AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Dua tradisi filosofis yang terpisah oleh waktu dan ruang—Stoikisme Romawi (aliran filsafat Yunani-Romawi yang menekankan kebijaksanaan dan pengendalian diri) dan Sufisme Islam (dimensi mistik dalam Islam yang menekankan penyucian jiwa dan kedekatan dengan Allah)—ternyata memiliki kesamaan mendalam dalam memandang ujian hidup sebagai instrumen utama pembentukan karakter manusia. Sebagaimana dilaporkan Wisata Viva dalam artikelnya “Seneca: Seperti Permata yang Diasah, Manusia Dibentuk Oleh Ujian” (2024), pemahaman tentang adversitas (kemalangan atau kesulitan hidup) sebagai pembentuk karakter kembali mendapat perhatian dalam diskursus filosofis (wacana atau pembahasan mendalam tentang masalah filosofis) kontemporer. Fenomena konvergensi (pertemuan atau penyatuan dari arah yang berbeda) pemikiran antara Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 M) dari tradisi Stoik dan Jalaluddin Rumi (1207-1273 M) dari tradisi Sufi ini mencerminkan universalitas pengalaman manusia dalam menghadapi penderitaan sebagai katalis (zat atau faktor yang mempercepat proses) transformasi spiritual.
Permasalahan mendasar yang dihadapi kedua pemikir ini identik: bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaan karakter di tengah realitas kehidupan yang penuh dengan ujian dan penderitaan? Seneca, dalam konteks masyarakat Romawi yang materialistis, mengembangkan konsep Stoik tentang prokope (kemajuan moral secara bertahap menuju kebijaksanaan) yang hanya dapat dicapai melalui exercitia spiritualia (latihan rohani harian untuk menguatkan jiwa) berupa menghadapi tantangan hidup dengan sikap rasional dan terkendali. Bagi Seneca, ujian hidup bukan sekadar cobaan yang harus dihadapi, melainkan laboratorium moral di mana karakter sejati seseorang diuji dan dibentuk. Dalam suratnya kepada Lucilius, ia menegaskan bahwa “kemalangan adalah peluang bagi kebajikan” (Letters, 76.9), yang menunjukkan bahwa adversitas (kemalangan atau kesulitan hidup) bukan hanya tidak terelakkan tetapi juga diperlukan untuk pertumbuhan moral.
Dari perspektif yang berbeda namun bermuara pada kesimpulan serupa, Rumi dalam tradisi Sufisme Islam mengembangkan konsep bala’ (ujian atau cobaan yang diberikan Allah untuk menguji dan memurnikan hamba-Nya) sebagai manifestasi kasih sayang ilahi yang paradoksal. Dalam Masnavi (karya epik spiritual Rumi berisi 25.000 bait syair yang mengajarkan jalan menuju Allah), Rumi menggambarkan penderitaan sebagai proses tasfiyah (penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela) yang memungkinkan jiwa mencapai fana’ (lenyapnya kesadaran diri individual dalam kesadaran Ilahi) dan akhirnya baqa’ (keabadian spiritual atau kekal bersama Allah setelah fana) (Kilicheva & Klicheva, 2021). Transisi dari pemikiran Seneca ke Rumi menunjukkan evolusi konseptual yang menarik: jika Seneca menekankan rasionalitas dalam menghadapi ujian, Rumi justru menekankan penyerahan diri total kepada kehendak ilahi. Metafora api dan emas yang sering digunakan Rumi mengilustrasikan bahwa ujian hidup adalah proses pemurnian yang menghilangkan sifat-sifat negatif (nafs ammārah – jiwa yang selalu memerintahkan kejahatan) dan mengungkap esensi spiritual sejati manusia (ruh – jiwa suci yang berasal dari Allah).
Analisis komparatif mendalam mengungkap bahwa meskipun menggunakan kerangka teoretis yang berbeda, kedua pemikir ini berbagi paradigma (kerangka konseptual atau model pemikiran) transformatif yang sama. Seneca menggunakan kerangka rasionalitas Stoik dengan penekanan pada logos (akal universal atau prinsip rasional yang mengatur alam semesta menurut Stoikisme) dan prohairesis (kehendak bebas atau kekuatan memilih sikap terhadap peristiwa eksternal), sementara Rumi menggunakan kerangka mistik Islam dengan penekanan pada ishq (cinta ilahi yang membakar segala sesuatu selain Allah) dan ma’rifah (pengetahuan spiritual langsung tentang Allah melalui pengalaman mistik). Namun, keduanya sepakat bahwa karakter otentik hanya dapat terbentuk melalui konfrontasi dengan kesulitan, bukan dalam zona kenyamanan. Perbedaan metodologis ini justru menunjukkan komplementaritas (saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain): Seneca menekankan pentingnya ataraxia (ketenangan jiwa yang tidak tergoyahkan oleh emosi negatif) yang dicapai melalui latihan rasional, sedangkan Rumi menekankan sakīnah (ketenangan spiritual yang turun dari Allah ke dalam hati orang beriman) yang dicapai melalui penyerahan diri (taslīm – berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah) kepada kehendak ilahi.
Relevansi kedua pendekatan ini dalam konteks modern menunjukkan potensi integratif yang luar biasa untuk pengembangan resiliensi psikologis dan kematangan spiritual. Pendekatan Seneca yang menekankan meditatio malorum (meditasi tentang hal-hal buruk yang mungkin terjadi sebagai persiapan mental) dan premeditatio malorum (visualisasi antisipasi terhadap kemalangan untuk membangun ketahanan psikologis) dapat diintegrasikan dengan praktik mindfulness modern untuk membangun ketahanan mental yang berbasis rasionalitas. Di sisi lain, pendekatan Rumi yang menekankan murāqabah (pengamatan spiritual atau meditasi kontemplatif dalam tradisi Sufi) dan dhikr (mengingat Allah melalui pengulangan nama-nama-Nya atau kalimat tasbih) dalam menghadapi ujian dapat memperkaya terapi spiritual kontemporer (Kaya, 2016). Sintesis kedua tradisi ini menawarkan alternatif holistik terhadap budaya modern yang cenderung menghindari penderitaan dan mencari kepuasan instan, sekaligus memberikan kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk pengembangan karakter.
Implementasi praktis dari sintesis pemikiran Seneca-Rumi menghasilkan model holistik (menyeluruh yang mempertimbangkan keseluruhan aspek manusia) pembentukan karakter yang mengintegrasikan dimensi rasional dan spiritual dalam menghadapi adversitas (kemalangan atau kesulitan hidup). Model ini dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan karakter, terapi psikologis, dan pengembangan kepemimpinan yang memerlukan ketahanan dalam menghadapi tantangan (Muizzuddin et al., 2024). Aplikasi konkret meliputi pengembangan kurikulum yang tidak hanya fokus pada pencapaian akademik tetapi juga pada pembangunan resiliensi melalui eksposur terkontrol terhadap tantangan, serta program mentoring yang mengintegrasikan prinsip-prinsip filosofis kedua tradisi ini. Lebih jauh, model ini dapat menjadi fondasi bagi pengembangan kepemimpinan yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.
Kesimpulan: Konvergensi (pertemuan atau penyatuan dari arah yang berbeda) pemikiran Seneca dan Rumi tentang ujian hidup sebagai pemahat karakter manusia menunjukkan bahwa meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, keduanya menawarkan visi yang saling melengkapi tentang pertumbuhan spiritual dan moral otentik. Integrasi pendekatan rasional Seneca dengan dimensi spiritual Rumi dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan model pendidikan karakter dan terapi yang lebih komprehensif, relevan untuk tantangan kontemporer. Temuan ini menegaskan bahwa pembentukan karakter yang sejati hanya dapat dicapai melalui konfrontasi dengan adversitas (kemalangan atau kesulitan hidup), bukan penghindaran darinya, sekaligus membuka jalan bagi pengembangan paradigma (kerangka konseptual atau model pemikiran) baru dalam studi komparatif filosofi lintas budaya.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Kaya, Ç. (2016). Rumi from the viewpoint of spiritual psychology and counseling. Spiritual Psychology and Counseling, 1(1), 9-25.
Kilicheva, K., & Klicheva, G. (2021). Sufi and philosophical heritage of Jalaluddin Rumi. International Journal of Humanities, Literature and Arts, 5(1), 1-4. https://doi.org/10.21744/ijhla.v5n1.1799
Muizzuddin, M., Zaenuri, A., & Anam, S. (2024). Islamic Education and Value Analysis of Religious Moderation in Jalaluddin Rumi’s Sufi Order. Indonesian Journal of Islamic Education Studies (IJIES), 7(1), 146-165. https://doi.org/10.33367/ijies.v7i1.5288
Rumi, J. al-Din. (2006). Mathnawi of Jalaluddin Rumi. Adam Publishers & Distributors.
Seneca, L. A. (2015). Letters from a Stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 65 CE)
Leave a Reply