Advertisement

TAN MALAKA: Pejuang dan Bapak Republik yang Terlupakan.

AKTAMEDIA.COM – Pekanbaru, 4 Juli 2025 – Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama-nama seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bung Tomo sering kali mengisi buku pelajaran dan pidato-pidato kenegaraan. Namun ada satu sosok penting yang jejak perjuangannya luar biasa luas, ideologinya mendalam, dan dedikasinya tanpa henti—namun namanya justru kerap disisihkan dari panggung utama sejarah. Ia adalah Tan Malaka, pejuang kemerdekaan, pemikir revolusioner, dan tokoh yang hingga akhir hayatnya berjuang demi republik yang merdeka dan berdaulat.

Tan Malaka adalah sosok kompleks, kontroversial, namun juga jenius. Ia bukan hanya pejuang kemerdekaan, tetapi juga filsuf, pengajar, dan penulis yang gagasannya melintasi batas zaman. Namun mengapa ia kerap terlupakan? Dan apa sebenarnya peran sentral Tan Malaka dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia?


Awal Kehidupan dan Pendidikan

Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Latar belakang keluarganya adalah bangsawan Minangkabau yang religius, namun terbuka terhadap pendidikan Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di tanah Minang, ia melanjutkan ke Kweekschool di Bukittinggi, sebelum akhirnya mendapat beasiswa pemerintah Hindia Belanda untuk belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Guru Pemerintah) di Haarlem, Belanda.

Di negeri Belanda inilah Tan Malaka berkenalan dengan pemikiran sosialisme, marxisme, dan internasionalisme. Ia mulai menyerap ide-ide revolusioner dan melihat ketidakadilan kolonialisme dari sudut pandang global. Ia membaca Marx, Lenin, hingga tokoh-tokoh kiri Eropa, dan menjalin koneksi dengan tokoh pergerakan buruh internasional.


Perjuangan Global untuk Kemerdekaan Indonesia

Setelah kembali ke Indonesia pada 1920-an, Tan Malaka menjadi guru di sekolah-sekolah bumiputra. Namun aktivitasnya tak hanya di ruang kelas. Ia aktif mengorganisasi buruh dan menulis kritik terhadap kolonialisme. Karena aktivitas politiknya, pemerintah Hindia Belanda merasa terancam dan mengasingkannya ke luar negeri.

Tan Malaka menjalani pengasingan selama lebih dari 20 tahun ke berbagai negara: dari Filipina, Burma, Thailand, Jerman, hingga Uni Soviet. Di setiap tempat itu, ia tetap konsisten menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan membangun jaringan internasional.

Ia menulis buku legendaris “Madilog” (Materialisme, Dialektika, dan Logika) yang menjadi fondasi filsafat perjuangan kemerdekaan berbasis rasionalitas dan kebangsaan. Ia juga menulis manifesto politik “Naar de Republiek Indonesië” (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, yang untuk pertama kalinya mengusulkan secara tegas bentuk republik merdeka—jauh sebelum proklamasi 1945 terjadi.


Peran Setelah Kemerdekaan dan Nasib Tragis

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Tan Malaka segera kembali ke tanah air secara diam-diam. Ia kecewa dengan hasil perundingan Linggarjati dan Renville yang menurutnya menguntungkan Belanda. Ia membentuk Persatuan Perjuangan, kelompok yang menolak segala bentuk kompromi dengan penjajah.

Ia berseberangan dengan Soekarno-Hatta dalam pendekatan perjuangan. Jika Soekarno memilih diplomasi, Tan Malaka ingin kemerdekaan diraih dengan totalitas. Pandangan radikal ini menyebabkan ia ditangkap dan dijauhkan dari panggung kekuasaan.

Namun, pada 1946, ketika Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda, Tan Malaka sempat dipercaya menjadi Ketua Pemerintahan Darurat oleh laskar-laskar republik di luar Jawa. Ia tetap memperjuangkan kemerdekaan dengan senjata, namun posisinya terus melemah karena tekanan dari berbagai pihak.

Puncaknya terjadi pada Februari 1949. Tan Malaka ditangkap oleh pasukan Divisi Siliwangi di Kediri, Jawa Timur. Tanpa proses pengadilan, ia dieksekusi secara diam-diam, dan keberadaan makamnya baru terungkap puluhan tahun kemudian.


Pengakuan yang Terlambat

Barulah pada tahun 1963, Presiden Soekarno menyebut Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional Indonesia secara resmi. Namun setelah Orde Baru naik, nama Tan Malaka kembali dipinggirkan karena afiliasi ideologinya yang dianggap terlalu “kiri” dan dekat dengan komunisme.

Padahal, menurut banyak sejarawan seperti Harry Poeze dan Benedict Anderson, Tan Malaka tidak pernah menjadi bagian dari PKI pasca-1925. Ia justru menolak otoritarianisme dan percaya pada kemerdekaan yang bersifat kerakyatan. Sayangnya, sejarah dikendalikan oleh penguasa, dan tokoh-tokoh seperti Tan Malaka kerap terhapus dari buku pelajaran.


 

Tan Malaka bukan sekadar sosok historis, tetapi simbol perjuangan yang radikal, murni, dan ideologis. Ia menolak kompromi dengan penjajah, bersikukuh pada prinsip kedaulatan rakyat, dan hidup dalam pengasingan demi keyakinannya akan republik yang bebas dari kolonialisme dan feodalisme.

Kini, seiring terbukanya akses informasi dan revisi sejarah, nama Tan Malaka mulai dihidupkan kembali. Buku-bukunya dipelajari ulang, dan perjuangannya menjadi inspirasi generasi muda untuk berpikir kritis dan melawan ketidakadilan.

Tan Malaka pernah berkata, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” Kalimat itu menjadi warisan pemikiran yang relevan sepanjang masa. Ia membuktikan bahwa pemuda dari kampung kecil di Sumatera Barat bisa menjadi tokoh revolusioner di panggung dunia.

Tan Malaka adalah wajah lain dari kemerdekaan Indonesia—yang bukan didapat dengan negosiasi, tapi diperjuangkan dengan darah, ide, dan pengorbanan panjang yang kadang tak dikenang.

 


📚 Sumber Historis dan Akademik Utama:

  1. Harry A. Poeze – Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
    • Ini adalah karya ilmiah terlengkap mengenai perjalanan hidup dan perjuangan Tan Malaka. Poeze, sejarawan Belanda, meneliti arsip-arsip di Belanda, Indonesia, dan negara lain.
    • Ia menyusun biografi Tan Malaka dalam 4 jilid setebal ribuan halaman.
    • Informasi tentang pengasingan Tan Malaka, peran dalam Persatuan Perjuangan, dan eksekusi di Kediri berasal dari penelitian ini.
  2. Tan Malaka – Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika)
    • Buku filsafat dan politik yang ditulis oleh Tan Malaka sendiri saat berada di pengasingan. Digunakan untuk mengilustrasikan ide-ide rasionalisme revolusioner dan kritik kolonialisme.
    • Madilog banyak dikutip sebagai gagasan pembaruan pemikiran di Indonesia.
  3. Tan Malaka – Naar de Republiek Indonesië (Menuju Republik Indonesia), 1925
    • Salah satu tulisan awal yang secara tegas menyerukan kemerdekaan Indonesia berbentuk republik, jauh sebelum Proklamasi 1945.
  4. Benedict Anderson – Revolusi Pemuda dan tulisan-tulisan lainnya
    • Memberikan pandangan mengenai Tan Malaka sebagai tokoh revolusioner yang sering dikesampingkan oleh sejarah resmi.
    • Anderson juga menilai bahwa Tan Malaka lebih independen secara ideologi dibanding PKI saat itu.
  5. Deliar Noer – Partai Komunis Indonesia: Pemetaan Sejarah dan Gagasan
    • Deliar Noer menegaskan bahwa Tan Malaka bukan bagian dari PKI pasca 1925 dan memiliki jalur perjuangan sendiri yang lebih nasionalis.
  6. Sejarawan Indonesia – Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam
    • Keduanya menekankan pentingnya memasukkan Tan Malaka dalam narasi sejarah nasional dan menyayangkan pengaburan perannya selama Orde Baru.

📑 Dokumen dan Arsip Tambahan:

  • Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963
    • Tentang Penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
  • Artikel Tempo, Historia, Tirto.id, Kompas
    • Untuk penyesuaian informasi populer dan kronologis yang mudah dicerna publik tanpa kehilangan validitas akademis.
Aditya Baso
Author: Aditya Baso

Newbie

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *