AKTAMEDIA.COM, JAKARTA — Peristiwa penggerebekan pesta komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang melibatkan 75 orang di Puncak Bogor pada 22 Juni 2025, sebagaimana dilaporkan CNN Indonesia (24 Juni 2025), memunculkan pertanyaan fundamental tentang batas-batas kewenangan negara dalam mengatur moralitas publik. Kasus yang melibatkan acara bertema “family gathering” dengan berbagai pertunjukan seni ini menjadi cermin kompleksitas pluralisme sosial Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai keislaman dalam menghadapi keberagaman orientasi seksual dan identitas gender.
Kompleksitas hubungan antara hukum positif dan norma agama dalam masyarakat Indonesia tercermin dari kasus tersebut. Ketegangan antara konsep keluarga ideal dalam Islam—yang menekankan pernikahan heteroseksual sebagai fondasi masyarakat—dengan realitas keberagaman orientasi seksual yang berkembang menunjukkan urgensi kajian mendalam tentang peran negara sebagai regulator moralitas. Sosiologi hukum keluarga Islam memandang institusi keluarga bukan hanya sebagai unit sosial, tetapi juga sebagai fondasi moral yang harus negara jaga (Zainuddin et al., 2023). Dari sinilah muncul pertanyaan: sejauh mana legitimasi negara dalam mengatur kehidupan privat warga ketika berhadapan dengan kelompok minoritas seksual?
Legitimasi negara dalam mengatur moralitas publik memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penelitian implementasi hukum keluarga Islam Indonesia oleh Nasution (2020) mengungkapkan pentingnya peran negara dalam menjaga nilai-nilai moral berbasis agama untuk melindungi hak-hak keluarga. Negara melakukan penegakan hukum terhadap aktivitas yang dianggap bertentangan dengan norma agama sebagai upaya melindungi institusi keluarga sebagaimana Islam konseptualisasikan. Teori kontrak sosial mendukung hal ini dengan menekankan bahwa masyarakat memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur perilaku demi ketertiban umum (Lukito, 2025). Namun, pendekatan ini menimbulkan pertanyaan baru tentang batasan kewenangan tersebut.
Perspektif yang berbeda muncul dari sudut pandang hak asasi manusia dan pluralisme (keberagaman paham dalam masyarakat). Studi komprehensif Cammack et al. (2015) menunjukkan bahwa pendekatan regulasi moralitas yang terlalu kaku dapat menimbulkan konflik sosial dan marginalisasi (peminggiran) kelompok minoritas, termasuk minoritas seksual dan gender, dalam era pasca-Soeharto (periode setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998). Sosiologi hukum menghadapi dilema antara perlindungan nilai-nilai mayoritas dengan jaminan hak individu untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. Penelitian tentang fenomena “sex recession” (penurunan aktivitas seksual dalam masyarakat) oleh Pelu et al. (2022) menemukan bahwa pendekatan represif dalam penegakan moralitas, seperti penggerebekan dan penangkapan, cenderung mendorong aktivitas ke ruang yang lebih tersembunyi, bukan menyelesaikan akar masalah. Temuan ini mengindikasikan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif.
Teori struktural-fungsional (structural-functional) Parsons—yakni teori yang melihat masyarakat sebagai sistem yang saling berhubungan—memberikan analisis mendalam terhadap konflik nilai dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Masyarakat plural memerlukan mekanisme adaptasi yang lebih canggih (sophisticated) untuk mengatasi konflik nilai yang ada. Sistem transplantasi hukum (legal transplants)—atau adopsi norma hukum dari tradisi berbeda—dari berbagai tradisi hukum menunjukkan variasi pendekatan dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan realitas sosial modern (Lukito, 2025). Studi hukum keluarga Islam kontemporer mengindikasikan perlunya keseimbangan antara penegakan norma agama dengan penghormatan terhadap keberagaman sosial (Cammack & Feener, 2007). Keseimbangan ini menjadi kunci solusi yang berkelanjutan.
Pendekatan “soft regulation” (pengaturan lunak) yang mengedepankan edukasi dan pemberdayaan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat menjadi solusi yang direkomendasikan. Program konseling keluarga berbasis nilai-nilai Islam, penguatan peran masjid sebagai pusat pembinaan moral, dan pengembangan dialog antaragama serta antarbudaya yang menghormati keberagaman dapat menjadi alternatif yang lebih humanis dibandingkan pendekatan represif. Penelitian tentang maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat Islam) dalam era digital oleh Rahmadi & Suharto (2024) menunjukkan efektivitas pendekatan preventif dan edukatif dalam menghadapi tantangan moralitas kontemporer, termasuk isu-isu terkait keberagaman orientasi seksual, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamiin (kasih sayang untuk semesta). Pendekatan ini terbukti lebih sustainable dibandingkan pendekatan represif.
Peran negara dalam regulasi moralitas harus dijalankan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penegakan nilai-nilai agama dan penghormatan terhadap keberagaman sosial, termasuk keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Pendekatan yang mengedepankan dialog, edukasi, dan pemberdayaan keluarga terbukti lebih efektif dalam membangun masyarakat yang harmonis dibandingkan pendekatan kriminalisasi yang dapat memperburuk polarisasi sosial. Reformulasi kebijakan yang mengintegrasikan perspektif sosiologi hukum keluarga Islam dengan prinsip-prinsip keadilan sosial diperlukan untuk menciptakan regulasi moralitas yang lebih inklusif (menyeluruh dan tidak diskriminatif) dan berkelanjutan. Indonesia memerlukan paradigma baru yang menghormati nilai-nilai Islam rahmatan lil alamiin sambil menjaga keberagaman sosial demi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera bagi semua warga negara.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana S3 prodi Hukum Keluarga Islam UIN Suska Riau
Daftar Pustaka
Cammack, M., Bedner, A., & Van Huis, S. (2015). Democracy, human rights, and Islamic family law in post-Soeharto Indonesia. New Middle Eastern Studies, 5(1), 1-35.
Cammack, M. E., & Feener, R. M. (Eds.). (2007). Islamic law in contemporary Indonesia: Ideas and institutions. Harvard University Press.
Lukito, R. (2025). Legal transplants in Indonesia: Bridging tradition and modernity. Social Sciences, 14(2), 60-77. https://doi.org/10.11648/j.ss.20251402.11
Nasution, K. (2020). Implementation of Indonesian Islamic family law to guarantee children’s rights. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 58(1), 161-186.
Pelu, I. E. A. S., Asfia, H., Tarantang, J., & Supriadi, A. (2022). Sex recession phenomenon from the perspective maqashid shariah on objectives marriage law in Indonesia. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam, 7(1), 23-38.
Rahmadi, A., & Suharto, U. (2024). Maqāṣid al-Sharīʿah in the digital era: Challenges in Islamic family law and halal lifestyle in Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 14(2), 287-315.
Zainuddin, W. M., Zainudin, W. N. R. A. B., Ismail, S. B., & Zia-ul-haq, H. M. (2023). Understanding of legal reform on sociology of Islamic law: Its relevance to Islamic family law in Indonesia. Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, 17(1), 45-62.
Leave a Reply