AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU – Minggu 29 Juni 2025 terbitnya edaran terkait kenaikan tarif ojek online (ojol) di Pekanbaru sebesar 8 hingga 15 persen menuai banyak keluhan. Bukan hanya karena ongkos jadi lebih mahal, tetapi karena banyak masyarakat merasa biaya transportasi kini memakan porsi yang terlalu besar dari pendapatan mereka. Seorang warga bahkan mengatakan, “habislah gaji buat bayar ongkos saja.” (dalam artikel Kompas, 2025). Ini bukan sekadar keluhan ekonomi, melainkan menjadi sinyal sosial yang penting untuk kita pahami.
Dalam kacamata Sosiologi, tarif trasnsportasi bukan hanya urusan angka saja, melainkan tentang keadilan akses, relasi antar kelas sosial, dan ketimpangan struktur kota. Masyarakat kelas pekerja, ibu rumah tangga, mahasiswa, hingga pedagang kecil saat ini sangat bergantung pada layanan ojol untuk mobilitas harian. Ketika ongkos naik, kelompok-kelompok inilah yang paling terdampak karena mereka tidak punya pilihan transportasi lain yang nyaman, aman, dan terjangkau.
Sosiolog kota seperti David Harvey mengingatkan kita bahwa ruang kota terbentuk dari relasi kuasa. Dalam konteks ini, aplikasi ojol, pemerintah, pengemudi, dan pengguna membentuk sebuat ekosistem sosial yang saling tarik-menarik. Saat tarif naik tanpa kajian dampak sosial yang menyeluruh, maka yang paling lemah dalam struktur itulah yang akan terkena dampaknya.
Kita juga perlu melihat apakah kebijakan ini berpotensi memperluan ketimpangan? Bagi pengemudi, tarif naik bisa saja tampak menguntungkan, tapi jika potongan dari aplikasi tetap tinggi (misal tetap mencapai 20-30%), maka penghasilan mereka sebenarnya tidak bertambah signifikan. Sebaliknya, pelanggan justru mengurani penggunaan layanan, yang dalam jangka panjang juga akan merugikan pengemudi.
Kenaikan tarif ojol ini juga mengungkapkan lapisan-lapisan kelas sosial yang ada di Pekanbaru. Bagi sebagian masyarakat kelas menengah atas yang memiliki kendaraan pribai, perubahan ini mungkin tidak begitu terasa. Namun, bagi pekerja harian, buruh, mahasiswa Rantau, dan para ibu rumah tangga yang mobilitasnya menggunakan ojol, tarif ojol naik berarti harus memotong anggaran kebutuhan lain seperti makan, pulsa listrik, atau kebutuhan harian lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebijakan transportasi yang tidak sensitif terhadap struktur kelas justru dapat memperdalam ketimpangan sosial antarwarga kota.
Lebih dari itu, kita perlu mewaspadai efek domino sosial dari kebijakan ini. Ketika ongkos transportasi naik, maka biaya hidup pun ikut naik. UMKM yang mengandalkan layanan antarpun bisa terdampak. Pada akhirnya, keputusan yang terlihat “ekonomis” bisa mengganggu keseimbangan sosial perkotaan.
Dari sini, kebijakan transportasi seharusnya dilihat sebagai bagian dari kebijakan sosial. Pemerintah perlu lebih terbuka dalam menyampaikan data dan alasan dibalik kenaikan tarif. Lebih dari sekadar urusan aplikasi digital dan hitung-hitungan jarak, ojek online kini telah menjadi bagian dari system hidup masyarakat urban. Ia buka hanya sarana transportasi, tetapi juga ruang kerja informal bagi ribuan orang. Maka, keputusan soal tarif semestinya tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui pendekatan partisipatif yang melibatkan semua pihak: pengguna, pengemudi, dan masyarakat sipil, ini penting agar kebijakan tidak timpang dan menimbulkan resistensi sosial.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa transportasi adalah penopang utama dalam mobilitas sosial. Ketika ongkos makin mahal, maka akses masyarakat terhadap pendidikan, pekerjaan, hingga layanan kesehatan bisa jadi terhambat. Angka kemacetan juga bisa menjadi semakin tinggi, jika masyarakat pada akhirnya lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Ini sejalan dengan pandangan Pierre Boudieu bahwa akses sumber daya, termasuk transportasi adalah bentuk modal yang memengaruhi posisi sosial seseorang. Jika akses ini tidak merata, maka kesenjangan sosial akan makin mengeras.
Pekanbaru adalah kota yang sedang bertumbuh, tapi pertumbuhan ini harus dibarengi dengan kepekaan sosial. Transportasi yang adil bukan berarti semuanya gratis, tapi memastikan bahwa semua orang, apapun latar belakangan, bisa bergerak, bekerja, dan hidup dengan layak.
Dalam jangka panjang, Pekanbaru butuh sistem transportasi publik yang lebih efisien, terintegrasi, dan ramah pengguna. Ketergantungan pada ojol adalah gejala dari minimnya pilihan transportasi umum yang efisien. Jika kota ini ingin tumbuh secara berkelanjutan dan setara, maka Pembangunan fisik harus diimbangi dengan kebijakan sosial yang inklusif, di mana hak semua warga untuk bergerak dan hidup layak dapat dijamin.
Oleh : Rufaidah Syafawani, M.A
Dosen Sosiologi, FISIP UNRI
Daftar Rujukan:
Harvey, D. (2012). Rebel Cities: Frim the Right to the City to the Urban Revolution. Verso Books.
Idon Tanjung, F. A. (2025, 07 01). Kompas.com. Tarif ojol naik, konsumen di Pekanbaru: Habis gaji buat bayar ongkos saja: https://regional.kompas.com/read/2025/07/01/113125178/tarif-ojol-naik-konsumen-di-pekanbaru-habislah-gaji-buat-bayar-ongkos-saja
Ihsanuddin. (2025, 07 01). Kompas.com. Tarif ojol naik hingga 15 persen, konsumen berpotensi beralih ke kendaraan pribadi: https://regional.kompas.com/read/2025/07/01/163321078/tarif-ojol-naik-hingga-15-persen-konsumen-berpotensi-beralih-ke-kendaraan
Leave a Reply