AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Pengadilan Tinggi Agama Jakarta membebaskan Paula Verhoeven dari tuduhan nusyuz (durhaka/pembangkangan istri) dengan alasan ketidakpahaman syariat Islam, sebagaimana KapanLagi.com laporkan pada tanggal 2 Juli 2025. Keputusan kontroversial ini memicu perdebatan fundamental tentang prinsip ketidaktahuan sebagai dasar pengampunan dalam hukum keluarga Islam. Pertanyaan kritis muncul: apakah ignorantia juris (ketidaktahuan hukum) dapat menjadi justifikasi untuk mengesampingkan kewajiban syariat dalam institusi perkawinan?
Fenomena juridis ini mencerminkan kompleksitas penerapan hukum Islam di Indonesia. Hakim menghadapi dilema antara ketegasan norma syariat dengan realitas sosio-yuridis (sosial-hukum) masyarakat Muslim yang tidak homogen dalam pemahaman agama. Kasus Paula Verhoeven menjadi preseden (contoh kasus sebelumnya) yang mengkhawatirkan. Hal ini berpotensi menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum keluarga Islam, di mana ketidakpahaman dapat menjadi “kartu bebas” dari tanggungjawab syariat.
Konsep nusyuz dalam hukum Islam telah mengalami evolusi interpretasi yang signifikan. Esensi dasarnya tetap konsisten sebagai bentuk pembangkangan terhadap kewajiban perkawinan. Ayu dan Pangestu (2021) menyatakan bahwa nusyuz dalam konteks kontemporer harus dipahami sebagai ketidakpatuhan istri terhadap suami atau aturan yang telah ditetapkan melalui hubungan perkawinan tanpa sebab yang dibenarkan syariat. Analiansyah dan Nurzakia (2015) menunjukkan bahwa konstruksi makna nusyuz dalam masyarakat Aceh terbentuk dalam tiga kategori: durhaka yang dilakukan suami atau istri, sikap tidak patuh istri terhadap suami, dan ketidaktahuan terhadap istilah nusyuz itu sendiri.
Perspektif yang berbeda dikemukakan oleh Nurlia et al. (2018). Mereka menekankan bahwa nusyuz tidak hanya terbatas pada istri, tetapi juga dapat dilakukan oleh suami yang lalai dalam memenuhi kewajibannya. Pandangan ini sejalan dengan prinsip keadilan bilateral (dua arah) dalam perkawinan Islam yang menekankan reciprocitas (timbal balik) hak dan kewajiban. Van Huis (2019) menunjukkan adanya penurunan mekanisme perceraian tradisional berbasis fiqh (hukum Islam) melalui studinya terhadap praktik peradilan agama di Indonesia. Temuan ini mengindikasikan transformasi paradigma hukum keluarga Islam menuju pendekatan yang lebih kontekstual.
Isu ketidakpahaman syariat sebagai alasan pengampunan menimbulkan paradoks filosofis dalam sistem hukum Islam. Tradisi fikih klasik telah menetapkan prinsip “la yuzir bil jahl” (ketidaktahuan bukan alasan/tidak ada toleransi atas ketidaktahuan) sebagai kaidah fundamental. Konteks sosiologis Indonesia menunjukkan realitas yang lebih kompleks. Fauzi (2023) menegaskan bahwa discretionary power (kewenangan bebas) hakim agama seringkali digunakan untuk mengakomodasi realitas sosial yang tidak selalu sesuai dengan norma tekstual syariat dalam studinya tentang registrasi perkawinan Muslim di Indonesia. Fenomena ini mencerminkan tension (ketegangan) antara legal formalism (formalisme hukum) dengan sociological jurisprudence (yurisprudensi sosiologis) dalam konteks hukum Islam.
Pengampunan berdasarkan ketidakpahaman dapat dianalisis melalui prinsip maslahah (kemaslahatan/kepentingan umum) dari perspektif maqasid syariah (tujuan-tujuan syariat). Abu-Nimer (2013) menekankan bahwa pengampunan dalam Islam harus berorientasi pada pemulihan harmoni sosial dan spiritual, bukan sekadar pelarian dari tanggung jawab hukum dalam kajiannya tentang pengampunan dalam konteks Arab-Islam. Aplikasi prinsip ini dalam kasus nusyuz memerlukan kehati-hatian untuk menghindari relativisme moral yang dapat merusak otoritas syariat.
Studi komparatif menunjukkan bahwa beberapa negara Muslim menghadapi dilema serupa. Asian Society (2017) melaporkan bahwa istri yang dinyatakan nusyuz kehilangan hak nafkah iddah (nafkah masa tunggu), namun tetap berhak atas mut’ah (kompensasi perceraian) di Malaysia. Pendekatan ini menunjukkan konsistensi yang lebih kuat dalam penerapan hukum Islam dibandingkan dengan kasus Indonesia yang memberikan pengampunan total.
Reformulasi kerangka yuridis diperlukan untuk mengatasi problematika ini. Kerangka tersebut harus mengintegrasikan tiga elemen fundamental: pertama, penguatan edukasi hukum Islam bagi seluruh lapisan masyarakat Muslim; kedua, pengembangan guidelines (pedoman) yang jelas bagi hakim agama dalam menangani kasus serupa; dan ketiga, harmonisasi antara hukum positif dengan syariat melalui mekanisme ijtihad kolektif (pemikiran hukum Islam secara bersama-sama). Mutaqin (2018) mengusulkan bahwa reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia harus bersifat transformatif namun tetap mempertahankan authenticity (keaslian) syariat.
Kasus Paula Verhoeven telah membuka kotak Pandora dalam diskursus hukum keluarga Islam Indonesia. Ketidakpahaman syariat tidak dapat dijadikan blanket excuse (alasan menyeluruh) untuk menghindari konsekuensi hukum. Hal ini akan menciptakan moral hazard (risiko moral) dan melemahkan otoritas syariat. Pendekatan yang lebih nuanced (bernuansa/halus) diperlukan. Pendekatan ini harus mengakui kompleksitas realitas sosial namun tetap menjaga integritas normatif hukum Islam. Masa depan sistem peradilan agama Indonesia bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan compassion (belas kasihan) dengan justice (keadilan), mercy (rahmat) dengan accountability (akuntabilitas).
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Abu-Nimer, M. (2013). Forgiveness in the Arab and Islamic contexts. Journal of Religious Ethics, 41(3), 363-385. https://doi.org/10.1111/jore.12025
Analiansyah, & Nurzakia. (2015). Konstruksi makna nusyuz dalam masyarakat Aceh dan dampaknya terhadap perilaku kekerasan dalam rumah tangga (Studi kasus di Kecamatan Ingin Jaya). Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 141-160. https://doi.org/10.22373/equality.v5i2.5602
Asian Society. (2017). Islamic family law and justice for Muslim women. Asia Society Policy Report. https://asiasociety.org/islamic-family-law-and-justice-muslim-women
Ayu, R. F., & Pangestu, R. (2021). Modernitas nusyuz: Antara hak dan KDRT. Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 12(1), 73-92. https://doi.org/10.21043/yudisia.v12i1.8711
Fauzi, M. L. (2023). Aligning religious law and state law: Negotiating legal Muslim marriage in Pasuruan, East Java. Brill.
Mutaqin, Z. Z. (2018). Culture, Islamic feminism, and the quest for legal reform in Indonesia. Asian Journal of Women’s Studies, 24(4), 423-445. https://doi.org/10.1080/12259276.2018.1524549
Nurlia, A., Nargis, N., & Nurlaili, E. (2018). Nusyuz suami terhadap istri dalam perspektif hukum Islam. Pactum Law Journal, 1(4), 85-98.
van Huis, S. C. (2019). Khul’ over the longue durée: The decline of traditional fiqh-based divorce mechanisms in Indonesian legal practice. Islamic Law and Society, 26(1-2), 58-82. https://doi.org/10.1163/15685195-00254A05
Leave a Reply