AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Kesalahan prosedur administratif (tata kelola pemerintahan) dalam sistem pernikahan Islam menimbulkan dampak psikologis yang mendalam terhadap martabat dan kesehatan mental calon pengantin. Hal ini terbukti dalam kasus yang terjadi di Bireuen, Aceh, di mana seorang calon pengantin berinisial F mengalami penolakan akad nikah akibat hasil tes kehamilan yang keliru. Kasus ini dilaporkan Kompas.com pada 28 Juni 2025, menunjukkan bahwa F menggugat KUA dan Puskesmas Samalanga ke Pengadilan Negeri Bireuen atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait hasil tes kehamilan yang dinyatakan keliru.
Pernikahan dalam tradisi Islam merupakan sebuah kontrak suci yang melibatkan dimensi spiritual (kerohanian), sosial (kemasyarakatan), dan legal (hukum) secara bersamaan. Al-Sharmani (2018) menjelaskan bahwa konstruksi pernikahan dalam tradisi interpretatif (penafsiran) Islam tidak hanya mencakup aspek hukum semata, melainkan juga dimensi etis (nilai moral) yang fundamental (mendasar) terkait martabat dan nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, ketika prosedur administratif mengalami kesalahan, dampaknya tidak terbatas pada aspek legal saja, namun meluas hingga dimensi psikologis yang dapat merusak integritas (keutuhan) pribadi dan sosial individu. Konteks ini menunjukkan betapa pentingnya akurasi dalam setiap tahapan prosedur administratif pernikahan.
Berdasarkan kerangka (framework) stigma kesehatan yang dikembangkan oleh Stangl et al. (2019), kesalahan institusional (kelembagaan) dapat memicu proses stigmatisasi (pemberian cap negatif) yang berdampak sistemik (menyeluruh) pada identitas sosial individu. Dalam konteks kasus Bireuen, hasil tes kehamilan yang keliru dari Puskesmas Samalanga telah menciptakan stigma yang merusak reputasi (nama baik) calon pengantin perempuan secara mendalam. Penelitian menunjukkan bahwa stigma terkait kesehatan reproduksi (kesuburan) memiliki dampak psikologis yang lebih parah dibandingkan kondisi medis itu sendiri, karena menyerang konsep diri dan nilai sosial individu (Corrigan et al., 2014). Kondisi ini menciptakan trauma berlapis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan korban.
Sejalan dengan temuan tersebut, proses administrasi pernikahan di Indonesia melalui Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki peran yang sangat krusial (penting) dalam legitimasi (pengesahan) pernikahan Islam. Namun demikian, ketika KUA menolak menikahkan pasangan berdasarkan informasi medis yang keliru, situasi ini menciptakan trauma berlapis yang kompleks (rumit). Pertama, trauma psikologis akibat stigmatisasi dari hasil tes yang salah. Kedua, trauma penolakan institusional yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Clement et al. (2015) dalam systematic review (tinjauan sistematis) mereka menemukan bahwa stigma memiliki efek negatif moderat (sedang) terhadap pencarian bantuan dan partisipasi (keikutsertaan) dalam layanan, yang dalam konteks ini dapat menghambat akses terhadap hak fundamental (mendasar) untuk menikah.
Dampak psikologis dari kesalahan prosedur administratif ini dapat dikategorikan dalam beberapa dimensi yang saling berkaitan. Dimensi intrapersonal (dalam diri) meliputi penurunan harga diri, kecemasan, dan depresi akibat shame (rasa malu mendalam) dan self-stigma (stigma diri) yang dialami oleh korban. Dimensi interpersonal (antar pribadi) mencakup kerusakan hubungan dengan keluarga, calon pasangan, dan komunitas sosial yang lebih luas. Sementara itu, dimensi struktural (sistem) melibatkan hilangnya kepercayaan terhadap institusi pelayanan publik dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Thornicroft et al. (2022) dalam Komisi Lancet menekankan bahwa stigma menciptakan “double jeopardy” (bahaya ganda) – yaitu dampak dari kondisi primer dan konsekuensi parah dari stigmatisasi itu sendiri. Dalam perspektif psikologi Islam, kesalahan prosedur yang merusak martabat individu bertentangan dengan prinsip fundamental karama al-insan (martabat manusia sebagai makhluk mulia) yang ditekankan dalam Al-Qur’an. Penelitian tentang Islamic psychology (psikologi Islam) menunjukkan bahwa konsep shame dalam tradisi Islam berbeda dengan konstruk Western psychology (psikologi Barat), karena terkait dengan dimensi spiritual dan komunal (kemasyarakatan) yang lebih luas (Elzamzamy et al., 2024).
Selain itu, kasus ini juga mengungkap kelemahan sistemik dalam koordinasi antar institusi pelayanan publik yang selama ini kurang mendapat perhatian. Ketidakstandaran prosedur tes kehamilan sebagai syarat pernikahan menunjukkan adanya implementasi (penerapan) kebijakan yang tidak seragam dan berpotensi diskriminatif (pilih kasih) terhadap calon pengantin. Hal ini sejalan dengan temuan Kharlie et al. (2021) tentang reformasi birokrasi pernikahan Islam di Indonesia yang menunjukkan bahwa pendekatan top-down (dari atas ke bawah) belum cukup efektif tanpa disertai inovasi (pembaruan) dan kepemimpinan yang solid di tingkat implementasi. Trauma yang dialami calon pengantin tidak hanya bersifat individual (perorangan), tetapi juga melibatkan kerusakan hubungan dengan komunitas religius (keagamaan) dan identitas spiritual yang fundamental bagi kehidupan Muslim.
Untuk mengatasi dampak psikologis dan mencegah kasus serupa di masa depan, diperlukan pendekatan komprehensif (menyeluruh) yang mencakup beberapa aspek strategis. Pertama, standardisasi (penyeragaman) prosedur tes medis pra-nikah dengan protokol quality control (kendali mutu) yang ketat dan terintegrasi (terpadu). Kedua, implementasi pelatihan sensitivity training (pelatihan kepekaan) bagi petugas KUA tentang dampak psikologis dari setiap prosedur administratif. Ketiga, pengembangan mekanisme complaint handling (penanganan keluhan) dan program restorasi (pemulihan) martabat bagi korban kesalahan prosedur. Keempat, implementasi framework trauma-informed practice (kerangka praktik berdasarkan pemahaman trauma) dalam seluruh rangkaian pelayanan pernikahan. Kelima, peningkatan koordinasi yang lebih efektif antara institusi kesehatan dan keagamaan untuk mencegah miskomunikasi (salah komunikasi). Langkah-langkah ini harus dilaksanakan secara sinergis (saling menguatkan) untuk memastikan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak calon pengantin.
Kesalahan prosedur administratif dalam pernikahan Islam bukan sekadar masalah teknis birokrasi, melainkan isu kompleks yang melibatkan dimensi psikologis, sosial, dan spiritual secara bersamaan. Kasus Bireuen menjadi pembelajaran penting tentang urgensi (kepentingan mendesak) melindungi martabat individu dalam setiap proses administratif yang melibatkan hak fundamental manusia. Sistem pelayanan publik harus dirancang tidak hanya untuk mencapai efisiensi administratif, tetapi juga untuk menjaga dignity (martabat) dan wellbeing (kesejahteraan) psikologis masyarakat yang dilayani. Reformasi menyeluruh dalam prosedur operasional dan peningkatan kualitas training (pelatihan) petugas menjadi imperatif (keharusan) untuk mencegah trauma serupa terulang di masa depan, sehingga pernikahan sebagai ibadah dapat terlaksana dengan penuh martabat dan ketenangan batin.
Daftar Pustaka
Al-Sharmani, M. (2018). Marriage in Islamic interpretive tradition: Revisiting the legal and the ethical. Journal of Islamic Ethics, 2(1-2), 76-96. https://doi.org/10.1163/24685542-12340014
Clement, S., Schauman, O., Graham, T., Maggioni, F., Evans-Lacko, S., Bezborodovs, N., … & Thornicroft, G. (2015). What is the impact of mental health-related stigma on help-seeking? A systematic review of quantitative and qualitative studies. Psychological Medicine, 45(1), 11-27. https://doi.org/10.1017/S0033291714000129
Corrigan, P. W., Druss, B. G., & Perlick, D. A. (2014). The impact of mental illness stigma on seeking and participating in mental health care. Psychological Science in the Public Interest, 15(2), 37-70. https://doi.org/10.1177/1529100614531398
Elzamzamy, K., Bader, R. K., & Bircan, F. B. (2024). Contemporary scholarship on classical Islamic psychology: A scoping review. Journal of Muslim Mental Health, 18(1), 1-28. https://doi.org/10.3998/jmmh.6025
Kharlie, A. T., Fathudin, & Triana, W. (2021). Reforming Islamic marriage bureaucracy in Indonesia: Approaches and impacts. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 59(2), 255-286. https://doi.org/10.14421/ajis.2021.592.255-286
Stangl, A. L., Earnshaw, V. A., Logie, C. H., van Brakel, W., Simbayi, L. C., Barré, I., & Dovidio, J. F. (2019). The Health Stigma and Discrimination Framework: A global, crosscutting framework to inform research, intervention development, and policy on health-related stigmas. BMC Medicine, 17(1), 31. https://doi.org/10.1186/s12916-019-1271-3
Thornicroft, G., Sunkel, C., Alikhon Aliev, A., Baker, S., Brohan, E., El Chammay, R., … & Winkler, P. (2022). The Lancet Commission on ending stigma and discrimination in mental health. The Lancet, 400(10361), 1438-1480. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(22)01470-2
Leave a Reply