AKTAMEDIA.COM, PADANG – Minangkabau, sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia, dikenal memiliki sistem adat yang kaya dan kompleks. Salah satu peribahasa adat yang sangat mendalam dalam kehidupan orang Minang adalah “Adat Lamo Pusako Usang”, yang berarti adat lama yang diwariskan turun-temurun, meskipun usang oleh waktu, namun tetap menjadi pusaka yang dijaga dan dihormati. Peribahasa ini menandai komitmen kuat masyarakat Minangkabau untuk mempertahankan nilai-nilai leluhur meskipun zaman berubah.
Di dalam struktur masyarakat Minangkabau, adat ini hidup dalam dua bentuk kelarasan besar: Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Kedua kelarasan ini merupakan dua sistem pemerintahan adat yang berakar pada prinsip dan falsafah yang berbeda namun saling melengkapi.
Makna Adat Lamo Pusako Usang
Peribahasa ini bukan hanya simbol kultural, tetapi juga filosofi kehidupan. Adat lamo berarti aturan atau nilai-nilai adat yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pusako usang menggambarkan sesuatu yang diwarisi dari leluhur, yang mungkin sudah tua dalam bentuk lahirnya, namun tetap bernilai tinggi dan tidak boleh ditinggalkan.
Konsep ini menunjukkan:
Keteguhan menjaga adat sebagai identitas kultural.
Ketaatan terhadap warisan leluhur sebagai bentuk penghormatan kepada masa lalu.
Ketahanan budaya dalam menghadapi perubahan zaman.
Kelarasan dalam Adat Minangkabau
1. Koto Piliang: Aristokratis dan Hierarkis
Kelarasan Koto Piliang dibentuk oleh Datuk Ketemanggungan. Kelarasan ini menerapkan sistem pemerintahan yang bersifat aristokratis, yaitu berdasarkan tingkatan dan struktur yang jelas. Falsafah utama yang menjadi sandaran sistem ini adalah:
> “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”
“Syarak mangato, adat mamakai”
Dalam sistem Koto Piliang, pengambilan keputusan dilakukan oleh pemimpin-pemimpin adat yang memiliki otoritas, dengan penekanan pada tatanan sosial yang terstruktur. Pemimpin adat memiliki wibawa yang tinggi dan menjadi pusat dalam segala bentuk perundingan adat.
Karakteristik Koto Piliang:
Pemerintahan adat berjenjang naik, bertangga turun.
Lebih bersifat top-down.
Masyarakat tunduk pada struktur adat yang kuat.
2. Bodi Caniago: Demokratis dan Musyawarah
Kelarasan Bodi Caniago diasaskan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kelarasan ini menekankan sistem demokrasi adat, di mana keputusan diambil melalui musyawarah dan mufakat bersama. Falsafah utamanya adalah:
> “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik”
(Bulatan air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat)
Dalam Bodi Caniago, tidak ada dominasi satu tokoh adat secara absolut. Semua keputusan besar disepakati bersama melalui rapat suku atau nagari, dengan menghormati suara semua unsur masyarakat.
Karakteristik Bodi Caniago:
Pemerintahan adat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Masyarakat lebih setara dalam pengambilan keputusan.
Adat Lamo Pusako Usang dalam Dua Kelarasan
Meskipun berbeda sistem, baik Koto Piliang maupun Bodi Caniago sama-sama menjunjung Adat Lamo Pusako Usang sebagai landasan hidup dan aturan sosial. Perbedaan cara pengelolaan tidak menghapus kesamaan nilai, yaitu menjaga marwah adat dan kesinambungan budaya.
Keduanya:
Menjaga adat dalam tatanan keluarga, kaum, dan nagari.
Melestarikan upacara adat seperti batagak penghulu, pernikahan, kematian, dan musyawarah kaum.
Memelihara nilai malu, rasa hormat, dan musyawarah.
Relevansi di Era Modern
Saat ini, banyak tantangan yang dihadapi adat Minangkabau, seperti urbanisasi, globalisasi, dan pengaruh budaya luar. Namun, semangat Adat Lamo Pusako Usang masih hidup, terutama di kampung-kampung yang menjaga struktur adatnya.
Banyak nagari yang:
Menyusun peraturan nagari berbasis adat.
Mengaktifkan lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Menghidupkan kembali musyawarah adat dan proses pemilihan penghulu.
“Adat Lamo Pusako Usang” adalah lambang dari kekuatan identitas budaya Minangkabau yang tetap eksis hingga kini. Di bawah dua kelarasan besar, Koto Piliang dan Bodi Caniago, nilai-nilai adat yang diwariskan tetap menjadi pedoman hidup masyarakat. Perbedaan sistem hanyalah variasi bentuk, bukan perbedaan nilai.
Di tengah perubahan zaman, nilai ini terus menjadi tonggak pertahanan budaya dan jati diri orang Minangkabau, sekaligus menjadi inspirasi bahwa warisan lama tidak harus ditinggalkan, tapi justru dijaga sebagai kekayaan yang tak ternilai.
Leave a Reply