentang demokrasi dan kebebasan individu. Ia kerap mengkritik arah politik Soekarno yang makin otoriter dan sentralistik. Dalam tulisannya yang terkenal, “Renungan Indonesia Merdeka”, Syahrir menyuarakan keresahan tentang elite politik yang lupa pada rakyat.

Ia menentang model kekuasaan populis tanpa kontrol rakyat, dan percaya bahwa demokrasi bukan hanya sistem, tapi juga kebudayaan yang mesti dibangun sejak dini. Ini membuatnya tak sejalan dengan banyak tokoh revolusi lainnya.


Akhir Tragis dan Warisan

Setelah mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri pada 1947, Syahrir sempat memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang beraliran sosialis demokrat. Namun partai ini dibubarkan oleh pemerintah karena dianggap tidak sejalan dengan arah Demokrasi Terpimpin.

Pada 1962, Syahrir ditangkap karena dituduh terlibat dalam “komplotan makar,” walau tuduhan itu tidak pernah dibuktikan. Dalam kondisi kesehatan yang terus menurun, ia diizinkan berobat ke luar negeri.

Sutan Syahrir wafat pada 9 April 1966 di Zürich, Swiss. Jenazahnya kemudian dipulangkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.


Sutan Syahrir adalah sosok langka dalam sejarah Indonesia: seorang negarawan muda dengan visi besar, yang tak pernah memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ia adalah pembela demokrasi sejati, di saat banyak tokoh lain terjebak dalam romantisme revolusi.

Pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan-tulisan tajam seperti “Perjuangan Kita” dan “Renungan Indonesia Merdeka” masih relevan hingga kini. Ia mengingatkan bahwa revolusi tanpa nilai-nilai moral hanyalah kekerasan buta.

Syahrir mungkin tidak seekspresif Soekarno, tidak sepopuler Hatta, dan tidak sekeras Tan Malaka. Tapi ia adalah fondasi moral bangsa, seorang negarawan yang mencintai bangsanya bukan karena kekuasaan, tapi karena tanggung jawab sejarah.


📚 Sumber Referensi:

  1. Sutan SyahrirRenungan Indonesia Merdeka, Pustaka Rakyat, 1945
  2. Sutan SyahrirPerjuangan Kita, Indonesia Raya, 1946
  3. Rosihan AnwarSutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, Kompas, 2004
  4. Herbert FeithThe Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, 1962
  5. Tempo PublishingBuku Seri Tokoh: Sutan Sjahrir
  6. Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Pusat Data dan Analisa Tempo
  7. Deliar NoerPartai Sosialis Indonesia dan Perkembangannya, LP3ES
Aditya Baso
Author: Aditya Baso

Newbie

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *