Advertisement

Dari Luka Ke Kekuatan: Spiritualitas Islam Ibu Pasca Perceraian

AKTAMEDIA.COM, PEKANBARU — Spiritualitas Islam (kerohanian) memperkuat resiliensi psikologis (daya lentur jiwa) ibu dalam menghadapi trauma kehilangan hak asuh anak pasca perceraian. Proses ini membentuk rekonstruksi makna keibuan yang melampaui dimensi legal menuju pemahaman spiritual mendalam. Detik.com melaporkan pada 26 Juni 2025 tentang kasus seorang ibu yang menyampaikan pesan haru kepada anak-anaknya setelah putusan banding tidak memberikan hak asuh kepadanya. Kasus tersebut mencerminkan kompleksitas psikologis yang dihadapi perempuan dalam situasi serupa.

https://hot.detik.com/celeb/d-7982506/pesan-haru-paula-verhoeven-untuk-anak-usai-tak-dapatkan-hak-asuh

Ibu yang kehilangan hak asuh anak mengalami dampak traumatis yang signifikan terhadap kesehatan mental mereka. Penelitian longitudinal (jangka panjang) menunjukkan bahwa ibu-ibu tersebut mengalami tingkat depresi 1.9 kali lebih tinggi, kecemasan 2.5 kali lebih tinggi, dan gangguan penggunaan zat 8.5 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang mengalami kematian anak (Wall-Wieler et al., 2018). Hukum keluarga Islam di Indonesia menciptakan dinamika putusan hak asuh yang kompleks. Kondisi ini menimbulkan dilema psikologis bagi ibu yang harus menyeimbangkan ekspektasi kultural, norma religius, dan realitas hukum dengan harapan emosional mereka.

Farchi & Peled-Avram (2025) mendefinisikan resiliensi psikologis (daya lentur jiwa) sebagai kapasitas individu untuk beradaptasi positif menghadapi adversity (kesulitan hidup/cobaan). Konsep ini memainkan peran krusial dalam proses pemulihan pascatrauma kehilangan hak asuh. Stainton et al. (2023) menekankan bahwa resiliensi (daya tahan mental) bukan sekadar kemampuan untuk kembali ke kondisi semula, melainkan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sulit. Spiritualitas (kerohanian) Islam menyediakan kerangka makna dalam konteks ini. Kerangka tersebut memungkinkan ibu mentransformasi penderitaan menjadi pertumbuhan spiritual melalui konsep tawakal (berserah diri kepada Allah), ikhtiar (berusaha maksimal), dan hikmah (kebijaksanaan dari Allah) yang tertanam dalam ajaran agama.

Iqbal & Skinner (2021) mengonseptualisasikan spiritualitas (kerohanian) Islam dalam penelitian terbaru mereka. Konsep tersebut mencakup dimensi relasional dengan Allah, praktik ibadah, dan internalisasi nilai-nilai moral yang memberikan makna dan tujuan hidup. Graça dan Brandão (2024) mengidentifikasi bahwa positive religious coping (strategi penanggulangan religius yang positif) berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis dan adaptasi yang lebih baik. Strategi ini termasuk pencarian dukungan spiritual dan reframing religius (pembingkaian ulang secara religius) terhadap peristiwa traumatis. Konsep rida (kerelaan hati menerima takdir Allah), sabar (ketabahan dalam menghadapi cobaan), dan istighfar (memohon ampun kepada Allah) menjadi strategi coping (penanggulangan masalah) dalam konteks perceraian dan kehilangan hak asuh. Strategi-strategi ini memungkinkan ibu mengintegrasikan pengalaman traumatis ke dalam narasi spiritual yang bermakna.

Pendekatan fenomenologi (ilmu yang mempelajari struktur pengalaman kesadaran manusia) menawarkan metodologi yang tepat untuk mengeksplorasi pengalaman subjektif ibu dalam menghadapi kehilangan hak asuh. Al-Karam (2021) menjelaskan bahwa metodologi ini memungkinkan peneliti menangkap esensi lived experience (pengalaman hidup yang dialami langsung) dan makna yang dikonstruksi individu terhadap pengalaman traumatis mereka. Analisis fenomenologi interpretatif (penafsiran mendalam terhadap pengalaman) mengungkap bahwa spiritualitas Islam tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme coping (penanggulangan masalah). Spiritualitas tersebut juga berperan sebagai transformative framework (kerangka kerja transformatif) yang memungkinkan rekonstruksi identitas keibuan. Rekonstruksi ini tidak lagi terbatas pada dimensi fisik-legal, melainkan meluas ke dimensi spiritual-transcendent (melampaui batas duniawi).

Penelitian ini memiliki implikasi praktis yang mengarah pada pengembangan intervensi psikoterapi yang mengintegrasikan spiritualitas Islam. Al-Karam (2022) menyarankan pendekatan ini dalam framework (kerangka kerja) psikologi Islam kontemporer. Model terapi cognitive-behavioral (kognitif-perilaku) yang dimodifikasi dengan prinsip-prinsip Islam telah menunjukkan efektivitas superior dalam membantu individu Muslim menghadapi krisis kehidupan. Praktik spiritual seperti dzikir (mengingat Allah), tadabbur Quran (merenungkan makna Al-Quran), dan shalat dapat memperkuat resiliensi psikologis (daya lentur jiwa). Integrasi praktik-praktik tersebut menyediakan anchor spiritual (jangkar rohani) yang stabil di tengah turbulensi emosional.

Spiritualitas (kerohanian) Islam memperkuat resiliensi psikologis (daya lentur jiwa) dan membentuk paradigma pemulihan yang holistik (menyeluruh). Paradigma ini memandang trauma kehilangan hak asuh bukan sebagai kegagalan personal, melainkan sebagai bagian dari rencana Ilahi yang mengandung hikmah tersembunyi. Para peneliti perlu mengembangkan instrumen pengukuran yang sensitif terhadap nuansa spiritualitas Islam dalam konteks trauma keluarga. Mereka juga harus menyusun protokol intervensi yang responsif budaya dan agama. Integrasi perspektif fenomenologi (ilmu pengalaman kesadaran) dengan framework (kerangka kerja) psikologi Islam dapat membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam. Pemahaman ini mencakup mekanisme resiliensi (daya tahan mental) yang unik dalam komunitas Muslim. Hasil penelitian tersebut pada gilirannya dapat menginformasikan praktik konseling dan terapi yang lebih efektif dan kontekstual.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau

Daftar Pustaka

Al-Karam, C. Y. (2021). Islamic psychology: Emergence and current challenges. Archive for the Psychology of Religion, 43(1), 65-77. https://doi.org/10.1177/0084672420983496

Al-Karam, C. Y. (2022). Islamic psychology: Towards a 21st century definition and conceptual framework. Journal of Islamic Ethics, 2(1), 97-109. https://doi.org/10.1163/24685542-12340021

Farchi, M. U., & Peled-Avram, M. (2025). The ART of resilience: A theoretical bridge across resilience perspectives. Frontiers in Psychology, 16, 1556047. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1556047

Graça, L., & Brandão, T. (2024). Religious/spiritual coping, emotion regulation, psychological well-being, and life satisfaction among university students. Journal of Religion and Health, 63(2), 1223-1242. https://doi.org/10.1177/00916471231223920

Iqbal, N., & Skinner, R. (2021). Islamic psychology: Emergence and current challenges. Archive for the Psychology of Religion, 43(1), 65-77. https://doi.org/10.1177/0084672420983496

Stainton, A., Chisholm, K., Kaiser, N., Rosen, M., Upthegrove, R., Ruhrmann, S., & Wood, S. J. (2023). Resilience as a multimodal dynamic process. Early Intervention in Psychiatry, 17(1), 1-16. https://doi.org/10.1111/eip.13243

Tanhan, A., Yildirim, M., Uludag, O., Yunlu, D. H., Genç, E., İlbay, A. B., & Francisco, V. T. (2020). Mental health challenges and coping strategies of COVID-19 pandemic among Muslims. International Journal of Islamic Psychology, 3(2), 44-72.

Wall-Wieler, E., Roos, L. L., & Nickel, N. C. (2018). Maternal mental health after custody loss and death of a child: A retrospective cohort study using linkable administrative data. Canadian Journal of Psychiatry, 63(4), 322-328. https://doi.org/10.1177/0706743717741058

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *