AKTAMEDIA.COM, JAKARTA – Di masa kecil, terutama di era 1990-an hingga awal 2000-an, uang seratus rupiah mungkin terdengar kecil. Namun bagi anak-anak SD kala itu, lembaran atau koin Rp100 punya arti yang besar. Ia bukan sekadar alat tukar, tapi juga pembuka gerbang kebahagiaan kecil setiap kali bel sekolah berbunyi atau waktu istirahat tiba.
Dengan uang jajan seratus rupiah, anak-anak bisa mendapatkan berbagai macam jajanan sederhana namun penuh kenangan:
Permen karet warna-warni dengan hadiah kecil di dalamnya.
Mie lidi pedas yang dibungkus plastik kecil, bisa dibeli dua sekaligus.
Es mambo berbagai rasa, dari cocopandan, jeruk, sampai cokelat.
Krupuk gendar yang kriuk dan sering dijual dengan sambal kacang.
Telur gulung yang dulu harganya cuma Rp100 per tusuk.
Cokelat koin atau permen rokok, yang meski kecil, terasa mewah.
Uang seratus rupiah juga sering digunakan untuk bermain: membeli stiker, mainan kertas lipat, atau sekadar ikut undian sederhana di warung. Bahkan, ada anak-anak yang menabung dari uang jajan Rp100 demi bisa beli sesuatu yang lebih besar di akhir pekan.
Kantin atau warung kecil di dekat sekolah menjadi tempat yang paling ditunggu saat jam istirahat. Penjual biasanya sudah tahu jajanan favorit anak-anak. Dengan uang Rp100, kita bisa memilih dan merasa puas, karena hampir semua dagangan ada versi murahnya.
Sering pula terjadi momen tawar-menawar atau berbagi jajanan dengan teman. Anak-anak belajar arti solidaritas, berbagi, dan kesederhanaan—tanpa mereka sadari.
Hari ini, seratus rupiah mungkin tidak cukup untuk membeli apapun. Tapi nilainya tetap besar dalam memori. Ia adalah bagian dari cerita masa kecil yang sederhana namun hangat. Di balik koin logam kecil itu, tersimpan tawa, pertemanan, dan kebahagiaan yang tulus.
Leave a Reply